Rehabilitasi Lahan Bekas Tambang Pasir Lereng Merapi Mendesak
Lahan bekas tambang pasir yang telah ditutup di lereng Gunung Merapi harus segera direhabilitasi. Rehabilitasi diharapkan memulihkan fungsi lahan kawasan lereng Merapi sebagai daerah resapan air.
Oleh
HARIS FIRDAUS
·4 menit baca
KOMPAS/HARIS FIRDAUS
Lokasi bekas tambang pasir yang telah ditutup di lereng Gunung Merapi, Desa Umbulharjo, Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), tampak sepi, Jumat (17/9/2021). Beberapa waktu lalu, Pemerintah Daerah DIY menutup 14 lokasi tambang pasir ilegal di lereng Merapi. Selain tak berizin, aktivitas penambangan pasir itu juga berdampak buruk pada kondisi lingkungan.
SLEMAN, KOMPAS — Lahan bekas tambang pasir yang telah ditutup di lereng Gunung Merapi, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, mendesak direhabilitasi. Rehabilitasi penting untuk memulihkan fungsi lahan di kawasan lereng Merapi sebagai daerah resapan air. Upaya rehabilitasi dengan budidaya tanaman tertentu juga bisa memberikan manfaat ekonomi warga setempat.
”Karena aktivitas penambangan itu ilegal, mau tidak mau pemerintah yang harus melakukan rehabilitasi terhadap lahan itu untuk mengembalikan fungsinya,” kata Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Yogyakarta Halik Sandera, Jumat (17/9/2021), di Sleman.
Seperti diberitakan, Pemerintah Daerah DIY telah menutup 14 lokasi penambangan pasir di kawasan lereng Gunung Merapi di Sleman. Penutupan dilakukan karena aktivitas penambangan pasir di 14 lokasi itu tanpa izin atau ilegal. Selain itu, penambangan pasir juga berdampak buruk terhadap lingkungan karena berpotensi merusak daerah resapan air di lereng Merapi.
Penutupan tambang pasir ilegal dilakukan dengan memasang portal di jalan masuk menuju lokasi penambangan agar truk-truk pengangkut tidak bisa masuk. Pemasangan portal dengan lebar 4 meter dan tinggi 2 meter itu dilakukan pada 8-12 September 2021.
Sebuah portal dipasang di jalan menuju lokasi bekas tambang pasir yang telah ditutup di lereng Gunung Merapi, Desa Umbulharjo, Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, Jumat (17/9/2021). Portal itu dipasang agar truk pengangkut pasir tidak bisa masuk ke lokasi tambang.
Berdasarkan pantauan Kompas, Jumat siang, portal tersebut antara lain dipasang di dekat salah satu lokasi penambangan pasir di Desa Umbulharjo, Kecamatan Cangkringan, Sleman. Di bagian atas portal itu terdapat tulisan ”Dilarang Menambang” serta keterangan bahwa lahan tersebut merupakan tanah milik Keraton Yogyakarta atau biasa disebut Sultan Ground.
Berdasarkan data Pemda DIY, dari 14 lokasi tambang pasir ilegal yang ditutup, tujuh lokasi di antaranya memang berstatus sebagai Sultan Ground. Sementara itu, tujuh lokasi lainnya berada di lahan milik masyarakat.
Halik menyatakan, penutupan tambang-tambang pasir ilegal itu harus segera diikuti upaya rehabilitasi lahan. Hal ini karena kawasan lereng Merapi merupakan daerah resapan air yang berfungsi penting menjaga ketersediaan air tanah bagi sejumlah wilayah DIY, yakni Sleman, Kota Yogyakarta, dan Kabupaten Bantul.
Halik mengemukakan, wilayah Sleman, Yogyakarta, dan Bantul berada dalam satu cekungan air tanah. Ketersediaan air di cekungan air tanah itu sangat tergantung pada proses peresapan air di wilayah lereng Merapi. ”Lereng Merapi itu merupakan kawasan pengisian air tanah. Jadi, saat lereng Merapi rusak, pasti akan mengganggu pengisian air tanah. Dampaknya bisa ke air tanah di Sleman, Yogyakarta, dan Bantul karena itu satu cekungan air tanah,” ungkap Halik.
KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO
Truk petambang pasir memasuki area penambangan di Sungai Gendol, Desa Kepuharjo, Cangkringan, Sleman, DI Yogyakarta, Rabu (24/6/2020) pagi. Tempat ini merupakan salah satu lokasi penambangan pasir di lereng Gunung Merapi.
Menurut Halik, langkah awal rehabilitasi bisa dilakukan dengan menata dan menimbun kembali lahan bekas tambang. Hal ini karena lahan di lokasi tambang pasir telah dikeruk hingga puluhan meter.
Halik menambahkan, penimbunan kembali lahan bekas tambang bisa menggunakan material pasir yang diambil dari aliran sungai-sungai yang berhulu di Gunung Merapi. Material pasir di aliran sungai itu memang diperbolehkan diambil atau ditambang untuk menormalisasi sungai-sungai yang berhulu di Merapi.
”Bisa saja mengambil material dari alur sungai yang memang harus diambil. Sekaligus untuk memperbaiki alur sungai yang ada,” kata Halik.
Langkah awal rehabilitasi bisa dilakukan dengan menata dan menimbun kembali lahan bekas tambang. Hal ini karena lahan di lokasi tambang pasir telah dikeruk hingga puluhan meter. (Halik Sandera)
Tanaman buah
Setelah penataan dan penimbunan kembali, lahan bekas tambang pasir itu bisa ditanami tanaman tertentu yang bermanfaat untuk lingkungan sekaligus bernilai ekonomi. Halik menuturkan, pemerintah bisa menanam tanaman buah-buahan yang cocok dengan lahan di lereng Merapi dengan melibatkan masyarakat setempat.
Di satu sisi, budidaya tanaman buah-buahan itu bisa mengembalikan fungsi lahan di lereng Merapi sebagai daerah resapan air. Di sisi lain, hasil panen buah-buahan itu juga bisa dijual sehingga masyarakat setempat juga mendapat manfaat ekonomi.
KOMPAS/HARIS FIRDAUS
Kondisi lahan bekas tambang pasir yang telah ditutup di lereng Gunung Merapi, Desa Umbulharjo, Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, Jumat (17/9/2021).
Dengan memiliki sumber penghasilan dari budidaya tanaman buah, warga setempat diharapkan tidak lagi bergantung pada aktivitas penambangan pasir untuk memperoleh penghasilan. ”Ke depan, itu bisa menopang ekonomi masyarakat sehingga tidak lagi tergiur dengan praktik pertambangan yang merusak lahan,” kata Halik.
Meskipun demikian, Halik mengingatkan, sebelum rehabilitasi, Pemda DIY harus memastikan aktivitas penambangan ilegal itu tidak terulang. Jika penambangan pasir kembali dilakukan, rehabilitasi lahan bakal sia-sia. Oleh karena itu, Pemda DIY harus mengawasi ketat lahan-lahan bekas tambang yang telah ditutup.
Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan DIY Kuncoro Cahyo Aji mengatakan, lahan-lahan bekas tambang itu akan direhabilitasi dengan ditanami pohon-pohon. Hal itu dilakukan untuk memulihkan ekosistem di kawasan lereng Gunung Merapi sesuai perintah Gubernur DIY Sultan Hamengku Buwono X.
”Perintah beliau (Sultan HB X) adalah gunung kembali ke gunung sehingga kita harus kembalikan ekosistem di gunung itu secara utuh dengan memberikan tutupan vegetasi,” ungkap Kuncoro.
KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO
Buruh perempuan menggendong pasir dan batu yang ditambang di Sungai Grawah, Desa Gubug, Cepogo, Boyolali, Jawa Tengah, Senin (13/7/2020). Mereka mendapat upah Rp 20.000 per hari jika material sisa erupsi Gunung Merapi yang mereka kumpulkan tersebut laku terjual.
Menurut Kuncoro, pohon-pohon yang ditanam itu akan disesuaikan dengan tanaman asli di lereng Gunung Merapi. Namun, dia belum menjelaskan secara detail jenis tanaman yang akan ditanam di lahan-lahan bekas tambang itu. ”Kami sesuaikan dengan tanaman asli di Gunung Merapi,” katanya.
Kuncoro menambahkan, pada tahap awal, upaya rehabilitasi itu akan dilakukan di lahan-lahan berstatus Sultan Ground. Oleh karena itu, Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan DIY akan berkoordinasi dengan Keraton Yogyakarta sebelum melakukan rehabilitasi lahan. Upaya rehabilitasi ditargetkan dimulai tahun ini.
Sementara itu, rehabilitasi lahan bekas tambang yang menjadi tanah warga akan dilakukan setelah berkoordinasi dengan masyarakat pemilik lahan. ”Kami akan koordinasikan dengan masyarakat,” ujar Kuncoro.