Merasa memiliki kekuasaan dan modal, banyak elite berbuat asusila bahkan itu terjadi di ruang publik. Berhadapan dengan elite, perempuan yang menjadi korban selalu tak berdaya.
Oleh
FRANSISKUS PATI HERIN
·4 menit baca
Beberapa anggota dewan perwakilan rakyat dari salah satu kabupaten/kota di Indonesia sedang bernyanyi di ruang karaoke keluarga di Jakarta beberapa waktu lalu. Mereka bersenang-senang setelah menuntaskan agenda penting di salah satu kementerian.
Hal tak diinginkan tiba-tiba terjadi. Seorang wakil rakyat yang terhormat ditampar wajahnya dengan dulang oleh perempuan pelayanan makanan. Itu lantaran wakil rakyat tersebut dengan sengaja menyentuh bagian tubuh perempuan dimaksud.
”Saya dan teman-teman yang lain malu sekali. Kami langsung bangun pulang dan minta maaf kepada perempuan tadi dan pihak manajemen karaoke,” tutur salah satu anggota DPRD kepada Kompas di Kupang pada Rabu (8/9/2021).
Secara kebetulan, keesokan harinya, Kamis (9/9/2021), majelis hakim Pangadilan Negeri Soe menjatuhkan pidana 8 bulan penjara terhadap Jean Neonufa, anggota DPRD Kabupaten Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur. Jean yang juga kader Partai Nasional Demokrat itu pernah menjabat ketua DPRD di kabupaten tersebut.
Ketua Pengadilan Negeri Soe Wempy WJ lewat sambungan telepon membenarkan bahwa Jean dinyatakan bersalah melakukan kejahatan kesusilaan di muka umum. Secara sah dan meyakinkan, Jean melanggar Pasal 281 Kitab Undang-undang Hukum Pidana.
Menurut majelis, pertimbangan yang memberatkan adalah terdakwa merupakan pejabat publik. Ia seharusnya memberikan contoh yang baik kepada masyarakat. Untuk pertimbangan yang meringankan, terdakwa bersikap sopan dalam persidangan dan terdakwa merupakan tulang punggung keluarga.
Sebelum sidang putusan, tim jaksa penuntut umum Kejaksaan Negeri Timor Tengah Selatan menuntut hukuman hanya 10 bulan terhadap terdakwa. Padahal, menurut Pasal 281, ancaman hukuman atas kasus itu maksimal dua tahun delapan bulan penjara. Bahkan, bagi polisi pun, tuntutan jaksa tersebut terlalu ringan.
Kasus tersebut mulai diselidiki Polres Timor Tengah Selatan pada Mei 2021 setelah korban datang melapor. Korban merupakan perempuan yang bekerja sebagai pegawai negeri sipil di Soe, ibu kota Kabupaten Timor Tengah Selatan.
Polisi pun menetapkan Jean sebagai tersangka. Selain Pasal 281, polisi juga menjerat Jean dengan Pasal 289 karena terdapat unsur ancaman dari tersangka terhadap korban. Pada pasal ini, Jean terancam 9 tahun penjara.
Dengan ancaman di atas lima tahun, seorang tersangka dapat ditahan oleh penyidik. Penahanan merupakan pertimbangan subyektif penyidik. Pertimbangan dimaksud meliputi tersangka berpotensi melarikan diri, mengulangi perbuatan yang sama, dan menghilangkan barang bukti.
Kepala Polres Timor Tengah Selatan Ajun Komisaris Besar Andre Librian mengatakan, polisi memiliki bukti yang kuat dalam menetapkan Jean sebagai tersangka. Penyidik meyakini, Jean telah melakukan pelecehan seksual sehingga penyidik pun menjerat Jean dengan dua pasal pidana sekaligus. Namun, yang terjadi kemudian, Jean hanya mendapat hukuman jauh lebih ringan dari tuntutan awal.
Kecewa
Penegakan hukum semacam itu jelas membingungkan keluarga korban. Yusuf N Soru, adik kandung korban, mengatakan, pihaknya sangat kecewa dengan tuntutan jaksa dan putusan hakim yang dianggap terlalu ringan. Putusan itu jauh dari keadilan hukum yang diharapkan pihak keluarga. Mereka berencana melakukan upaya hukum lanjutan.
”Nama baik kakak kami, nama baik keluarga kami, tidak akan bisa pulih dengan keputusan vonis seberat apa pun. Vonis ini membuat kami sangat kecewa. Tidak ada keadilan bagi korban dan keluarga kami,” katanya.
Tuti Lawalu, pemerhati masalah perempuan di NTT, berpendapat, kejadian di Soe menunjukkan bahwa pihak yang lemah tetap kalah, dan perempuan selalu berada dalam posisi lemah. Lemah yang dimaksudkan Tuti adalah secara modal sosial, modal ekonomi, dan modal kultural.
”Kalau perempuan dengan posisi modal yang cukup baik, dia bisa memiliki ruang gerak untuk membangun perlawanan dan bisa menandingi pelaku dan memengaruhi para pengambil kebijakan. Dalam kasus di Soe, kita bersyukur bahwa hakim putus bersalah. Bersyukur bahwa putusan itu berpihak pada korban dalam hal ini perempuan. Sebab, kenyataannya perempuan selalu pada posisi lemah,” tutur Tuti
Menurutnya, perbuatan asusila sudah terjadi berulang di kalangan politisi dan elite. Itu lantaran mereka merasa memiliki dukungan modal sosial, ekonomi, dan kultural. ”Ini juga tidak semua elite dan politisi. Tergantung pada pengetahuan orang terhadap kebaikan, etika, dan moral,” katanya.
Tuti berharap, kiranya kejadian di Soe menjadi yang terakhir kali. Jangan ada lagi elite berotak mesum yang berbuat asusila, menyerang kehormatan perempuan, terlebih lagi itu dilakukan di ruang publik. Korban akan kian terpuruk.