Menggapai Layanan Kesehatan Semesta di Kota Delta
Sidoarjo berkomitmen menganggarkan Rp 14,5 miliar per bulan demi menjamin warganya menerima cakupan layanan kesehatan sesuai kebutuhan atau ”universal health coverage”. Namun, beragam tantangan masih menghadang.
Sidoarjo berkomitmen mengeluarkan dana Rp 14,5 miliar setiap bulan demi menjamin penduduknya mendapatkan cakupan layanan kesehatan sesuai kebutuhan atau Universal Health Coverage. Namun, beragam tantangan masih menghadang sehingga manfaatnya belum dirasakan secara signifikan.
Belasan kepala desa dari beberapa kecamatan di Sidoarjo mendatangi gedung wakil rakyat, Jumat (6/9/2021). Secara bergantian, para kepala desa itu menyampaikan unek-uneknya terkait layanan kesehatan masyarakat yang dikeluhkan warganya belakangan ini.
Kepala Desa Suwaluh, Kecamatan Balongbendo, Heru Sulton, misalnya, mengatakan, banyak warga miskin pemegang Kartu Indonesia Sehat tidak bisa menggunakan kartunya. Menurut informasi dari fasilitas layanan kesehatan (fasyankes) yang didatangi, kartu mereka telah dinonaktifkan.
”Mereka pun akhirnya harus membayar sendiri biaya pengobatan, padahal untuk makan saja susah,” ujar Heru Sulthon.
Di sisi lain, ada sejumlah warga dari kalangan ekonomi mapan, bahkan kaya raya yang tiba-tiba menerima kartu BPJS Kesehatan. Kartu tersebut berasal dari BPJS Cabang Sidoarjo yang dikirim melalui jasa pengiriman (ekspedisi) swasta. Sebagian penerima kartu merasa khawatir karena merasa tidak pernah mengajukan permohonan ke BPJS Kesehatan.
”Mereka khawatir ditagih pembayaran iuran atau premi. Namun, sebagian lagi menerima dengan senang hati karena tahu program tersebut berasal dari pemda dan iurannya telah dibayar,” kata Ketua Forum Komunikasi Kepala Desa Sidoarjo ini.
Sementara itu, Kades Trompoasri, Kecamatan Jabon, Samsul Huda mengeluhkan surat keterangan tidak mampu (SKTM) yang tidak bisa lagi digunakan sebagai pengantar berobat bagi warga miskin. Hal itu mempersulit warga miskin terutama yang belum memiliki identitas (KTP) dan KIS.
Ketua Komisi C DPRD Sidoarjo Dhamroni Chudlori menambahkan, pihaknya menerima beragam keluhan masyarakat terkait layanan kesehatan. Selain permasalahan yang disampaikan sejumlah kades, ada keluhan tentang kesalahan cetak nama dan nomor kependudukan dalam kartu BPJS Kesehatan sehingga tidak bisa digunakan. Warga meninggal juga masih menerima kartu.
”Ada juga warga yang menyampaikan jarak rumah dengan fasyankes yang ditentukan BPJS terlalu jauh. Misalnya, rumahnya di Kecamatan Candi tetapi fasyankesnya di Kecamatan Waru yang jaraknya jauh (lebih dari 15 km) sehingga enggan berobat,” ucap Dhamroni.
Baca juga: Aplikasi Wargaku Surabaya Tampung Aduan Jaminan Kesehatan Semesta
Beragam persoalan tersebut mengemuka di tengah kuatnya komitmen Pemkab Sidoarjo menjamin semua penduduknya mendapatkan layanan kesehatan sesuai kebutuhan medis atau Universal Health Coverage. Program Jaminan Kesehatan Nasional UHC ini diluncurkan sejak Juni lalu atau telah berjalan tiga bulan.
Bupati Sidoarjo Ahmad Muhdlor Ali dalam kebijakan politiknya menginginkan seluruh warganya atau minimal 95 persen mendapatkan layanan kesehatan sesuai kebutuhan medisnya. Alasannya, kesehatan merupakan kebutuhan dasar yang harus dipenuhi agar masyarakat bisa hidup dan berkehidupan dengan baik.
Pemenuhan kebutuhan kesehatan semakin mendesak pada masa pandemi Covid-19 yang berimplikasi pada beragam sendi kehidupan, termasuk ekonomi. Salah satunya, peningkatan angka pengangguran terbuka akibat pemutusan hubungan kerja. Mereka yang sebelumnya mendapatkan layanan BPJS Kesehatan melalui program penerima bantuan upah harus bermigrasi menjadi peserta mandiri.
Namun, karena kesulitan ekonomi, bisa jadi kepesertaan mereka tidak dilanjutkan sehingga kesulitan mengakses layanan kesehatan saat sakit. Selain itu, banyak peserta yang turun kelas dari pembayar premi iuran kelas I menjadi kelas II, bahkan kelas III.
”Iuran BPJS Kesehatan kelas tiga Rp 35.000 per orang. Apabila dalam satu keluarga tercatat empat orang, iuran yang dibayarkan Rp 140.000 per bulan. Jumlah itu cukup signifikan di tengah situasi ekonomi yang terpuruk akibat pandemi,” kata Muhdlor Ali.
Baca juga: Mataram Targetkan Cakupan Kesehatan Semesta Tercapai Pada 2020
Berpijak pada fakta itulah, Bupati Sidoarjo Ahmad Muhdlor berupaya mempercepat realisasi program UHC. BPJS Sidoarjo diminta menyisir warga yang belum menjadi peserta BPJS Kesehatan dengan prioritas warga tidak mampu.
Dari 2,3 juta jiwa total penduduk Sidoarjo, 1.863.747 jiwa atau 97,06 persen sudah terdaftar di BPJS Kesehatan melalui berbagai program, seperti peserta iuran mandiri, penerima bantuan iuran dari pemerintah pusat, dan peserta penerima bantuan upah.
Sebanyak 398.089 orang didaftarkan sebagai peserta BPJS Kesehatan kelas III oleh Pemkab Sidoarjo, sedangkan 76.000 jiwa lainnya belum didaftarkan karena datanya dalam proses verifikasi oleh instansi terkait. Untuk membayar premi kategori Peserta Bukan Penerima Upah (PBPU) BP Pemda Sidoarjo, dibutuhkan dana Rp 14,5 milar setiap bulan yang bersumber dari APBD tahun berjalan.
Bahkan, saat ini Pemkab Sidoarjo sudah mengalokasikan sekitar Rp 180 miliar untuk tahun anggaran 2022. Dari 398.089 jiwa yang didaftarkan sebagai peserta, baru 153.000 orang yang menerima kartu BPJS Kesehatan. Lainnya belum menerima kartu dengan alasan pendistribusian dilakukan bertahap.
Para kades merasa kesal karena kerap melaporkan data kependudukan terbaru, tetapi saat ada program dari pemerintah, yang dipakai acuan tetap data lama. Akibatnya, orang yang sudah meninggal bertahun-tahun tetap terdata sebagai penerima program.
Dari 153.000 penerima kartu ini, ditemukan banyak persoalan, seperti penerima sudah meninggal lebih dari lima tahun yang lalu. Metode pendistribusian kartu yang menggunakan jasa pengiriman logistik swasta juga memicu protes dari perangkat desa. Alasannya, kepala desa tidak tahu siapa saja warganya yang menerima kartu dan jumlahnya berapa.
Kepala desa dilapori hanya saat ada masalah, misalnya kartu tidak bisa digunakan dan saat terjadi kecemburuan sosial karena warga miskin tidak menerima kartu, sementara warga yang kaya bisa berobat gratis. Kades ataupun perangkat desa lainnya yang tidak dilibatkan sejak awal menjadi sasaran kemarahan warga.
Kepala BPJS Cabang Sidoarjo Yessy Novita mengatakan, berdasarkan perjanjian kerja sama dengan Pemkab Sidoarjo, pihaknya harus mendistribusikan kartu BPJS Kesehatan dalam rentang tiga bulan setelah penandatanganan kontrak kerja sama. Dia kemudian mengambil data 398.089 jiwa yang belum terdaftar sebagai peserta BPJS.
Padahal data itu seharusnya dikonfirmasi terlebih dulu dengan data dari dinas kependudukan dan catatan sipil untuk memverifikasi warga yang meninggal dan pindah domisili. Kepala desa sejatinya memiliki cara cepat memverifikasi data kependudukan karena merekalah yang berada di lapangan.
Namun, mereka tidak dilibatkan sejak awal. Bahkan para kades merasa kesal karena kerap melaporkan data kependudukan terbaru namun saat ada program dari pemerintah, yang dipakai acuan tetap data lama. Akibatnya, orang yang sudah meninggal bertahun-tahun tetap terdata sebagai penerima program.
Sengkarut data semakin tajam saat Kepala Dinas Sosial Sidoaro Tirto Adi memaparkan tentang data terpadu kesejahteraan sosial (DTKS). Dalam rentang 2019-2021 terdapat 75.000 kartu jaminan kesehatan yang dinonaktifkan karena dinilai tidak sesuai dengan DTKS. Hal inilah yang memicu keluhan banyak pemenang kartu KIS tidak bisa mengakses layanan kesehatan gratis.
Di sisi lain, untuk mengurangi beban pembayaran premi BPJS Kesehatan, Pemkab Sidoarjo mengusulkan migrasi penerima bantuan iuran daerah (PBID) kabupaten menjadi PBID Provinsi dan Jaminan Kesehatan Nasional. Total terdapat 51.322 rumah tangga miskin yang diusulkan migrasi menjadi PBID Provinsi Jatim dan JKN.
”Selama proses migrasi berlangsung, warga penerima manfaat bantuan iuran tetap bisa mengakses layanan kesehatan gratis dengan memprioritas mereka yang memerlukan penanganan segera atau mendesak,” ucap Tirto Adi.
Tantangan lain membangun layanan kesehatan semesta di ”Kota Delta”, julukan Sidoarjo karena berada di delta Sungai Brantas, ialah terkait fasyankes. Fasilitas layanan kesehatan yang disediakan BPJS Kesehatan Cabang Sidoarjo dinilai kurang banyak dan belum memadai. Akibatnya, masyarakat kesulitan mendapatkan layanan yang sesuai harapan.
Contohnya, warga Kecamatan Candi harus mengakses layanan kesehatan di fasyankes yang berlokasi di Kecamatan Waru. Padahal, jarak tempuhnya lebih dari 15 kilometer dengan kepadatan arus lalu lintas yang tinggi. Kondisi tersebut menambah beban warga yang sakit.
Kepala Dinkes Sidoarjo Syaf Satriawarman mengatakan, pihaknya telah meminta BPJS Sidoarjo menambah kerja sama dengan fasyankes tingkat pertama, seperti dokter praktik perseorangan, klinik, dan puskesmas. Selain itu fasyankes tingkat lanjut, seperti rumah sakit dan fasilitas kesehatan penunjang. Selain itu pengembangan layanan terkini, seperti katerisasi jantung, sehingga manfaat yang diterima masyarakat menjadi lebih banyak dan beragam.
Syaf mengatakan, UHC merupakan ikhtiar Pemkab Sidoarjo untuk memberikan jaminan kepastian layanan kesehatan sesuai kebutuhan medis bagi warganya. Sidoarjo menjadi bagian dari sedikit daerah yang berkomitmen kuat merealisasikan layanan kesehatan semesta demi meningkatkan kualitas kehidupan warganya.
Meski demikian, keberhasilan program ini memerlukan komitmen dan konsistensi tinggi dari semua pihak yang terlibat. Sebab, sengkarut data kepesertaan hanyalah tantangan awal dalam perjalanan panjang mewujudkan masyarakat yang sehat dan sejahtera.
Baca juga: Tingkatkan Kualitas Layanan Tenaga Verifikator BPJS Kesehatan Disertifikasi