Membangkitkan Kembali Tradisi Ngobeng di Palembang
Tradisi ngobeng membuktikan bahwa Palembang sudah menjadi kota peradaban sejak lama. Hal ini tampak dari akulturasi budaya dari berbagai bangsa di dunia. Tradisi lama itu kini menggeliat dijadikan ikon pariwisata.
Oleh
RHAMA PURNA JATI
·6 menit baca
Tradisi ngobeng, makan bersama ala warga Palembang, Sumatera Selatan, menunjukkan, akulturasi budaya Arab, China, dan India dengan budaya lokal sejak dulu tumbuh subur di Palembang. Tradisi itu kembali dihidupi dan didorong menjadi ikon pariwisata.
Matahari belum gagah bersinar saat Ahmad Rivai (56) dibantu beberapa rekannya mempersiapkan bahan untuk membuat nasi minyak di kawasan Kampung Palembang, Kelurahan 4 Ulu, Kecamatan Seberang Ulu I, Palembang, Sabtu (4/9/2021). Makanan khas Palembang yang terpengaruh tradisi Timur Tengah itu akan digunakan sebagai hidangan utama perayaan tradisi ngobeng, sebuah tata cara makan orang Palembang yang sudah ada sejak zaman Kesultanan Palembang Darusalam.
Sebelum memasak, dia menyiapkan sejumlah peralatan yang dibutuhkan, seperti dalung (dandang) tembaga berdiameter sekitar 1 meter untuk tempat menanak nasi minyak. Libung (spatula) yang terbuat dari kayu sepanjang 1 meter pun disiapkan sebagai alat pengaduk bahan.
Beberapa batang kayu pelawan juga disediakan untuk bahan bakar api. ”Kalau memakai gas matangnya tidak merata,” ujar Ahmad.
Setelah semua sudah siap, mereka pun mulai memasak. Beberapa bumbu dasar, seperti bawang merah, bawang putih, bawang bombai, tomat, nanas, dan jahe, ditumis bersamaan menggunakan minyak panas. Kala tumisan sudah tercium harum, Ahmad menuangkan air ke dalam dalung. Saat air mendidih, dia tuangkan 40 kilogram (kg) beras di dalamnya.
Sekitar 20 menit berselang, ketika nasi sudah setengah matang, Ahmad membubuhkan rempah, seperti kayu manis, kapulaga, cengkih, cabai jawa, susu, dan 4 kg minyak samin. ”Minyak samin inilah yang membuat nasi minyak lebih harum,” kata Ahmad. Kemudian, dalung pun ditutup dengan penutup yang terbuat dari kayu.
Sesekali Ahmad memeriksa masakan dan mengaduk lagi nasinya guna memastikan bumbu sudah tercampur merata. Secara keseluruhan, Ahmad membutuhkan waktu sekitar 4 jam untuk membuat nasi minyak.
Membuat nasi minyak tidaklah asing bagi Ahmad. Sejak usia 10 tahun, dia telah membantu orangtuanya membuat nasi minyak. ”Biasanya ketika ada pesta pernikahan, khitanan, akikah, atau acara lain yang mengundang orang banyak, nasi minyak menjadi salah satu menu yang dihidangkan masyarakat Palembang,” kata Ahmad.
Kemampuan orangtuanya meramu nasi minyak diperoleh dari pergaulan dengan tetangganya. Orangtua Ahmad tinggal di kawasan 7 Ulu, Palembang, di mana banyak warga keturunan Arab (Yaman) bermukim. Di situ keahlian membuat nasi minyak terbentuk, termasuk aneka modifikasinya.
Selain itu, ada tim lain yang menyiapkan beragam peranti saji di dalam sebuah rumah limas, rumah adat Palembang, di kampung itu. Rumah itu pernah disinggahi oleh Soekarno sebelum menjabat sebagai Presiden RI.
Sepra (taplak) berukuran 1 meter x 1 meter dibentangkan. Di atasnya diletakkan beberapa masakan pendamping, seperti pulur yang terdiri dari acar, nanas, dan sambal.
Kemudian disediakan pula beragam lauk, seperti malbi (semur Palembang), ikan asin, dan ayam kecap. Ali mengungkapkan, sebenarnya lauk yang biasanya disajikan dalam tradisi ngobeng bisa juga kari, ayam opor, dan sate pentul.
Pada masa lalu, peranti sajinya bermacam-macam. Pulur diletakkan di atas piring pulur, piring iwak sebagai wadah lauk, dan piring sambal sebagai tempat untuk menyajikan sambal. ”Namun, jenis piring itu jumlahnya sudah terbatas. Sekarang, semua makanan diletakkan di dalam piring biasa yang bentuknya serupa dan sederhana,” kata Ali Hanafiah, budayawan Palembang.
Sementara hidangan utama, yakni nasi minyak, diletakkan dalam dulang (nampan) besar yang pinggirnya memiliki motif lak, motif dari China. Nasi minyak diletakkan di tengah dikelilingi oleh makanan lain.
Setelah semua hidangan siap, tamu dipersilakan duduk lesehan (ngidang) mengelilingi hidangan tersebut. Satu hidangan dikelilingi delapan orang.
Angka delapan bagi warga Palembang, ujar Ali, memiliki makna filosofi sebagai angka kehidupan. ”Dalam satu hari ada 24 jam. Ketika waktu itu kita bagi tiga, akan menjadi delapan. Delapan jam kita beribadah, delapan jam kita bekerja, dan delapan jam kita beristirahat,” kata Ali.
Angka delapan juga melambangkan delapan anak sungai yang mengelilingi Palembang, dengan pusatnya adalah Keraton Kesultanan Palembang Darussalam.
Kegiatan ini tentu menarik untuk memberikan gambaran mengenai tradisi masyarakat Palembang pada masa lalu yang telah jarang ditemui pada masa sekarang.
Sebenarnya, ujar Ali, ngobeng memiliki arti mengantarkan makanan dari dapur ke ruang makan. Karena di rumah limas tidak ada ruang khusus untuk makan, acara makan bersama dilakukan di ruangan yang paling luas di rumah limas.
Sebelum makan, tuan rumah akan berbicara atau diaturi melingkup, menyampaikan ucapan untuk mempersilakan para tamu menikmati hidangan yang sudah disiapkan. Cara pengambilan makanan pun harus mendahulukan hadirin yang paling tua di kelompok tersebut.
Tradisi ngobeng biasanya digelar untuk beragam acara, seperti kenduri, sedekahan, atau acara pernikahan. Siang itu, ngobengdiselenggarakan oleh Asosiasi Pengusaha Kue dan Kuliner (Aspenku) Sumsel.
Akulturasi
Ngobeng, lanjut Ali, diadopsi dari tradisi rumpakan, yakni makan bersama oleh komunitas keturunan Arab. Hanya saja, ada beragam adaptasi yang dilakukan. Dalam komunitas Arab, satu nampan dikelilingi empat orang, sedangkan dalam tradisi ngobeng dikelilingi delapan orang.
Dalam rumpakan, biasanya tamu langsung makan di nampan. Namun, dalam tradisi ngobeng, nasi dan lauk sudah ditakar sedemikian rupa dalam piring hidang dan tamu mengambil sesuai dengan haknya dalam piring yang berbeda.
Adapun budaya India dalam tradisi ini terlihat dalam bumbu rempah dan hidangan kari yang dihidangkan, sementara budaya China muncul dalam peranti saji, termasuk dulang, yang menjadi wadah nasi minyak bermotifkan lak dari China.
Ketua Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI) Sumatera Selatan Farida Warga Dalem berpendapat, akulturasi budaya dalam kuliner Palembang merupakan hasil pertemuan orang dari berbagai bangsa yang menghasilkan budaya baru melalui satu ”jalan raya”, yakni sungai besar.
Sejak dulu Palembang memiliki sungai besar yang merupakan pusat peradaban sekaligus menjadikan Palembang sebagai kota dagang. Di situ terjadi pertemuan antara satu bangsa dan bangsa yang lain, baik dari daerah uluan (hulu) Sungai Musi atau bahkan dari luar negeri, seperti China, Inggris, Belanda, India, dan Arab.
Mereka dipertemukan dalam ikatan perdagangan sejumlah komoditas. Untuk daerah uluan, mereka menghasilkan komoditas gambir, pinang, dan lada. Adapun dari bangsa lain, mereka membawa kain, rempah, garam, dan keramik. ”Pertukaran komoditas itu terjadi di Palembang,” katanya.
Pembentukan akulturasi budaya juga muncul dari proses perkawinan antara bangsa di luar Palembang dan orang Palembang. Kebanyakan pedagang yang datang ke Palembang tidak membawa keluarganya. ”Tak jarang para pedagang tersebut menjadikan perempuan Palembang sebagai istrinya,” katanya.
Dalam proses ini tentu akan ada pertukaran atau bahkan percampuran budaya yang menghasilkan budaya baru, salah satunya terlihat dari beragam kuliner, seperti nasi minyak (Arab), kari (India), dan mi (China). ”Hanya saja, variasi kuliner tersebut akan terus berkembang disesuaikan dengan cita rasa masyarakat lokal,” kata Farida.
Kepala Dinas Pariwisata Kota Palembang Isnaini Madani menuturkan, wisata kuliner menjadi salah satu daya tarik wisata di Palembang. Hal ini dibuktikan dengan sudah melekatnya salah satu produk kuliner di Palembang, yakni pempek. ”Ketika wisatawan ditanya mengenai Palembang, satu kata yang mereka sebutkan adalah pempek,” katanya.
Dengan kekuatan ini, Palembang sudah memiliki keunggulan untuk menarik minat para wisatawan untuk datang. Karena itu, pemerintah selalu mendorong para pelaku kuliner di Palembang untuk terus berinovasi agar dapat memberikan nilai tambah bagi wisatawan yang datang.
Salah satunya adalah tradisi ngobeng ini. Tradisi ini nantinya akan dijadikan salah satu paket wisata untuk pelancong. ”Kegiatan ini tentu menarik untuk memberikan gambaran mengenai tradisi masyarakat Palembang pada masa lalu yang telah jarang ditemui pada masa sekarang,” kata Isnaini.
Mengikutkan tradisi itu dalam kalender wisata unggulan di Palembang, lanjut Isnaini, secara tidak langsung tentu juga akan turut melestarikannya agar tidak punah terkikis zaman.