Volume ekspor karet dari Sumut pada Agustus merosot 12,3 persen dibanding Juli akibat penundaan pengapalan dan kelangkaan peti kemas. Karet remah dari Indonesia masih harus transit di pelabuhan Singapura dan Malaysia.
Oleh
NIKSON SINAGA
·3 menit baca
MEDAN, KOMPAS — Volume ekspor karet remah dari Sumatera Utara pada Agustus merosot 12,3 persen dibandingkan dengan Juli karena penundaan pengapalan. Penundaan terjadi akibat penurunan frekuensi pelayaran dan kelangkaan peti kemas karena pandemi Covid-19. Dari sisi produksi juga terjadi penurunan karena memasuki musim hujan.
Sekretaris Eksekutif Gabungan Perusahaan Karet Indonesia (Gapkindo) Sumatera Utara Edy Irwansyah, di Medan, Senin (13/9/2021), mengatakan, volume ekspor pada Agustus 27.323 ton atau anjlok 12,3 persen dibandingkan dengan Juli yang sebesar 31.148 ton.
”Namun, secara tahunan, volume ekspor total untuk tahun berjalan pada Januari-Agustus 245.747 ton atau masih bertumbuh 2 persen dibandingkan tahun lalu,” kata Edy.
Edy mengatakan, penyebab utama penundaan pengapalan adalah telah penuhnya kapasitas kapal besar (mother vessel) di pelabuhan transit. Karet remah dari Indonesia masih harus transit di pelabuhan tetangga tempat kapal besar berlabuh, yakni Pelabuhan Singapura, Pelabuhan Tanjung Pelepas, dan Pelabuhan Klang di Malaysia.
Penuhnya kapal besar tersebut disebabkan menurunnya frekuensi pelayaran dalam beberapa bulan terakhir akibat berkurangnya volume perdagangan karena pandemi Covid-19. ”Selain penuhnya kapasitas, peti kemas untuk karet pun saat ini sangat terbatas,” kata Edy.
Menurut Edy, penundaan pengapalan hingga saat ini tidak berpengaruh pada harga karet di pasar dunia. Harga masih lebih dipengaruhi permintaan dan penawaran. Karet remah yang ditunda pengapalannya diperkirakan bisa dikirim dalam beberapa bulan ke depan sehingga volume ekspor secara tahunan tidak terganggu.
Edy mengatakan, harga rata-rata karet remah jenis TSR 20 pada Agustus 171,4 sen dollar AS atau meningkat dibandingkan bulan sebelumnya163,68 sen dollar AS per kilogram. Sepanjang September ini, harga rata-rata kembali turun menjadi 162,01 dollar AS. Harga getah karet di tingkat petani pun saat ini masih bertahan cukup baik di kisaran Rp 10.500 per kilogram.
Menurut Edy, permintaan karet dunia saat ini sudah mulai pulih seiring mulai bangkitnya industri di beberapa negara tujuan ekspor utama. Pada Agustus, lima negara tujuan ekspor adalah Jepang (30,6 persen), Brasil (13,74 persen), Amerika Serikat (9,67 persen), Kanada (5,58 persen), dan India 4,8 persen.
Namun, terjadi penurunan dari sisi produksi karena sentra perkebunan karet di Sumatera bagian utara saat ini sudah memasuki musim hujan. ”Pabrik karet remah di Sumut sedang mengalami keterbatasan bahan baku karena menurunnya produksi,” kata Edy.
Harga di petani
Ketua Kelompok Tani Mbuah Page, Sungkunen Tarigan, mengatakan, petani karet di wilayahnya di Desa Kuta Jurung, Kecamatan Sinembah Tanjung Muda Hilir, Kabupaten Deli Serdang, mulai mengalami penurunan produksi setelah memasuki musim hujan sejak awal September.
Saat hujan, tanaman karet tidak bisa disadap. ”Namun, penurunan produksi belum terlalu terlihat. Kelompok tani kami masih bisa mengumpulkan getah karet sekitar 10 ton per minggu,” kata Sungkunen.
Sungkunen mengatakan, petani karet saat ini sangat bergairah menyadap karet seiring dengan harga yang membaik berkisar Rp 10.000-Rp 11.000 per kilogram. Harga itu cukup baik dibandingkan harga beberapa tahun ini yang sempat anjlok hingga Rp 4.000 per kilogram.
Jika harga bisa bertahan di atas Rp 10.000, kata Sungkunen, produksi petani akan terus meningkat. Saat harga karet rendah, kelompok tani itu hanya bisa mengumpulkan sekitar 2 ton karet per minggu. Kini, hasil meningkat hingga lima kali lipat karena banyak petani menyadap kembali tanaman karetnya yang sempat dibiarkan terbengkalai.