Pandemi Melandai, Jawa Timur Hampir Menguning Utuh
Situasi pandemi Covid-19 kian melandai di Jawa Timur sehingga tersisa Kota Blitar yang zona oranye. Namun, situasi ini menuntut disiplin protokol kesehatan sehingga pandemi tidak memburuk kembali dengan cepat.
Oleh
AMBROSIUS HARTO, AGNES SWETTA PANDIA
·4 menit baca
SURABAYA, KOMPAS — Situasi pandemi Covid-19 di Jawa Timur terus membaik. Hampir semua kabupaten/kota telah memasuki zona kuning atau risiko rendah penularan. Hanya Kota Blitar yang zona oranye atau risiko sedang. Hal ini perlu dijaga agar situasi pandemi tidak memburuk kembali sehingga dapat mendorong penormalan kehidupan sosial.
Menurut Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa, membaiknya situasi pandemi merupakan bukti kegigihan semua elemen masyarakat menangani pandemi yang menyerang sejak Maret 2020. ”Situasi yang membaik ini hasil dari ikhtiar kita bersama sehingga patut dijaga dan tetap waspada, terutama disiplin protokol kesehatan sehingga pandemi bisa segera teratasi,” katanya di Surabaya, Kamis (16/9/2021).
Di Jatim terdapat 38 kabupaten/kota. Menurut asesmen Satuan Tugas Penanganan Covid-19 pada laman resmi https://covid19.go.id/, ada 37 daerah yang zona kuning atau 97,4 persen. Daerah berzona oranye hanya Kota Blitar. Situasi ini jauh membaik dibandingkan dengan akhir Agustus lalu bahwa separuhnya yang berada di zona kuning.
Khofifah melanjutkan, situasi yang membaik juga terlihat dari positivity rate yang rendah, yakni 1,85 persen. Bahkan, angka ini yang terendah selama serangan pandemi. Capaian baik ini perlu disyukuri, tetapi jangan memantik euforia yang mendorong pengabaian terhadap prinsip-prinsip epidemiologi, terutama disiplin protokol untuk pencegahan.
Menurut Khofifah, dalam situasi yang membaik, satuan tugas, terutama di kabupaten/kota, tetap perlu memelihara kinerja tinggi dalam tes, telusur, tangani atau 3T, sosialisasi dan penegakan protokol, serta vaksinasi. Di Jatim, jumlah tes usap PCR sebagai indikator pengungkapan kasus-kasus baru mencapai 148.000 tes atau sampel per minggu. Jumlah ini jauh di atas standar Badan Kesehatan Dunia (WHO) yang minimal 41.000 tes per minggu.
Selain itu, tingkat keterisian tempat tidur (BOR) di rumah sakit penanganan pasien Covid-19 menurun drastis. Sejak Juli sampai saat ini, BOR di unit rawat intensif (ICU) menurun dari 78 persen ke 18 persen. BOR di isolasi turun dari 81 persen ke 13 persen. Keterisian di RS darurat turun dari 69 persen ke 18 persen. Persentase ini jauh di bawah standar WHO yang 60 persen. Keterisian yang rendah berarti layanan kesehatan tidak terganggu.
”Zonasi atau situasi risiko di suatu daerah menjadi dasar utama bagi teman-teman bupati/wali kota untuk menentukan kebijakan selanjutnya,” kata Khofifah. Ketika situasi membaik, menjadi wajar jika kepala daerah menginginkan relaksasi dari pembatasan sosial yang selama ini ditempuh untuk menekan risiko penularan. Relaksasi bisa ditempuh sesuai dengan tingkat risiko di suatu daerah.
Secara terpisah, Wali Kota Surabaya Eri Cahyadi mengatakan, menurut laman resmi https://vaksin.kemkes.go.id/, asesmen situasi di ibu kota Jatim ini berada di angka 1 bersama dengan sembilan daerah lainnya. Kesembilan daerah dimaksud ialah Pamekasan, Banyuwangi, Bondowoso, Situbondo, Kabupaten Pasuruan, Sidoarjo, Gresik, Lamongan, dan Kabupaten Madiun. Angka 1 berarti berbagai indikator penanganan pandemi suatu wilayah dianggap baik.
”Situasi pandemi itu dinamis yang menuntut kewaspadaan sehingga untuk penerapan kebijakan relaksasi tidak boleh tergesa-gesa,” kata Eri. Misalnya, relaksasi dalam pendidikan ialah membolehkan kembali pembelajaran tatap muka terbatas dari sebelumnya hanya dalam jaringan (online). Surabaya memilih tertinggal satu-dua pekan dibandingkan dengan kabupaten/kota lain karena ingin memastikan penerapan kebijakan tidak berisiko memperburuk situasi kembali.
Eri mengatakan, relaksasi di sektor lainnya, terutama ekonomi, untuk pemulihan kehidupan sosial masyarakat segera ditempuh, tetapi memperhatikan perkembangan situasi. ”Tidak bisa mengumbar, apalagi mengabaikan protokol. Situasi pandemi bisa berubah dengan cepat yang memengaruhi kebijakan harus diambil,” katanya.
Epidemiolog Universitas Airlangga, Surabaya, Windhu Purnomo, mengatakan, kewaspadaan dan kehati-hatian perlu terus dijunjung dan dilaksanakan dalam situasi yang membaik. Saat inilah yang tepat untuk memperbaiki berbagai kekurangan dalam penanganan pandemi sebagai antisipasi ketika situasi kembali memburuk.
Windhu mengatakan, secara khusus situasi pandemi di Surabaya telah membaik sejak dua pekan, tetapi asesmen ke angka 1 baru didapat akhir-akhir ini. Mengapa demikian? Surabaya merawat pasien-pasien dari kabupaten/kota lain yang mungkin terkendala dalam kelengkapan dan kemajuan fasilitas sarananya.
Sebagai contoh, kasus aktif atau jumlah pasien warga Surabaya tercatat 186 orang, tetapi yang dirawat di Surabaya, termasuk dari daerah lain, di atas 500 orang. ”Lebih banyak pasien dari daerah lain sehingga memengaruhi angka asesmen untuk Surabaya,” katanya.
Windhu mendorong dalam situasi ini Jatim perlu lebih mempercepat cakupan vaksinasi. Se-Jatim baru 12,27 juta jiwa atau 38,5 persen dari sasaran vaksinasi yang telah mendapat dosis 1. Untuk dosis 1 dan dosis 2 baru 6,598 juta jiwa atau cakupan 20,7 persen.
Surabaya dan Kota Mojokerto sementara masih yang terdepan. Dosis 1 di Surabaya menjangkau 2,286 juta jiwa atau 103 persen, sedangkan di Kota Mojokerto 122.571 jiwa atau 120,7 persen. Dosis 1 dan dosis 2 di Surabaya telah menjangkau 1,457 juta jiwa atau 66,7 persen, sedangkan di Kota Mojokerto 72.846 jiwa atau 71,4 persen.
”Secara statistik, keberhasilan vaksinasi di Surabaya menjadi kunci bagi Jatim untuk mendorong percepatan vaksinasi. Situasi inilah yang perlu segera diikuti oleh kabupaten/kota lainnya yang cakupan vaksinasi masih rendah,” kata Windhu.