BMKG mempredisi Sumsel akan memasuki musim hujan pada pertengahan September sampai awal Oktober 2021. Adapun masa puncak musim hujan akan terjadi pada periode Februari-Maret 2022. Langkah antisipatif perlu disiapkan.
Oleh
RHAMA PURNA JATI
·4 menit baca
PALEMBANG, KOMPAS — Sumatera Selatan diperkirakan akan memasuki musim hujan pada pertengahan September sampai awal Oktober 2021. Sejumlah bencana alam mematikan kembali mengintai daerah ini bila tidak memiliki langkah mitigasi yang tepat.
Kepala Stasiun Klimatologi Kelas I Palembang Wandayantolis, Senin (13/9/2021), menjelaskan, terjadi anomali suhu yang membuat Indonesia secara umum akan lebih hangat dibandingkan pantai barat Amerika. Adapun suhu muka air laut serta fenomena El Nino dan La Nina terbilang netral. Fenomena ini menyebabkan kemungkinan hujan di beberapa wilayah di Indonesia, termasuk Sumatera Selatan.
Khusus Sumsel, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika memprediksi musim hujan baru akan terjadi pada pertengahan September sampai awal Oktober. Ini lebih cepat satu dasarian (10 hari) dibandingkan kecenderungan datangnya musim hujan pada umumnya.
Bahkan, hujan sudah terjadi di beberapa daerah utamanya di Sumsel bagian barat dengan intensitas hujan 50-60 milimeter per dasarian. Meski begitu, menurut Wandayantolis, bukan berarti Sumsel telah memasuki musim hujan. Masih ada daerah lainnya seperti timur Sumsel belum diguyur hujan.
”Bahkan masih ada daerah yang mengalami hari tanpa hujan (HTH) hingga tujuh hari berturut-turut,” kata Wandayantolis.
Suatu daerah bisa dikatakan mengalami musim hujan jika telah diguyur hujan dalam intensitas tertentu selama tiga dasarian berturut-turut. Menurut Wandayantolis, saat ini, sebagian besar daerah di Sumsel masih dalam masa transisi, peralihan kemarau ke hujan.
Hal ini ditandai perubahan cuaca secara tiba-tiba bahkan cenderung ekstrem, seperti hujan deras, angin kencang atau puting beliung, dan hujan es. ”Jika telah memasuki musim hujan, fenomena cuaca ekstrem biasa berkurang,” ujar Wandayantolis.
Sementara untuk puncak musim hujan, kata Wandayantolis, akan terjadi pada awal tahun depan pada periode Februari-Maret 2022. Saat itu, intensitas hujan bisa 200-400 milimeter per dasarian.
”Apabila pembagian intensitas hujan lebih merata dampaknya tentu lebih ringan dibandingkan akumulasi curah hujan akan terpusat hanya dalam beberapa hari saja,” ujarnya.
Atas situasi ini, Wandayantolis meminta pemangku kepentingan dan masyarakat mewaspadai potensi bencana hidrometeorologi. ”Harapan kami ada langkah mitigasi,” ujarnya.
Mitigasi bencana
Kepala Pelaksana Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Sumsel Iriansyah menuturkan, 17 kabupaten/kota di Sumsel memiliki karakteristik wilayah berbeda-beda. Ada daerah yang memiliki kontur dataran rendah, sedang, dan tinggi.
”Dengan situasi tersebut, penerapan mitigasi bencana pun akan berbeda,” katanya.
Untuk daerah rawan longsor tersebar di daerah yang memiliki kontur dataran tinggi seperti Ogan Komering Ulu Selatan, Musi Rawas, Musi Rawas Utara, Penukal Abab Lematang Ilir, Kota Pagar Alam, dan Lahat. Adapun untuk daerah rawan banjir di Musi Rawas, Musi Rawas Utara, Banyuasin dan Musi Banyuasin Ogan Komering Ulu. Selain itu, ada juga Ogan Komering Ulu timur, Penukal Abab Lematang Ilir, Ogan Komering Ilir, Ogan Ilir, dan Palembang.
Untuk meminimalisasi dampak bencana, ungkap Iriansyah, pihaknya akan membentuk satgas yang melibatkan semua pemangku kepentingan. Tugasnya, menjalankan fungsi mitigasi dimulai dari sosialisasi, perbaikan infrastruktur, hingga penyiapan sarana-prasarana apabila terjadi bencana di suatu daerah.
Untuk saat ini, ujar Iriansyah, pihaknya masih berfokus untuk menanggulangi dampak kebakaran lahan yang masih terjadi di sejumlah daerah. ”Karena status siaga darurat kebakaran hutan dan lahan baru akan berakhir pada November 2021,” katanya.
Antisipasi bencana banjir telah dilakukan Pemerintah Kota Palembang dengan membangun sarana infrastruktur penunjang. Kepala Dinas Pekerjaan Umun dan Penataan Ruang Kota Palembang Ahmad Bastari Yusak mengatakan, risiko banjir akan selalu mengintai Palembang.
Itu karena dari 18 kecamatan di Palembang, 10 kecamatan di antaranya berada di bawah muka air pasang tinggi Sungai Musi. Kecamatan itu adalah Gandus, Ilir Barat 1, Ilir Barat 2, Sako, Sematang Borang, Kalidoni, Kemuning, Seberang Ulu, Kertapati, Jakabaring, dan Plaju.
Oleh karena itu, kata Ahmad, beragam langkah pencegah sudah mulai dilakukan seperti pengerukan sungai dan anak sungai, pembangunan kolam retensi (retention pond), serta pompa pengendali banjir dan pemantauan infiltrasi air laut.
Tahun ini, ujar Ahmad, pihaknya membangun satu kolam retensi baru seluas 1,8 hektar di Sungai Lambidaro. Tahun depan sudah dirancang pembuatan kolam retensi baru di kawasan Kebun Bunga/Simpang Bandara Sultan Mahmud Badaruddin II, Palembang, seluas 4 hektar.
Hingga kini, lanjut Ahmad, jumlah kolam retensi di Palembang sekitar 46 kolam. Jumlah itu masih jauh dari yang disarankan oleh Lembaga Afiliasi Penelitian Indonesia Institut Teknologi Bandung yang berjumlah 77 kolam retensi.