Kuasa Hukum DP3A Sarolangun Justru Membela Tersangka KDRT
Kasus Sh menyeruak setelah penahanan dirinya ditangguhkan atas jaminan seorang anggota DPRD di Sarolangun. Diketahui pula ternyata pembela tersangka merupakan kuasa hukum DP3A yang semestinya membela korban kekerasan.
Oleh
IRMA TAMBUNAN
·3 menit baca
JAMBI, KOMPAS — Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak atau DP3A Kabupaten Sarolangun, Jambi, mengakui salah satu kuasa hukumnya menjadi pembela tersangka kasus kekerasan dalam rumah tangga dan pelaku poligami. Sejauh ini baru dilakukan upaya menegur yang bersangkutan.
Kepala Bidang Perlindungan Perempuan DP3A Sarolangun Farida membenarkan salah seorang kuasa hukum pada dinas itu membela tersangka KDRT dan pelaku poligami. Menurut dia, sewaktu memasukkan nama Erick Abdullah dalam daftar tim kuasa hukum DP3A, dirinya belum mengetahui akan hal itu.
Baru setelah diketahui, ia lalu mengingatkan yang bersangkutan. ”Sebelumnya saya sudah mengingatkan, Pak Erick, kan, masuk dalam tim kami. Etikanya jangan bela pelaku kekerasan terhadap perempuan dan anak,” ujarnya, Rabu 15/9/2021).
Farida beralasan kasus KDRT dan poligami yang melibatkan tersangka berinisial Sh itu dikawal Erik sebelum menjadi kuasa hukum DP3A. Namun, ia lebih lanjut belum dapat menjelaskan langkah apa yang selanjutnya akan diambil pemerintah.
Kasus KDRT, poligami, dan pemalsuan dokumen yang melibatkan Sh menyeruak ke publik setelah penahanan dirinya ditangguhkan, pekan lalu. Penangguhan itu ternyata dijamin oleh seorang anggota DPRD Kabupaten Sarolangun. Pembela tersangka ternyata juga merupakan kuasa hukum DP3A Sarolangun, yang semestinya menjalankan tugas membela korban kekerasan.
Etikanya jangan bela pelaku kekerasan terhadap perempuan dan anak. (Farida)
Kasus itu dinilai Direktur Beranda Perempuan Zubaidah sebagai bentuk diskriminasi terhadap korban. Kuasa hukum DP3A harusnya diisi dengan yang berkualifikasi dan berkomitmen penuh terhadap perlindungan perempuan sebagai korban. ”Ini persoalan serius. Bisa berdampak pada ketidakpercayaan korban terhadap negara,” katanya.
Begitu pula dengan anggota Dewan, lanjutnya, seharusnya memberikan teladan untuk melindungi mereka yang lemah. Bukan malah memanfaatkan kekuasaan mereka untuk melindungi pelaku kekerasan.
Saat dihubungi, Erick Abdullah mengatakan, dirinya telah membela kepentingan tersangka sejak 2019. Saat itu, ia belum menjadi kuasa hukum DP3A. Baru belakangan Erik dihubungi pihak DP3A bahwa namanya masuk dalam tim kuasa hukum dinas untuk membela para perempuan dan anak korban kekerasan.
”Tidak benar jika saya disebut-sebut tidak peduli (perempuan korban). Akan tetapi, kasus ini memang jauh sebelumnya telah saya dampingi,” katanya.
Minta perlindungan
Korban KDRT dan poligami yang menyeret Sh, yakni Mrt, mengaku telah jauh sebelumnya mengadu ke DP3A Sarolangun. Pada saat itu dirinya meminta perlindungan dan pemulihan dari trauma. Namun, kata Mrt, petugas bermaksud mempertemukan langsung dirinya dan pelaku untuk dilakukan mediasi.
Upaya mempertemukan keduanya membuat Mrt ketakutan. ”Saya datang mengadu untuk mendapatkan perlindungan. Jika saya dipertemukan pelaku sama saja membangun kembali trauma yang saya alami,” katanya.
Kasus pidana KDRT dan poligami kini telah masuk tahap penuntutan. Kasus itu bermula pada 2016 ketika Mrt mendapati suaminya menikah kembali tanpa sepengetahuan dirinya. Belakangan baru ia ketahui sang suami, Sh, diduga memalsukan sejumlah dokumen kependudukan sehingga terbit buku nikah baru.
Pada 2019 dirinya mengajukan cerai di jalur hukum. Ironisnya, tahun yang sama, petugas Pengadilan Agama memberitahukan dua gugatan cerai terhadap orang yang sama, yakni Sh.
Mrt juga mengadukan kekerasan fisik dan psikis yang kerap dilakukan sang suami. Beberapa kali bahkan dilakukan di depan anak-anak mereka sehingga menimbulkan trauma. Karena itulah ia berharap bisa mendapatkan perlindungan dan pemulihan.