Tuah Tas-tas Kriya Serat Daun Nanas Bolaang Mongondow
Inovasi tas-tas rajut setelah 60 tahun kebun nanas dibudidayakan di Passi Barat, Bolaang Mongondow. Limbah dauna diolah menjadi karya seni yang menambah penghasilan para ibu rumah tangga.
Oleh
KRISTIAN OKA PRASETYADI
·7 menit baca
KOMPAS/KRISTIAN OKA PRASETYADI
Felni Mokodompit (36) menata tas-tas jinjing berbahan dasar serat daun nanas di Lembaga Kesejahteraan Sosial Morobayat, Kabupaten Bolaang Mongondow, Sulawesi Utara, Kamis (9/9/2021).
Enam dekade terakhir Kecamatan Passi Barat di Kabupaten Bolaang Mongondow, Sulawesi Utara, berbangga diri dengan keberlimpahan nanas madu nan manis di Bumi Totabuan itu. Namun, selama itu pulalah setiap helai daun nanas hanya berakhir jadi limbah. Kini, sekelompok warga berhasil mengendus potensi ekonomi serat daun, menjadikannya seni kriya berupa tas anyaman yang cantik.
”Luas perkebunan nanas di Passi Barat 481 hektar. Bayangkan sendiri seberapa banyak panennya. Tetapi, setiap panen raya, harga nanas selalu anjlok dari normalnya Rp 10.000 per biji menjadi Rp 2.000 per dua biji,” kata Sofyanto Mamonto dalam perjalanan 14 kilometer menuju Desa Muntoi Timur dari Kotamobagu, Kamis (9/9/2021) siang.
Justru saat hasil melimpah para petani menyambutnya dengan bersungut-sungut. Menurut Sofyanto, itu disebabkan mereka tidak sadar masih ada nilai ekonomis lain dari tanaman nanas selain buahnya. ”Daunnya bisa jadi alternatif pendapatan bagi petani,” ujarnya.
Siang itu, Sofyanto membawa Kompas berkunjung ke kantor Lembaga Kesejahteraan Sosial (LKS) Morobayat yang ia bina. Sejak awal 2020, lembaga itu rutin membeli daun nanas yang selama ini hanya ditinggal hingga mengering dan rusak di tanah.
LKS Morobayat membeli daun nanas dengan harga relatif murah, yaitu Rp 1.000 per kilogram. Setiap petani nanas di Passi Barat bisa mengelola ribuan batang nanas. Setelah itu, seratnya dipisahkan dengan mesin. Biayanya Rp 15.000 untuk setiap kilogram serat yang dihasilkan.
KOMPAS/KRISTIAN OKA PRASETYADI
Hamparan tanaman nanas (Ananas comosus) pascapanen di area perkebunan Kelurahan Mongkonai Barat, Kotamobagu, Sulawesi Utara, Jumat (6/5/2021).
Menurut Sofyanto, 18 kg daun akan menghasilkan 1 kg serat basah. Setelah dijemur, beratnya susut lagi menjadi 0,3 kg serat kering. ”Terakhir, jelang Lebaran lalu, kami beli 1,3 ton daun untuk membuat sekitar 100 tas,” kata laki-laki yang juga Sekretaris Dinas Sosial Kabupaten Bolaang Mongondow itu.
Setelah 25 menit menyusuri Jalan Inobonto-Kotamobagu, mobil Sofyanto berhenti di depan bangunan kecil berdinding gipsum hijau berjendela kaca. Itulah kantor LKS Morobayat. Di halaman depan, terpampang spanduk promosi penjualan berbagai kerajinan tangan anyaman benang serat nanas, semuanya dalam bentuk tas.
Tak lama kemudian, Felni Mokodompit (36) tiba. Dari bagasi mobilnya, Sekretaris LKS Morobayat itu mengeluarkan beberapa tas kain besar yang juga berisi beragam tas anyaman beraneka warna. Itulah tas berbahan dasar benang dari serat daun nanas yang disebut Sofyanto dalam perjalanan.
”Tas-tas ini kami beri merek Morobayat Craft. Morobayat itu bahasa Mongondow, artinya berteman,” ujar Felni dengan nada ceria sambil menunjukkan beragam produk anyaman itu. ”Bisa jadi kami produsen pertama di Sulawesi Utara yang membuat tas dari serat daun nanas,” tambahnya lagi.
KOMPAS/KRISTIAN OKA PRASETYADI
Ibu-ibu rumah tangga merajut tali-tali dari serat daun nanas untuk membuat tas di LKS Morobayat, Bolaang Mongondow, Sulawesi Utara, Kamis (9/9/2021).
Sekilas tas-tas itu tampak seperti hasil rajutan wol. Namun, tali-tali anyaman itu tak lain adalah sekumpulan benang dari serat daun nanas yang dipilin hingga menjadi seperti tali Pramuka. Setelah diberi warna seperti hijau, kuning, oranye, merah—baik yang tua maupun muda—serta hitam, tas-tas itu dianyam oleh tangan-tangan cekatan warga.
Bentuknya beragam, mulai dari dompet, tas kecil, tas selempang, hingga tas jinjing. Semakin besar ukurannya, harganya semakin tinggi pula dengan kisaran Rp 250.000 hingga Rp 800.000. Namun, produk yang paling Felni unggulkan adalah noken, tas kecil asli Papua.
”Saya terinspirasi dari masa-masa saya ketika bekerja di Papua. Kalau di sana terbuat dari serat kulit kayu, di sini kami bikin noken berbahan dasar serat daun nanas,” kata ibu dua anak itu.
Pemberdayaan
Sejak Januari 2020, LKS Morobayat sudah melalui empat kali siklus produksi. Sekali produksi, 100 buah dompet dan tas yang hampir pasti tak sama satu dengan lainnya bisa mereka mereka hasilkan. Semua itu dikerjakan 11 warga sekitar Muntoi Timur, mayoritas ibu rumah tangga.
Bagi Felni, pembuatan tas dari serat daun nanas ini adalah salah satu bentuk penyelesaian 46 masalah sosial, yaitu pemberdayaan perempuan dan warga miskin. Hasil penjualan akan dibagi rata kepada para pekerja sekaligus mendanai siklus produksi berikutnya, sehingga tak hanya petani yang diuntungkan dari penjualan daun.
KOMPAS/KRISTIAN OKA PRASETYADI
Ibu-ibu rumah tangga dan seorang remaja membuat tas-tas dari serat daun nanas di LKS Morobayat, Kamis (9/9/2021).
Felni mencontohkan, pekerja yang mencuci, memberi warna, sekaligus membersihkan serat basah akan mendapat upah Rp 100.000 per kg. Setelah serat dijemur hingga kering, pekerja yang memilin benang hingga menjadi tali akan memperoleh Rp 10.000 per 0,1 kg. Adapun penganyam tas mendapatkan Rp 60.000 untuk setiap tas yang dihasilkan.
Asmawati (32), salah satu perajin Morobayat Craft, mengaku terbantu karena keterlibatannya selama 18 bulan terkhir. Dari tugasnya membersihkan serat dan memberikannya pewarna tekstil, ia mendapatkan pemasukan ratusan ribu rupiah.
”Sehari-hari saya keliling berjualan tahu isi di desa. Tapi, karena Morobayat Craft, ya, ada tambahan penghasilan untuk bantu-bantu keluarga. Bayaran saya per kilogram serat,” kata Asmawati.
Hal yang sama dialami Nurbaya yang diandalkan dalam merajut tas, bahkan dalam hitungan jam. Keterampilan yang ia dapat dari pelatih asal Jawa kini memberikannya penghasilan tambahan pula. Sementara itu, Wiwin Sugeha kini semakin terampil menenun kain dari serat nanas pula.
KOMPAS/KRISTIAN OKA PRASETYADI
Felni Mokodompit (36) membersihkan tas-tas berbahan dasar serat daun nanas untuk membuat tas di LKS Morobayat, Kamis (9/9/2021).
Felni kemudian memberikan sentuhan terakhir, yaitu menjahit kain di bagian dalam tas, memasang emblem Morobayat Craft, lalu memasarkannya. Untuk sementara, penjualan lebih banyak Felni lakukan melalui tawaran langsung lewat Whatsapp kepada para kenalannya, baik di Papua maupun Sulut. Tak jarang ia menitipkan contoh produk kepada kakaknya yang tinggal di Mimika, Papua, untuk memudahkan penjualan.
”Kalau mau dilihat foto, kan, kadang kelihatan bagus. Tetapi, kalau barangnya datang, bisa jadi tidak sesuai kemauan. Jadi, saya lebih suka kirim barangnya langsung biar pembeli puas. Memang kami sudah punya Tokopedia dan Instagram juga, tetapi untuk sementara penjualan kami lebih banyak offline,” kata Felni.
Tetapi, kami tidak bisa ambil karena sibuk persiapan kurasi (Sofyanto).
Kini, tas Morobayat Craft dipakai warga dari berbagai kalangan, dari pegawai negeri sampai petani. Hasil kriya ini pun menarik perhatian berbagai pihak, mulai dari Dewan Kerajinan Nasional Daerah (Dekranasda) Sulut hingga BNI. Alhasil, Morobayat Craft yang dibesut Felni ini lolos kurasi sebagai produk unggulan Gerakan Nasional Bangga Buatan Indonesia (Gernas BBI) Sulawesi, akhir Agustus lalu.
Sofyanto mengatakan, Gernas BBI bahkan membuat LKS Morobayat tak mampu menjalankan fungsi utamanya sebagai penyalur bantuan bagi warga lanjut usia. Tahun 2020, lembaga itu mendapat amanah menyalurkan Rp 281 juta, disusul Rp 115 juta pada 2021. ”Tetapi, kami tidak bisa ambil karena sibuk persiapan kurasi,” katanya.
KOMPAS/KRISTIAN OKA PRASETYADI
Pembina LKS Morobayat Sofyanto Mamonto menunjukkan berbagai piagam penghargaan yang diterima lembaga itu di kantornya, Kamis (9/9/2021).
Setelah kurasi, tim Morobayat Craft mendapatkan beberapa kritik dan masukan. Felni mengatakan, salah satunya adalah untuk tidak menggunakan bahan-bahan logam pada tas mereka, seperti cincin untuk menyambungkan tas dengan tali jinjingan. ”Itu supaya produk kami lebih orisinil,” katanya.
Kendati begitu, Felni mengakui, sampai sekarang Morobayat Craft masih kesulitan modal untuk bisa melanjutkan siklus produksi. Pada siklus terakhir, Felni masih patungan dengan Sofyanto uang pribadi sebesar Rp 6 juta untuk produksi.
”Sementara omzet tidak pasti. Ada kalanya sebulan Rp 6 juta, ada kalanya kisaran Rp 1 juta. Jadi, saya tetap aktif berusaha menawarkannya ke teman dan kenalan supaya pemasukan kami jalan terus,” kata Felni.
Di sisi lain, BNI yang menjadi salah satu pelopor Gernas BBI menyatakan telah memilih 111 produk UMKM di seluruh Sulawesi untuk dipamerkan dalam peluncuran gerakan tersebut. Wakil Direktur Utama BNI Adi Sulistyowati mengatakan, produk UMKM yang terpilih adalah yang berdaya saing global, termasuk kriya seperti Morobayat.
KOMPAS/KRISTIAN OKA PRASETYADI
Ibu-ibu rumah tangga dan seorang remaja membuat tas-tas dari serat daun nanas di LKS Morobayat, Kamis (9/9/2021).
Di samping itu, kata Adi, pihaknya menyalurkan sekitar Rp 2 triliun bagi 6.808 unit UMKM di Sulawesi serta memberikan berbagai pelatihan. Namun, Sofyanto dan Felni mengatakan, Morobayat Craft belum mendapatkan fasilitas itu. ”Memang saya belum mengambil kredit usaha atas nama lembaga maupun mendapat tawaran,” kata Felni.
Di sisi lain, Bupati Bolaang Mongondow Yasti Soepredjo Mokoagow pun turut membanggakan produk Morobayat Craft. Ia meluncurkannya sebagai produk unggulan Bolaang Mongondow, Maret 2021, bertepatan dengan hari jadi ke-67 kabupaten itu. Ia berharap, produk ini bisa menjadi unggulan daerah yang menarik, terutama bagi wisatawan di Sulut.
Harapan Sofyanto pun tak kalah besar. Sekalipun belum mendapatkan bantuan apa pun dari Pemkab Bolaang Mongondow, ia yakin tas-tas anyaman Morobayat Craft bisa mengingatkan siapa pun pada Bumi Totabuan. ”Semua itu bisa dilakukan sembari kami memanfaatkan limbah perkebunan nanas serta mengatasi kemiskinan,” ujarnya.