Proyek dalam Taman Nasional Dikhawatirkan Mempercepat Kepunahan Komodo
Pembangunan di dalam kawasan Taman Nasional Komodo dikhawatirkan mempercepat kepunahan satwa langka komodo. Proyek pembangunan agar dihentikan.
Oleh
FRANSISKUS PATI HERIN/ISMAIL ZAKARIA
·4 menit baca
LABUAN BAJO, KOMPAS — Ditetapkannya komodo dalam daftar satwa yang terancam punah seharusnya ditanggapi serius oleh Pemerintah Indonesia. Proyek pembangunan sarana penunjang wisata serta izin pengolaan wisata sejumlah perusahaan di Taman Nasional Komodo dinilai semakin mempercepat kepunahan hewan purba itu.
Doni Parera, pegiat pariwisata konservasi di Taman Nasional Komodo (TNK), Kabupaten Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur, mengungkapkan kekhawatirannya itu saat dihubungi pada Selasa (14/9/2021). Kekhawatiran itu mewakili semua pegiat wisata konservasi dan hampir seluruh masyarakat setempat.
Seperti diberitakan sebelumnya, Badan Konservasi Dunia (IUCN) memasukkan komodo ke dalam daftar merah satwa yang terancam punah. Komodo (Varanus komodoensis) dari status rentan (vulnerable) menjadi terancam punah (endangered).
Penetapan itu diumumkan dalam kongres di Perancis, Sabtu (4/9). Dalam rilisnya dikatakan, spesies komodo kian terancam dampak perubahan iklim. Naiknya permukaan laut diprediksi menggerus habitat dan populasi komodo (Kompas, 6/9/2021).
”Jadi, ancaman terhadap komodo tidak hanya dari dampak perubahan iklim, tetapi juga aktivitas manusia, seperti proyek penataan kawasan wisata di Pulau Rinca. Ini semakin mempercepat kepunahan komodo. Tinggal menunggu waktu, komodo hanya jadi cerita bagi generasi masa mendatang,” tutur Doni.
Untuk menyelamatkan komodo, ia meminta agar tidak boleh ada lagi pembangunan fisik besar-besaran. Izin bagi sejumlah perusahaan untuk beroperasi di sana juga segera dicabut. Proyek serta izin dimaksud atas restu dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Mereka datang ke sini untuk lihat alam, bukan lihat bangunan beton.
Dikutip dari situs resmi Taman Nasional Komodo (TNK), kawasan tersebut resmi ditetapkan sebagai taman nasional pada 6 Maret 1980 dengan luasan 173.000 hektar. Penetapan status taman nasional itu bertujuan untuk menjaga kelestarian komodo. Tahun 2018, jumlah komodo di sana sebanyak 2.872 ekor.
Pengaruhi warga
Latif (41), atamodo atau warga Pulau Komodo, yang dihubungi secara terpisah mengatakan, alam TNK sudah berubah setelah dibangunnya fasilitas penunjang wisata di Pulau Rinca. Kondisi itu membuat banyak wisatawan sangat kecewa. ”Mereka datang ke sini untuk lihat alam, bukan lihat bangunan beton,” katanya.
Di tengah gencarnya protes terhadap pembangunan itu, kini ada kaki tangan perusahaan yang mulai mendekati warga di Pulau Komodo agar mendukung pembangunan resor di sana. ”Yang bisa hentikan ini adalah pemerintah. Kami masyarakat tidak berdaya,” katanya.
Kompas berusaha menghubungi Kepala Balai TNK Lukita Awang Nistyantara lewat pesan singkat ataupun telepon, tetapi tidak direspons. Balai TNK merupakan lembaga di bawah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang mengelolah TNK.
Wakil Bupati Manggarai Barat Yulianus Weng yang dihubungi dari Kupang juga belum bersedia memberikan penjelasan dengan alasan masih sibuk. Dia mengaku masih sibuk sehingga belum bisa melayani wawancara. Hingga Selasa petang, pertanyaan yang dikirim melalui pesan singkat belum juga dijawab Weng.
Mengancam habitat
Pelaku usaha pariwisata di Labuan Bajo, Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur, mengatakan, proyek infrastruktur pariwisata di Taman Nasional Komodo memang bisa berdampak baik pada sektor pariwisata. Namun, di sisi lain, hal itu dikhawatirkan akan mengganggu dan mengancam habitat komodo, bahkan kian mendekatkan kadal terbesar di dunia itu pada kepunahan.
”Kalau kita kembali ke konsep ekowisata atau ecotourism, berarti kembali ke alam itu sendiri. Sekarang, dengan pembangunan raksasa (di Pulau Komodo) yang sedang berjalan, amat sangat mengganggu,” kata Tour Guide di Labuan Bajo, Videlis Daor, saat dihubungi dari Mataram.
Menurut dia, infrastruktur pariwisata yang dibangun di Pulau Komodo memang bisa menjadi daya tarik sehingga akan banyak wisatawan yang datang. Akan tetapi, dengan itu akan menimbulkan banyak pergerakan wisatawan.
Justru mereka datang untuk bertualang. Ingin melihat komodo dengan alamnya.
”Wisatawan domestik jadi senang mengunjungi komodo. Namun, semangatnya karena ada fasilitas yang tersedia. Fasilitas yang mudah dan bagus. Itu tentu akan menimbulkan penumpukan orang dan mengganggu komodo,” kata Videlis.
Sebagai pemandu, kata Videlis, ia paham betul setiap tamu yang masuk seharusnya datang ke Pulau Komodo bukan untuk melihat kemewahan dan fasilitas yang ada. ”Justru mereka datang untuk bertualang. Ingin melihat komodo dengan alamnya,”uajrnya.
Menurut Videlis, selama ini, pemerintah melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan telah melakukan berbagai upaya untuk melestarikan lingkungan Taman Nasional Komodo.
”Sekarang jadi ironis. Pembangunan yang sedang berlangsung justru terbalik (dengan berbagai upaya pelestarian yang dilakukan). Justru mengancam (TNK) dengan mempersiapkan berbagai fasilitas,” ujarnya.
Dengan kondisi itu, Videlis khawatir lama-lama konsep ekowisata di TNK juga akan terlindas. Komodo yang saat ini hanya tersisa di TNK bisa stres dan tidak menutup kemungkinan punah.
Oleh karena itu, Videlis berharap pemerintah benar-benar mengikuti arahan UNESCO terkait TNK. ”Mereka tentu sudah paham betul tentang ekowisata. Apalagi, komodo hanya ada di sini. Harus dilindungi. Jadi, harus diperhatikan (arahan UNESCO),” katanya.