Di tengah ganasnya Laut Banda, kapal yang ditumpangi Jamaluddin (54) dan tiga rekannya tenggelam. Berbekal doa, ia bertahan tujuh hari dan akhirnya diselamatkan.
Oleh
SAIFUL RIJAL YUNUS
·5 menit baca
Tujuh hari tujuh malam, Jamaluddin (45) mengikat diri di kapal yang setengah tenggelam di tengah ganasnya Laut Banda. Satu per satu rekannya meninggal, juga melompat karena tidak mampu bertahan dengan hanya meminum air laut. Di tengah kepasrahan dan bermodal doa, ia terselamatkan.
Selasa (7/9/2021), jelang tengah hari. Jamal, panggilannya, beristirahat di kamar kapal yang sedang berlayar di tengah Laut Banda menuju Sorong, Papua Barat. Dua hari sebelumnya, mereka berangkat dari Batu Atas, Kabupaten Buton Selatan, setelah rekannya membeli kapal berukuran 6 gross ton (GT) yang belum diberi nama. Kapal ini digunakan untuk mengangkut kopra antarwilayah.
Di tengah kapal yang berayun, Jamal berusaha memejamkan mata. Sejak malam sebelumnya, cuaca memang tidak bersahabat. Ombak lebih dari 2 meter disertai angin kencang membuat pelayaran kapal tersendat. Ia ingin beristirahat sejenak setelah semalaman mengambil alih kemudi.
”Tiba-tiba, kapal miring dan air masuk. Cepat sekali kamar terisi air laut hingga penuh. Saya lihat ada jendela kecil dan akhirnya berenang lewat situ keluar kapal,” kata ayah tiga anak ini, ditemui setelah tiba di Kendari, Sulawesi Tenggara, Selasa (14/9/2021). Hidungnya belang, sebagian kulitnya pun terkelupas. Jemari tangan dan kakinya bengkak. Luka-luka kecil memenuhi kedua kakinya.
Beberapa saat setelah dihantam ombak, air laut memenuhi lambung kapal. Hanya saja, kapal tidak tenggelam penuh dan menyisakan bagian atap. Bersama tiga rekannya, Ihsanuddin (43), Hasanuddin (34), dan Wahyu (30), para nelayan dari Maros, Sulawesi Selatan, ini menjadikan tempat tersebut pijakan satu-satunya di tengah ganasnya Laut Banda.
Dalam kepanikan, Jamal mengambil tali yang berserakan untuk saling mengikat diri. Barang-barang lain berada di lambung dan kamar. Semua bekal makanan basah dan tidak bisa dikonsumsi sama sekali. Sebuah jeriken juga diambilnya, lalu diisi air laut sebagai tempat minum satu-satunya.
Mereka berusaha saling menguatkan dan berharap ada pertolongan. Ihsanuddin mengeluhkan belum sempat makan dari Senin malam. ”Saya bilang minum air laut saja, minta doa. Insya Allah akan kenyang,” ucap Jamal mengulang ucapannya terhadap rekan-rekannya.
Dinginnya malam disertai angin laut yang bertiup kencang menjadi ”santapan” pertama. Mereka berharap saat hari terang akan ada kapal yang melintas. Hingga keesokan hari, mereka satu-satunya kapal di sekitar perairan tersebut.
Saya tuntun baca La Ilaha Illallah sampai tidak bernapas.
Rekan-rekannya mulai kelaparan dan dehidrasi karena hanya meminum air laut. ”Rabu malam, saya lihat di sebelah Ihsan sudah tidak bergerak. Dia meninggal,” katanya.
Meski telah meninggal, mereka tetap saling mengikat diri. Ombak tinggi menyapu sepanjang waktu. Hujan sesekali turun membuat mereka semakin kedinginan dan kelaparan. Berselang sehari, pada Kamis (9/9/2021) malam, Hasanuddin mendekatkan diri ke Ihsan dan meminta didoakan. Ia mengaku tidak sanggup lagi.
”Saya tuntun baca La Ilaha Illallah sampai tidak bernapas,” tutur Jamal berusaha bercerita dengan tenang.
Melihat kedua rekannya meninggal dan kondisi kelaparan, Jamal dan Wahyu terus berharap ada kapal yang lewat. Saat malam, mereka hanya bisa terus menatap langit dan berdoa pertolongan akan tiba di keesokan harinya. Ketika haus, mereka meminum air laut dalam jeriken. Air laut itu juga dianggap sekaligus makanan.
Akan tetapi, nasib belum berpihak. Pada Minggu (12/9/2021), enam hari setelah kapal tenggelam, Wahyu nekat ingin mencari pertolongan. Ia melepaskan ikatan dan pamit ke Jamal untuk berenang, berharap bertemu kapal. Tanpa alat apa pun, ia melompat dan berenang.
”Itu terakhir kali saya melihat Wahyu. Saya padahal bilang, akan ada kapal yang tolong kita. Itu yang saya yakini,” kata Jamal.
Senin (13/9/2021), jelang sore, di antara sadar dan lelah, doanya terkabulkan. Sebuah kapal penangkap ikan berlayar di dekatnya. Ia berteriak dengan tenaga tersisa meminta diselamatkan. Nakhoda Kapal Motor Fajar Mulia 77 yang menemukan Jamal lalu menghubungi Kantor Pencarian dan Pertolongan Kendari untuk meminta evakuasi.
Berserah diri
Menempuh perjalanan lebih dari delapan jam, KN SAR Pacitan yang berangkat dari Kendari tiba di lokasi kejadian pada Selasa subuh. Tim lalu melakukan evakuasi terhadap Jamal dan dua rekannya yang telah meninggal.
Kepala Kantor Pencarian dan Pertolongan (KPP) Kendari Kendari Aris Sofingi menuturkan, setelah menerima informasi adanya kecelakaan kapal, pihaknya lalu mengerahkan KN SAR Pacitan menuju lokasi. Lokasi kejadian berjarak sekitar 123 mil laut dari Kendari, dengan kondisi cuaca yang kurang bersahabat.
”Kami berkoordinasi dengan petugas Kantor Kesehatan Pelabuhan dan Lanal Kendari sehingga korban selamat segera mendapatkan penanganan. Korban meninggal dibawa ke RS Bhayangkara sembari berkoordinasi dengan keluarga korban,” katanya.
Kami sangat bersyukur keluarga kami bisa selamat. Semua keluarga di Maros juga terus mendoakan.
Terhadap satu awak kapal yang hingga saat ini belum ditemukan, Aris menambahkan, pihaknya akan terus melakukan pemantauan. Kapal yang berlayar di sekitar lokasi kejadian akan dihubungi agar memantau kondisi perairan.
Awaluddin (41), kerabat Jamal, tidak mampu menahan haru saat bertemu. Ia yang kebetulan berada di Kendari, segera ke Dermaga KPP Kendari untuk melihat Jamal. Keduanya saling berpelukan dan meneteskan air mata.
”Kami sangat bersyukur keluarga kami bisa selamat. Semua keluarga di Maros juga terus mendoakan. Kami berduka karena dua orang meninggal dan satu orang belum ditemukan,” ucapnya.
Bagi nelayan dan pelaut, mereka bertaruh nyawa di tengah tidak menentunya cuaca dan peralatan seadanya. Kasus kecelakaan laut juga terus terjadi. Di perairan Sultra dan sekitarnya saja, hingga pertengahan September, jumlah kasus kecelakaan kapal yang ditangani KPP Kendari sebanyak 35 kejadian.
Dari jumlah itu, 160 orang selamat, 9 orang meninggal, 8 orang hilang, dan 1 orang masih dalam pencarian. Sebagian besar kejadian akibat cuaca, kerusakan mesin, hingga tabrakan antarkapal.
Jamal, yang setengah hidupnya bergelut mencari nafkah di lautan, selalu memasrahkan diri saat berada di tengah lautan luas. Ia berusaha untuk tenang dan berdoa agar pekerjaannya selesai dan bisa pulang dengan selamat.
”Saya selalu yakin, kalau Tuhan berkehendak, saya bisa ketemu keluarga lagi meski apa pun cobaannya,” katanya.