Ditahan Semalam, Tersangka KDRT di Sarolangun Kembali Melenggang
Ada keanehan di balik keputusan yang berubah-ubah dari aparat penegak hukum di Kabupaten Sarolangun. Komisi Yudisial perlu menelusuri jejaknya.
Oleh
IRMA TAMBUNAN
·3 menit baca
JAMBI, KOMPAS — Baru semalam menahan tersangka kasus kekerasan dalam rumah tangga, Sh, Tim Kejaksaan Negeri Sarolangun mendadak diperintahkan Hakim Pengadilan Negeri Sarolangun untuk mengeluarkan kembali tersangka. Berubah-ubahnya sikap aparat penegak hukum mengundang pertanyaan para aktivis perlindungan perempuan.
”Ada keanehan di balik keputusan yang berubah-ubah. Komisi Yudisial perlu menelusuri jejak ini,” ujar Wenny Ira, anggota Save Our Sisters, yang merupakan gabungan lembaga dan aktivis perlindungan perempuan dan anak di Jambi, Kamis (16/9/2021).
Pekan lalu, Kejaksaan Negeri Sarolangun lebih dahulu menetapkan status tahanan kota bagi Sh. Alasan jaksa karena ada pihak yang menjamin tersangka, yakni seorang anggota DPRD di kabupaten itu.
Selanjutnya, setelah kasusnya dilimpahkan ke pengadilan, keluar surat perintah penahanan tersangka dari hakim PN Sarolangun pada 15 September lalu. Penahanan itu berlaku untuk 30 hari.
Menurut Shandy, jaksa penuntut umum Kejaksaan Negeri Sarolangun, setelah surat perintah penahanan terbit, pihaknya melakukan eksekusi pada malam harinya. ”Setelah tersangka datang ke kejaksaan, kami bawa tersangka masuk tahanan. Kami titipkan di tahanan Polres Sarolangun,” ujarnya.
Namun, keesokan harinya, keluar lagi surat perintah baru dari hakim. Tersangka Sh dapat keluar dari sel tahanan. Ia dapat menjalani status sebagai tahanan kota. ”Karena itu, tadi siang kami mengeluarkan kembali tersangka dari tahanan,” lanjutnya.
Keputusan mengeluarkan Sh dari tahanan, dijelaskan Zaki Husen dari bagian Humas PN Sarolangun, atas permohonan pihak tersangka yang memberikan uang jaminan.
Ada unsur ketidaktegasan. (Wenny Ira)
Hal itu menuai keprihatinan aktivis perlindungan perempuan. Wenny mempertanyakan mengapa keputusan hakim berubah-ubah saat sudah mendekati persidangan. Ia menilai ada unsur ketidaktegasan. Ia pun khawatir keputusan yang berubah-ubah mencerminkan lemahnya etika penegak hukum.
Kasus KDRT dan poligami yang melibatkan Sh menyeruak ke publik setelah penahanan tersangka ditangguhkan. Penangguhan itu, mirisnya, dijamin oleh seorang anggota DPRD Kabupaten Sarolangun. Baru belakangan diketahui bahwa pembela tersangka ternyata juga merupakan kuasa hukum di Dinas Perlindungan Perempuan dan Anak Kabupaten Sarolangun (DP3A), yang semestinya membela korban.
Kasus itu bermula tahun 2016, Mrt, korban KDRT itu, mendapati suaminya menikah kembali tanpa seizin dirinya. Belakangan baru ia ketahui sang suami, Sh, memalsukan sejumlah dokumen kependudukan sehingga terbit buku nikah baru.
Pada 2019 dirinya mengajukan cerai di jalur hukum. Ironisnya, pada tahun yang sama, petugas Pengadilan Agama memberitahukan dua gugatan cerai terhadap orang yang sama, yakni Sh. Sebelumnya, kekerasan fisik dan psikis kerap dialami Mrt sehingga ia berharap bisa mendapatkan perlindungan dan pemulihan.
Mrt sebelumnya mengadu ke DP3A Sarolangun untuk meminta perlindungan dan pemulihan dari trauma. Namun, petugas malah bermaksud mempertemukan langsung dirinya dan pelaku untuk dilakukan mediasi.
Upaya mempertemukan keduanya membuat Mrt ketakutan. Sebab, yang ia butuhkan dari DP3A adalah perlindungan serta pemulihan trauma.