Tantri, Perempuan, dan Keberanian
Dalam statistika, perempuan Indonesia makin berdaya dari masa ke masa. Tak sedikit di antaranya menjadi pemimpin bangsa. Semanis itukah realitanya?
Operasi tangkap tangan Komisi Pemberantasan Korupsi terhadap Bupati Probolinggo Puput Tantriana Sari dan belasan orang lainnya, beberapa waktu lalu, meninggalkan satu kesan tersendiri. Tantri terjerat hukum saat ia mulai ”terlihat” lebih baik.
Baik memang relatif. Namun, bagi penulis, yang mulai bertemu dengan Puput Tantriana Sari pada 2011-2012 (meski sesekali), setidaknya tampak jelas beda antara Tantri dahulu dan sekarang.
Dahulu, Tantri cenderung malu-malu dan nyaris tidak bisa diwawancara langsung. Bahkan, saat awal menjadi bupati, penulis beberapa kali mengalami bahwa tidak bisa door stop langsung mewawancara perempuan bupati tersebut. Pertanyaan harus disampaikan dahulu kepada humas/asisten/ajudan untuk ”dikomunikasikan” terlebih dahulu dengan ibu bupati. Baru, jika sudah siap, wawancara bisa dilakukan.
Baca Juga: OTT Bupati Probolinggo dan ”Sensasi Pedas” Korupsi
Pada masa-masa awal, Tantri akan lebih senang menyapa dan basa-basi saja. ”Wah, sedang hamil, ya,” sapa Tantri mengomentari penulis saat bertemu di kawasan Gunung Bromo kala itu. Saat itu, Bromo sedang mengeluarkan abu vulkanik. Begitulah, perempuan yang sebelumnya adalah staf sebuah bank itu akan lebih los bersikap sebagai manusia biasa ketimbang sebagai bupati. Tantri menjadi bupati sejak tahun 2013 hingga seharusnya tahun 2023.
Namun, belakangan, sebelum kemudian Tantri diketahui kena OTT KPK, penulis mencermati Tantri mengalami berkali lompatan jauh ke depan. Setidaknya, dalam hal menerima wartawan untuk wawancara. Sikap tubuh dan keberaniannya terlihat mulai kuat. Ia bisa menjawab langsung pertanyaan wartawan tanpa berputar-putar dan tanpa ada ”komunikasi” terlebih dahulu, bahkan sampai wartawan kehabisan kata-kata.
Baca Juga: Jalan Panjang Pengabdian Politik Perempuan
Tantri mulai berani. Namun, benarkah itu keberanian? Sebab, jika meminjam istilah Cicero, keberanian itu ditemukan pada orang yang melawan ketidakadilan, bukan pelaku ketidakadilan.
Keberanian itu menurut dosen Filsafat STF Driyarkara, A Setyo Wibowo, dalam bukunya Platon (Lakhes) tentang Keberanian (2021), selalu bergandengan tangan dengan kebaikan. Kebaikan dalam arti sebenar-benarnya.
Namun, memang baik itu relatif. Baik untuk siapa dan seperti apa? Meminjam istilah filsafat sokratik, baik yang dimiliki Tantri tampaknya bukan baik yang sebenar-benarnya baik.
Satu hal yang mungkin menutup ”baiknya” Tantri adalah ketidakmampuan atau ketakutannya melepaskan diri dari bayang-bayang suami sekaligus mentor politiknya, Hasan Aminuddin, dalam mengurus Kabupaten Probolinggo. Praktis dalam dua periode kepemimpinannya, Tantri diduga ikut saja apa yang dimaui sang suami.
Itu terlihat dari kebiasaan desa ”menyetor” upeti kepada Tantri melalui suaminya. Bahkan, suaminya yang sudah bukan bupati Probolinggo lagi masih bisa ikut campur tangan dalam penempatan pejabat Kabupaten Probolinggo.
Baca Juga: Di Balik Penjabat Kades di Probolinggo Rela Setor Jutaan Rupiah
Dosen Ilmu Politik Universitas Brawijaya, Wawan Sobari, mengatakan bahwa tidak salah sebenarnya dengan politik kekeluargaan sebab itu memang hak setiap manusia dalam political citizenship.
”Namun, harus disadari, risiko politik kekerabatan adalah ketika itu menghambat perubahan. Jadi, sebenarnya yang bisa dilakukan dalam situasi seperti ini adalah membangun tata kelola di tingkat lokal yang baik, yaitu dari sisi partisipasi dan pengawasan. Tidak ada persoalan jika tata kelola itu bagus seperti di negara demokratis seperti Amerika. Di sana juga berlaku politik kekerabatan, seperti keluarga Bush dan Kennedy,” tutur Wawan.
Meski begitu, politik kekerabatan bukan berarti tanpa tantangan dan bahaya. Menurut Wawan, tantangan dan bahayanya adalah ketika digunakannya cara-cara berisiko dan tersandera informalitas, seperti tersandera tim sukses dan parpol. Hal itu sangat mungkin sebab, untuk mendorong politik kekerabatan, butuh dukungan dan biaya.
”Solusinya adalah menguatkan tata kelola. Ini bukan urusan pemerintahan bawah saja, melainkan juga urusan provinsi dan pusat. Bagaimana menguatkan pengawasan dan partisipasi. Serta, pentingnya peran parpol. Mereka punya tanggung jawab melakukan kontrol integritas kepada anggotanya yang telah jadi pemimpin,” tutur Wawan.
Namun, selama ini yang terjadi di Indonesia, parpol justru mendukung praktik kleptokrasi atau korupsi berjejaring dan menyalahgunakan uang negara. ”Itu misalnya terjadi di Kota Malang beberapa waktu lalu ketika eksekutif dan legislatif divonis gara-gara korupsi berjamaah. Ini yang akan terjadi ketika parpol tidak punya kontrol integritas ke anggotanya yang sudah jadi. Sementara di satu sisi, punishment dari publik pun lemah,” kata Wawan. Karena itu, menguatkan integritas parpol, menurut Wawan, butuh terus dilakukan.
Cermin
Jika di Probolinggo kisah Tantri berujung OTT KPK, lain halnya dengan beberapa sosok perempuan berikut. Elena Milachina, misalnya, seorang jurnalis Novaia Gazeta di Rusia yang disebut oleh A Setyo Wibowo dalam bukunya di atas sebagai cermin keberanian bagi mereka yang mencintai kebebasan.
Elena tanpa gentar menulis tentang kondisi Rusia yang makin menakutkan sejak Vladimir Putin terpilih pada 26 Maret 2000. Menurut dia, sejak itu kebebasan pers di Rusia diberangus. Meski tahun 2000 rekan wartawannya dihajar dengan palu sampai mati, oleh preman sewaan, Elena tak berhenti menulis dan terus menyuarakan kritiknya. Bahkan, hal itu juga mengancam nyawanya.
Ia sadar bahwa pilihan itu merepotkan hidupnya. Namun, Elena mengakui tindakan itu dilakukan justru berdasarkan rasa takutnya. Baginya, ketakutan ada dua, yaitu takut yang membuatnya lumpuh hingga tidak bisa berbuat apa-apa (disebut sebagai rasa takut atas diri sendiri). Serta, rasa takut yang justru mendorongnya untuk mengambil tindakan (hal ini disebut sebagai rasa takut demi orang lain). Ketakutan Elena pada akhirnya menjadi sumber keberaniannya untuk melawan.
Baca Juga: Perempuan Berperan Penting dalam Penanggulangan Bencana
Jauh sebelum kisah di atas, perempuan dengan keberaniannya digambarkan oleh Soekarno dalam buku Sarinah. Salah satunya adalah sosok Mary Wollstonecraft. Tahun 1792, Mary menerbitkan buku Vindication of the Rights of Woman yang menyerukan revolusi ekonomi untuk perempuan. Bahwa, agar perempuan diberi kebebasan mencari makan sendiri dan tidak tergantung pada pria.
Menurut Soekarno, Mary adalah perempuan pertama yang menyeru untuk itu. Ia juga disebut perempuan pertama yang mendorong pendidikan pria dan wanita jangan dipisahkan.
Potret di atas adalah bagian dari sejarah perempuan yang menurut sejarawan Inggris, John Seeley, harus bisa membuat kita lebih bijak. ”Kita mempelajari sejarah untuk menjadi bijaksana terlebih dahulu,” katanya. Atau, kalau mengutip KH Dewantara, kita tidak perlu tergesa-gesa meniru cara modern atau Eropa, atau terikat pada rasa konservatif sempit, tetapi mari kita cocokkan semua barang dengan kodratnya.
Peran
Lalu, bagaimana dengan perempuan Indonesia? Lepas dari kasus Tantri, secara statistik, sebenarnya peran perempuan Indonesia terus membaik dari waktu ke waktu.
Badan Pusat Statistik mencatat bahwa Indeks Pemberdayaan Gender (IDG) Indonesia terus naik dari tahun ke tahun. Indikator ini menunjukkan apakah perempuan dapat memainkan peran aktif dalam kehidupan ekonomi dan politik. Jika Indeks Pemberdayaan Gender tahun 2015 masih 70,83, pada tahun 2020 nilai indeksnya menguat menjadi 75,57. Artinya, peran perempuan Indonesia dalam bidang ekonomi dan politik kian besar.
Dalam dunia kerja, proporsi perempuan menempati jabatan manajerial juga terus naik. Jika tahun 2018 posisi perempuan dengan jabatan manajerial indeksnya masih 28,75, tahun 2019 indeksnya naik menjadi 30,37 dan pada 2020 indeksnya sudah mencapai 33,08.
Perempuan Indonesia juga mulai banyak terjun dalam bidang politik. Badan Pusat Statistik mencatat bahwa keterlibatan perempuan dalam parlemen juga terus naik. Jika tahun 2015 jumlah keterlibatan perempuan dalam parlemen masih 17,32 persen, pada 2020 jumlah keterlibatan perempuan dalam politik mencapai 21,09 persen.
Baca Juga: Saat Rumah Atut Tak Sesuai Harapan
Gambaran statistika tersebut cukup menggembirakan. Namun, di satu sisi, munculnya Tantri dan perempuan pejabat lain yang tersangkut korupsi adalah bahan evaluasi. Apakah perempuan sudah puas kiprahnya tercatat manis pada data statistika saja, atau, lebih jauh lagi, perempuan harus bisa mewarnai negeri dengan karya dan kemampuannya?
Perempuan Indonesia harusnya bisa melompat lebih tinggi lagi. Apalagi, negeri ini tidak sedang menghadapi masalah seperti di Afganistan. Perempuan Afganistan saat ini sedang berjuang dengan berbagai simbol, seperti mengenakan baju tradisional warna-warni karena ingin melawan hal yang mereka anggap tidak benar. Di Indonesia, lawan terbesar perempuan adalah dirinya sendiri.
Pengamat politik dan jender Universitas Brawijaya, Juwita Hayyuning Prastiwi, mengatakan bahwa tantangan perempuan untuk memimpin dan berpolitik cukup besar. Sebab, perempuan diharapkan tidak cuma hadir dalam hitungan jumlah, tetapi diharapkan bisa mewakili secara substantif kebutuhan-kebutuhan perempuan, yang diyakini hanya bisa diketahui dari seorang perempuan.
Baca Juga: Perempuan Jurnalis Bisa Apa?
Namun, tantangannya, perempuan yang terbiasa mendapatkan privilese atau keistimewaan sejak kecil, dinilai oleh Juwita, akan sulit mewakili kebutuhan mayoritas perempuan yang tidak mendapatkan keistimewaan. Bahkan, dalam konteks lepas dari jerat kuasa dinasti politik pun, akan sangat berat.
”Bukan tidak mungkin lepas dari belenggu kuasa dinasti, tetapi itu butuh kerja keras. Sebab, kesadaran untuk bisa lepas dari jerat dinasti politik yang merugikan harus dimulai dari kesadaran kritis diri sendiri. Jika tidak ada kesadaran kritis, hal itu tidak mungkin terjadi. Kesadaran kritis bisa muncul dari pengalaman-pengalaman ketika dia ikuti pelatihan, dari komunikasi intensif dengan lingkungan sekitar, dan lainnya. Namun, itu memang butuh bekerja cukup keras,” papar Juwita.
Selain butuh kesadaran, upaya perempuan lepas dari belenggu dalam politik dinasti adalah bahwa ia juga harus memiliki posisi strategis sebagai pengambil kebijakan. Sebab, jika tidak, perempuan tidak bisa punya kontrol pada kekuasaan. Bisa saja ia menjadi pemimpin, tetapi pengambil kebijakannya tetap keluarganya. Artinya, sama saja.
Pada akhirnya, semua diserahkan kepada perempuan. Mau bergerak seperti apa mereka ke depan. Pemikir Jerman, Fritz Sternberg, menulis, pada akhirnya manusialah yang berbuat. Jika ”manusia” rakyat jelata tidak berbuat, berjuang, dan melawan, dunia akan jatuh dalam chaos yang sekalut-kalutnya dan segelap-gelapnya.
Baca Juga: Perempuan dan Kisah yang Mencatatnya