Setelah Ali Kalora Tewas…
Polri dan TNI serta pemangku kepentingan lainnya masih punya tugas berat untuk terus membasmi terorisme, termasuk benih-benihnya di masyarakat, agar tak terus menjadi duri dalam daging kehidupan berbangsa.
Jadi buron selama hampir satu dekade, pemimpin kelompok Mujahidin Indonesia Timur (MIT), Ali Kalora, akhirnya tewas di tangan aparat dalam baku tembak di Parigi Moutong, Sulawesi Tengah, Sabtu (18/9/2021). Polri dan TNI serta pemangku kepentingan lainnya masih punya tugas berat untuk terus membasmi terorisme, termasuk benih-benihnya di masyarakat, agar tak terus menjadi duri dalam daging kehidupan berbangsa.
***
Putu Suardika (55) bergegas pulang ke rumahnya setelah hampir seharian mencabut rumput di sela-sela tanaman padi di petak sawahnya. Padi itu berumur sekitar 1,5 bulan. Rentetan tembakan di kaki gunung sisi barat sawah membuatnya terkejut. Ia pun ambil langkah seribu ke rumah.
”Saya tahu itu pasti baku tembak antara aparat dan kelompok teroris. Saya cepat-cepat untuk sampai ke rumah,” ujarnya saat ditemui di hamparan sawah Desa Astina, Kecamatan Torue, Kabupaten Parigi Moutong, Sulteng, Minggu (19/9/2021).
Durasi rentetan baku tembak itu tak lagi diingat Putu. Yang dia ingat, setelah itu, dari rumah bersama sebagian warga Astina lainnya dia menyaksikan jalan menuju lokasi baku tembak ramai didatangi kendaraan. Jalan dan sekitar lokasi baku tembak yang berjarak sekitar 3 kilometer dari permukiman warga kerlap-kerlip oleh cahaya mobil.
Itu sepenggal ingatan Putu dan sebagian warga Desa Astina terkait dengan baku tembak dan evakuasi di kaki gunung di dalam kebun kakao dan nilam warga. Baku tembak itu melibatkan aparat Satuan Tugas Operasi Madago Raya dengan pemimpin MIT, Ali Kalora, serta anak buahnya, Jaka Ramadhan, Sabtu.
Ali dan Jaka tewas dalam peristiwa tersebut. Jenazah Ali dan Jaka dievakuasi sesaat setelah baku tembak dan saat ini berada di RS Bhayangkara, Palu, ibu kota Sulteng.
Baca juga : Kapolda Sulteng Pastikan Pemimpin MIT Ali Kalora Tewas
Ali adalah gembong teroris yang memimpin MIT sejak 2016. Posisi itu ia pegang setelah Santoso, pendiri MIT, tewas ditembak aparat pada pertengahan 2016 dan Basri, pengganti Santoso, menyerahkan diri sebulan setelah Santoso tewas. Ali, yang dari awal bersama dengan Santoso sejak kelompok itu dibentuk pada 2012, selama ini memimpin MIT di hutan-hutan pegunungan Kabupaten Poso, Parigi Moutong, dan Sigi.
Bersama dengan kelompoknya, ia menebar teror dengan menyerang aparat dan warga sipil yang berkebun di sekitar hutan tempat mereka beroperasi. Khusus warga sipil, tak kurang 20 orang tewas dibunuh sejak 2014.
Ali yang kelahiran Ambon, Maluku, dan menikah dengan warga Desa Kalora, Kabupaten Poso, memiliki keahlian merakit bom lontong. Dari lokasi baku tembak pada Sabtu kemarin, aparat menemukan dua bom lontong. Salah satunya bahkan sempat dilempar ke aparat, tetapi tidak meledak.
Dua bom lontong itu juga bagian dari 46 barang bukti yang dikumpulkan aparat dari Ali dan Jaka di lokasi baku tembak. Barang bukti lainnya adalah senjata api laras panjang, parang, gergaji, pakaian, selimut, periuk, dan obat-obatan.
Tewasnya Ali dan Jaka membuat kelompok tersebut makin sedikit, tersisa empat orang. Dalam beberapa bulan terakhir, Ali dan Jaka terpisah dengan empat orang lainnya itu.
Mereka hendak ke ’gunung’, sebutan untuk bergabung dengan MIT.
Meski Ali tewas, eksistensi kelompok tersebut tetap tak bisa dianggap enteng. Dalam catatan Kompas, kelompok tersebut masih aktif merekrut anggota atau simpatisan. Ini bisa dilacak dari jumlah daftar pencarian orang (DPO) yang bertambah.
Pada akhir 2019, misalnya, tercatat hanya tinggal 7 anggota MIT yang masuk DPO. Namun, pada awal 2014, teridentifikasi menjadi 18 orang, hingga kemudian menjadi empat orang saat ini setelah tewasnya Ali dan sejumlah anggota lainnya sepanjang 2020-2021. Mereka tewas karena baku tembak dengan Satuan Tugas Madago Raya dan juga menyerahkan diri. Tercatat satu orang menyerahkan diri pada awal 2021 (Kompas.id, 15/4/2021).
Selain indikasi dari jumlah, masih aktifnya MIT merekrut anggota terdeteksi dari ditangkapnya dua simpatisan pada awal Februari 2020 (Kompas.id, 6/2/2020). Mereka hendak ke ”gunung”, sebutan untuk bergabung dengan MIT.
Mantan Kepala Polda Sulteng Inspektur Jenderal Abdul Rahman Baso, dalam berbagai kesempatan, menerangkan, masih banyak simpatisan yang mendukung MIT. Hal ini terutama dengan menyediakan makanan atau kebutuhan logistik lainnya untuk kelompok tersebut. Mereka itu rentan untuk direkrut bergabung dengan MIT.
Peneliti Lembaga Pengkajian dan Studi Hak Asasi Manusia (LPS-HAM) Sulteng, Moh Arfandy, mengatakan, berdasarkan pola selama ini, perekrutan dilakukan melalui media sosial. Perekrutan diduga dilakukan simpatisan atau jaringan mereka yang berada di luar ”gunung” di Sulteng.
Baca juga : Batasi Ruang Gerak Anggota MIT Setelah Ali Kalora Tewas
Tokoh agama Sulteng, Zainal Abidin, mengatakan, tantangan di Sulteng dan Indonesia pada umumnya, perjuangan semua pihak agar paham-paham terorisme tak menjadi simpati bagi kalangan tertentu di masyarakat. Dengan ini, masalah terorisme tak hanya bisa diselesaikan oleh Polri-TNI.
Semua pihak, terutama Pemerintah Kabupaten Poso, dan Sulteng pada umumnya, menelurkan program-program yang selalu mengingatkan pemeluk agama untuk hidup beragama dalam kedamaian dengan pemeluk lainnya. Ini bisa dilakukan dengan intervensi berbagai program, baik di organisasi perangkat daerah melalui rupa-rupa kegiatan positif maupun dengan melibatkan tokoh-tokoh agama membina umat.
Untuk mencegah hal tersebut terus terjadi, Arfandy meminta agar fungsi intelijen Polri, TNI, dan Badan Intelijen Negara (BIN) bekerja ekstra. Deteksi bisa dilakukan di dalam masyarakat ataupun di media sosial. Patroli siber bisa menjadi solusi untuk mendeteksi benih-benih terorisme, tentu dengan proporsional.
Polri, TNI, dan pemerintah juga perlu mendeteksi kelompok-kelompok yang rentan untuk bergabung dengan gerakan atau kelompok teroris. Itu bisa saja anggota keluarga dari anggota MIT ataupun orang lainnya. ”Intervensi program deradikalisasi harus betul-betul menyentuh hati mereka. Dialog yang terus-menerus bersama dengan tokoh agama dan tokoh masyarakat bisa terus ditingkatkan,” ujarnya.
Secara intelijen, kami akan terus bekerja untuk mencegat (mereka bergabung).
Kepala Kepolisian Daerah Sulteng, yang juga Penanggung Jawab Operasi Madago Raya, Inspektur Jenderal Rudy Sufahriadi menegaskan, pihaknya akan terus mengejar sisa empat DPO tindak pidana terorisme Poso. Ia berkeinginan kuat Sulteng harus terbebas dari terorisme.
Untuk mencegah simpatisan bergabung dengan MIT, Rudy menyebutkan, Polri dan TNI terus bekerja untuk memberantas terorisme. Dalam sebulan terakhir, di seluruh wilayah Indonesia, ditangkap banyak orang yang terkait dengan tindak pidana terorisme.
”Secara intelijen, kami akan terus bekerja untuk mencegat (mereka bergabung). Kami juga meminta agar masyarakat jangan ragu-ragu melapor kepada kami jika menemukan adanya mereka ini (simpatisan atau orang-orang mencurigakan),” kata Rudy.
Kerja keras semua pihak sangat diharapkan agar masalah terorisme di Sulteng dan Indonesia pada umumnya lekas terselesaikan. Warga yang hendak menyambung hidup dengan berkebun di pinggir hutan, seperti Putu Suardika dan warga desa lainnya di Parigi Moutong, Poso, dan Sigi, tak bisa terus hidup dalam bayang-bayang ancaman teror.
Mereka hanya ingin beraktivitas dengan aman dan nyaman. ”Kami ingin aman dalam berkebun,” ujar Putu.
Baca juga: Mendambakan Damai dari Pinggir Hutan Poso