Tak Berizin dan Rusak Lingkungan, 14 Tambang Pasir Lereng Merapi Ditutup
Penambangan pasir juga dikhawatirkan mengakibatkan kerusakan daerah resapan air di lereng Merapi yang berfungsi menjaga ketersediaan air tanah di sejumlah wilayah DIY. Irigasi lahan pertanian di sekitar juga tercemari.
Oleh
HARIS FIRDAUS
·5 menit baca
YOGYAKARTA, KOMPAS — Pemerintah Daerah DI Yogyakarta menutup 14 lokasi tambang pasir ilegal di lereng Gunung Merapi di Kabupaten Sleman. Selain tak berizin, aktivitas penambangan pasir itu juga dikhawatirkan mengakibatkan kerusakan daerah resapan air di lereng Merapi yang berfungsi penting menjaga ketersediaan air tanah di sejumlah wilayah DIY.
”Memang izinnya enggak ada, jadi ditutup. Semuanya ada 14 titik,” ujar Gubernur DIY Sultan Hamengku Buwono X saat ditemui, Senin (13/9/2021), di Yogyakarta.
Pada Sabtu (11/9/2021), Sultan HB X mengunjungi beberapa lokasi penambangan pasir ilegal di lereng Gunung Merapi. Secara administratif, lokasi penambangan pasir itu masuk wilayah Kabupaten Sleman.
Dalam kunjungan tersebut, Sultan melihat langsung kerusakan lingkungan di lereng Gunung Merapi akibat penambangan pasir. Bahkan, Sultan menilai, aktivitas penambangan pasir itu mencerminkan sikap keserakahan. ”Saya juga terkejut sebetulnya. Saya tidak membayangkan kalau kerusakannya sedemikian parah. Kalau, menurut saya, itu yang dicari hanya duit saja. Keserakahan yang saya maksud,” ujar Sultan.
Sultan mengatakan, aktivitas penambangan pasir di lereng Gunung Merapi itu bisa menyebabkan lubang-lubang dengan kedalaman 50 meter hingga 80 meter. Di lokasi-lokasi tersebut juga tidak ada upaya reklamasi atau pemulihan dan penataan lahan yang telah ditambang. Oleh karena itu, aktivitas penambangan tersebut dikhawatirkan bisa mengakibatkan kerusakan lingkungan.
”Kalau lihat ke sana itu, luar biasa dalamnya, bisa 50 meter, 80 meter. Cuma cari pasir, tetapi semua rusak. Jadi, ini jelas tidak pro (memihak) lingkungan,” tutur Sultan yang juga merupakan Raja Keraton Yogyakarta.
Sultan menambahkan, sebagian lokasi penambangan pasir itu berada di tanah milik Keraton Yogyakarta atau biasa disebut Sultan Ground (SG). Oleh karena itu, sebagai Raja Keraton Yogyakarta, dia menyatakan tidak mengizinkan aktivitas penambangan di atas tanah SG. ”Karena yang ditambang itu sebagian tanah SG, saya enggak boleh,” ujarnya.
Menurut Sultan, jalan menuju ke lokasi-lokasi penambangan pasir ilegal itu telah dipasangi portal untuk mencegah masuknya truk-truk pengangkut pasir hasil penambangan. Di lokasi-lokasi itu juga telah dipasangi tulisan larangan penambangan pasir. Oleh karena itu, mereka yang masih nekat melakukan penambangan berarti telah melakukan tindak pidana.
”Saya berharap, dengan diportal itu kendaraan enggak bisa masuk. Di situ sudah diberi tulisan larangan juga. Semoga tidak dilakukan (penambangan). Kalau dilakukan (penambangan), berarti kriminal,” ujar Sultan.
Saya berharap, dengan diportal itu kendaraan enggak bisa masuk. Di situ sudah diberi tulisan larangan juga. Semoga tidak dilakukan (penambangan). Kalau dilakukan (penambangan), berarti kriminal. (Sultan HB X)
Kepala Dinas Pekerjaan Umum, Perumahan, dan Energi Sumber Daya Mineral DIY Anna Rina Herbranti mengatakan, pemasangan portal di lokasi-lokasi penambangan pasir ilegal itu dilakukan secara bertahap pada Rabu (8/9/2021), Kamis (9/9/2021), dan Minggu (12/9/2021). ”Kami memasang portal dengan lebar 4 meter dan tinggi 2 meter,” ujarnya.
Anne memaparkan, lokasi penambangan itu tersebar di sejumlah desa di Sleman, yakni Desa Umbulharjo dan Desa Wukirsari di Kecamatan Cangkringan serta Desa Hargobinangun di Kecamatan Pakem. Dari 14 lokasi penambangan ilegal itu, sebanyak tujuh lokasi berada di tanah Sultan Ground, sedangkan tujuh lokasi lainnya berada di tanah milik warga.
Anna memaparkan, aktivitas penambangan pasir di 14 lokasi itu dilakukan tanpa izin. Padahal, sesuai regulasi, aktivitas penambangan harus dilakukan berdasarkan izin yang dikeluarkan pemerintah. ”Penambangan itu harus di tempat yang tidak diizinkan, tidak asal lokasi bisa ditambang. Jadi, harus izin kalau mau menambang karena kalau tidak ada izinnya kan bisa merusak lingkungan,” tuturnya.
Selain tak berizin, Anna menyebut, penambangan itu berpotensi menyebabkan terjadinya bencana longsor di sekitar lokasi. Hal ini karena aktivitas penambangan itu mengakibatkan lubang-lubang hingga kedalaman puluhan meter sehingga berpotensi membuat lahan sekitarnya menjadi tak stabil. ”Penambangnya juga rawan kena longsor sebenarnya,” katanya.
Dampak
Ketua Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) Desa Hargobinangun Siswiyanto (48) menuturkan, aktivitas penambangan pasir di lereng Gunung Merapi itu mengganggu aktivitas pertanian di wilayah Hargobinangun. Hal ini karena pasir hasil penambangan biasanya dicuci dulu, lalu air bekas cucian masuk ke Sungai Kuning yang jadi sumber irigasi lahan pertanian di sejumlah wilayah lereng Merapi.
Akibatnya, kata Sisiwiyanto, air untuk irigasi lahan pertanian warga tercampur dengan blotong atau lumpur sisa cucian pasir. Lumpur itu kemudian mengalir hingga ke lahan pertanian sehingga mengganggu pertumbuhan tanaman dan menyebabkan tanah menjadi mengeras. ”Kalau air campur blotong itu masuk ke lahan pertanian, setelah mengering tanahnya jadi keras. Jadi, kalau mau ditanami lagi, harus mengolah lahan lagi dan ditambah pupuk,” tuturnya.
Selain mengganggu lahan pertanian, menurut Siswiyanto, masyarakat juga khawatir aktivitas penambangan pasir itu bisa mengganggu ketersediaan air tanah di wilayah lereng Merapi. Hal ini karena penambangan pasir itu bisa merusak daerah resapan air di lereng Merapi sehingga proses peresapan air ke dalam tanah juga terganggu.
”Dalam jangka panjang, ketersediaan air pasti akan terganggu karena daerah resapan airnya juga terganggu,” ungkap Siswiyanto.
Penambangan pasir itu bisa merusak daerah resapan air di lereng Merapi sehingga proses peresapan air ke dalam tanah juga terganggu.
Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Yogyakarta Halik Sandera mengatakan, kerusakan daerah resapan air di lereng Gunung Merapi tidak hanya berpotensi mengganggu ketersediaan air tanah di wilayah lereng gunung api tersebut, tetapi juga berpotensi mengganggu ketersediaan air tanah di wilayah Sleman, Kota Yogyakarta, dan Kabupaten Bantul.
Halik menyebut, wilayah Sleman, Yogyakarta, dan Bantul berada dalam satu cekungan air tanah. Ketersediaan air di cekungan air tanah itu sangat bergantung pada proses peresapan air di wilayah lereng Merapi.
”Lereng Merapi itu merupakan kawasan pengisian air tanah. Jadi, saat lereng Merapi rusak, pasti akan mengganggu pengisian air tanah. Dampaknya bisa ke air tanah di Sleman, Yogyakarta, dan Bantul karena itu satu cekungan air tanah,” ungkap Halik.
Oleh karena itu, Halik meminta Pemda DIY bersikap tegas terhadap aktivitas penambangan pasir di lereng Merapi yang bisa berdampak buruk pada lingkungan. Halik menambahkan, pemasangan portal di lokasi penambangan ilegal harus disertai pengawasan agar aktivitas penambangan tidak terulang kembali. Selain itu, Pemda DIY juga harus menindak orang-orang yang mengendalikan penambangan pasir ilegal itu.
”Yang paling penting adalah pengawasan di lapangan. Selain itu, harus ada penegakan hukum agar ada efek jeranya,” papar Halik.