Harap-harap Cemas Pengembangan Miniatur Belanda di Semarang
Kota Lama Semarang telah selesai direvitalisasi dengan biaya hampir Rp 200 miliar. Ke depan, pengembangan dilakukan pada kawasan lain, yakni Kampung Melayu, Pecinan, dan Kauman. Pelibatan masyarakat dinilai masih kurang.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·6 menit baca
Bertahun-tahun bersolek, wajah Kota Lama Semarang banyak berubah. Dulu kusam, kini menawan. Namun, orientasi pengembangan masih mengundang kegelisahan. Mendatangkan banyak wisatawan atau mengutamakan pelestarian? Yang pasti, kaidah konservasi tak boleh terpinggirkan dan manusia di dalamnya jangan sampai terabaikan.
Angin sepoi menyelinap lewat pintu-pintu Gedung Soesmans Kantoor di kawasan Kota Lama Semarang, Jawa Tengah, Sabtu (18/9/2021) siang. Di dalam gedung itu berjajar belasan stan yang menjaja puluhan produk UMKM asal Jateng, dalam pameran bertajuk Festival Inovasi UMKM. Acara itu merupakan rangkaian Festival Kota Lama Semarang 2021.
Ocha Matthias, salah satu wakil penyelenggara Festival Inovasi UMKM, mengatakan, tahun-tahun sebelumnya, Festival Kota Lama lebih terkonsentrasi pada panggung utama dan Pasar Sentiling (festival jajanan). Namun, kali ini, lewat pameran hibrida (daring dan luring), panitia ingin membangkitkan UMKM yang mati suri terdampak pandemi.
Tak lupa, informasi-informasi tentang Gedung Soesmans, yang dibangun pada 1866, juga tertuang dalam banner yang tertempel pada dinding di sekitar area pameran. ”Seperti Festival Kota Lama tahun-tahun sebelumnya, kami ingin mengekspos gedung-gedung bersejarah di Kota Lama,” kata Ocha, Sabtu.
Festival Kota Lama ialah kegiatan tahunan, buah kolaborasi pemerintah dan swasta, yang pertama kali digelar pada 2012. Pada 2020, festival digelar secara virtual di Pusat Rekreasi dan Promosi Pembangunan Semarang.
Nantinya, ini akan menjadi kawasan cagar budaya pertama di Indonesia yang ducting.
Tahun ini, Festival Kota Lama dengan tema ”Living Heritage in Harmony” digelar pada 6-26 September 2021. Rangkaian acara yang disiarkan daring antara lain upacara pembukaan, sarasehan Kota Lama Semarang, webinar festival dalam Semangat Kebangsaan, dan tur virtual. Sementara Festival Inovasi UMKM dan IKM Expo digelar secara hibrida.
Kendati lebih banyak dilaksanakan secara daring, antusiasme dengan napas pelestarian cagar budaya di Kota Lama masih tinggi. Baik dari pemerintah, para akademisi, komunitas, maupun pihak-pihak terkait lainnya.
Wakil Wali Kota Semarang, yang juga Ketua Badan Pengelola Kawasan Kota Lama (BPK2L), Hevearita G Rahayu, dalam Sarasehan Kota Lama, Jumat (17/9/2021), mengatakan, perubahan wajah Kota Lama tak terlepas dari dukungan pemerintah pusat. Lewat Kementerian PUPR, revitalisasi di kawasan berjuluk ”Little Netherland” atau miniatur Belanda itu memakan biaya hampir Rp 200 miliar.
Dari sebelumnya kumuh, kusam, gelap, dan langganan rob, Kota Lama bertransformasi menjadi salah satu tujuan utama wisata di kota lumpia itu. ”Yang masih berproses saat ini ialah ducting (penataan jaringan kabel di bawah tanah). Nantinya, ini akan menjadi kawasan cagar budaya pertama di Indonesia yang ducting,” kata Hevearita.
Pada Agustus 2020, kawasan Semarang Lama, termasuk di dalamnya Kota Lama, ditetapkan sebagai cagar budaya nasional oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Area lain yang juga tercakup ialah kawasan Kauman, Kampung Melayu, dan Pecinan. Saat ini, Kota Lama Semarang juga ada dalam daftar tentatif Warisan Budaya Dunia UNESCO.
Pemkot Semarang, yang kembali didukung pemerintah pusat, memang akan mengembangkan ke kawasan-kawasan di sekeliling Kota Lama tersebut.
”Ini akan dimulai dari Kampung Melayu. Selain itu, kami juga akan ajukan untuk (penataan) Kali Semarang. Harapannya nanti bisa dilalui kapal-kapal kecil,” ujar Hevearita.
Ia menambahkan, koordinasi akan terus dilakukan dengan berbagai pihak demi membawa kawasan Semarang Lama menjadi lebih baik dari saat ini. Kawasan bersejarah tersebut diharapkan semakin berdaya tarik sehingga mendukung pariwisata berkelanjutan.
Pelibatan masyarakat
Sarasehan Kota Lama pada Festival Kota Lama 2021 juga menjadi wadah diskusi semua elemen yang terkait ”Little Netherland”. Para akademisi, anggota komunitas, serta pegiat menyuarakan kritik, masukan, dan harapan. Prinsip-prinsip kelestarian dituntut diutamakan. Bukan sekadar memoles fisik demi mendatangkan sebanyak-banyaknya wisatawan.
Johannes Widodo, Associate Professor dari Department of Architecture, School of Design and Environment, National University of Singapore, mengatakan, pelestarian cagar budaya mesti dimulai dari masyarakat. Penting untuk menempatkan semua elemen di Kota Lama sebagai subyek, bukan obyek.
Johannes, yang mengikuti perkembangan Kota Lama sejak awal, bahkan menganalogikan Semarang atau Kota Lama sebagai seorang ibu yang sudah tua. ”Kita mau ibu kita sehat. Bukan mendandaninya lalu dikaryakan, kerja keras, dan menjadi barang dagangan hingga menghasilkan uang,” ujarnya.
Berbicara otoritas, ia pun menilai Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dan Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan seharusnya menjadi lokomotif dari penataan Kota Lama Semarang. Sementara selama ini, ia melihat, Kementerian PUPR yang kerap di depan.
Menurut Johannes, menghidupkan Kota Lama tak melulu tentang investasi, tetapi bagaimana ekonomi kerakyatan tumbuh dari bawah, lewat potensi-potensi lokal yang ada di Semarang. ”Itu yang akan menarik tamu-tamu datang untuk menikmati dengan sopan, bukan mengacak-acak,” ucapnya.
Anastasia Dwi Rahmi, kurator yang juga pegiat Kota Lama Semarang, menyoroti revitalisasi Kota Lama yang seperti tanpa ada kajian jelas. Misalnya, pembangunan tratak kanopi di salah satu sudut kawasan yang menuai kritik hingga kemudian dipindahkan. Juga charger box berupa kotak telepon umum merah bergaya London, yang dinilai keluar dari konteks.
Ia juga mengkritisi Museum Kota Lama yang dibangun di Bundaran Bubakan. ”Sepertinya, yang penting ada bangunannya dulu. Nanti diisi apa, belum tahu apa. Lokasinya juga di bundaran (tengah jalan). Bagaimana aksesnya? Ini malah akan menambah masalah. Kenapa tak memanfaatkan bangunan yang ada?” ujarnya.
Menurut Anastasia, kritik yang selama ini dilontarkan, termasuk melalui media sosial, seperti tidak ditanggapi serius oleh pengambil kebijakan. Padahal, ia berharap hal-hal tersebut dapat dijadikan pelajaran agar tak terulang dalam revitalisasi kawasan lain di Semarang.
Dosen Teknik Arsitektur Universitas Diponegoro, Agung Dwiyanto, menuturkan, perubahan Kota Lama dalam beberapa tahun terakhir memang telah menjadikan kawasan itu bergeliat. Menurut Agung, hal tersebut merupakan langkah berani dari pemerintah yang harus diapresiasi.
Namun, pemikiran-pemikiran lain, menurut Agung, patut diberi tempat. ”Kalau diperhatikan, yang ramai di Kota Lama itu para anak muda (komunitas). Saya pikir ide-ide baru dari generasi milenial ini perlu kita cermati. Ini bisa jadi lompatan agar masalah tidak berlarut-larut,” katanya.
Beragam teori sejak lama telah disampaikan oleh para akademisi. Maka, yang saat ini diperlukan ialah keseriusan dari pemerintah agar semua hal yang ada di Kota Lama tersistem dan saling terhubung. Selama ini, kegiatan di Kota Lama sudah digerakkan, termasuk oleh komunitas, tetapi sifatnya parsial.
Pendapat serupa dikatakan Johannes. ”(Untuk menjadikan Semarang dan Kota Lama nyaman), harapan saya bukan pada generasi saya yang pola pikirnya sudah kaku. Namun, pada anak-anak muda karena mereka lebih fleksibel. Selama ini, mereka (komunitas) bekerja dalam diam,” ujarnya.
Kepala Bidang Pemasaran Pariwisata Dinas Kepemudaan, Olahraga, dan Pariwisata Jateng Setyo Irawan menuturkan, Kota Lama setali tiga uang dengan Candi Borobudur. Di satu sisi pengunjung semakin banyak, tetapi juga menjadi keluhan karena berpotensi mengganggu nilai-nilai konservasi.
Menurut Setyo, salah satu upaya yang bisa dilakukan agar wisatawan tak terkonsentrasi di Kota Lama ialah dengan membuat pola perjalanan wisata. ”Misalnya, dibuatkan paket-paket wisata. Mungkin di Kota Lama hanya melintas, sedangkan wisata utamanya di tempat-tempat lain yang bukan cagar budaya,” ujar Setyo.