Mencari Jejak Gayatri, Ibu Para Raja di Majapahit
Ada narasi baru tentang Candi Gununggangsir di Pasuruan, Jawa Timur. Candi itu kini diidentikkan bercorak Buddha dan merupakan tinggalan Hayam Wuruk sebagai Wisesapura untuk pendarmaan Gayatri.
Jejak-jejak peninggalan Kerajaan Majapahit masih berserak di berbagai wilayah di Jawa Timur. Sebagian sudah mulai terlihat terang kisahnya, tetapi sebagian masih menjadi misteri. Candi bagi Gayatri adalah satu dari sekian misteri yang kini mulai teraba keberadaannya lewat sebuah narasi.
Gayatri bisa disebut ibu bagi para raja di Majapahit. Istri pendiri kerajaan Majapahit, Wijaya, itu melahirkan keturunan yang meneruskan takhta kerajaan. Nama dan jejaknya kerap ditemukan dalam kitab hingga candi-candi peninggalan Majapahit.
Jejak candi bagi Gayatri di antaranya bersumber dari Kitab Desawarnana atau lebih dikenal dengan Nagarakrtagama. Dalam kitab itu ada catatan tentang Srada, upacara besar pemujaan terhadap arwah Gayatri (Sri Rajapatni), istri Wijaya pendiri Kemaharajaan Majapahit. Srada untuk Gayatri diadakan pada 1362 dalam masa pemerintahan Hayam Wuruk, Raja termasyhur Majapahit, cucu Gayatri.
Dalam kakawin atau kitab tadi, catatan tentang Srada Sri Rajapatni diulas cukup detail. Misalnya, pupuh 67 mencatat, ”Baginda (Hayam Wuruk) melihat perayaan langsung lancar, karya yang masih menunggu, menyempurnakan candi di Kamal Pandak” demikian terjemahan bebas dari pupuh itu.
Pupuh 69 melanjutkan, ”Prajnyaparamitapuri itulah nama candi makam yang dibangun, dan pemberkatan bagi Sri Rajapatni. Di Bayalangu akan dibangun pula candi makam Sri Rajapatni. Pendeta Jnyawidi lagi yang ditugaskan memberkahi tanahnya. Rencananya telah disetujui oleh sang menteri demung Boja. Wisesapura namanya jika candi nanti sudah sempurna dibangun”.
Dari kedua pupuh itu bisa disimpulkan bahwa Hayam Wuruk mendirikan dua candi makam bagi sang nenek, Gayatri. Candi itu adalah Prajnyaparamitapuri dan Wisesapura. Petunjuk lokasinya adalah Kamal Pandak dan Bayalangu. Di manakah kedua candi itu?
Sebelumnya, Minggu (15/8/2021), Kompas bersama arkeolog Balai Pelestarian Cagar Budaya Jawa Timur, Wicaksono Dwi Nugroho, berkunjung ke Tulungagung untuk melihat situs purbakala Goa Pasir dan Goa Selomangleng. Keduanya diduga kuat merupakan tinggalan Airlangga, Raja Kahuripan dari abad ke-11. Tinggalan itu dikaitkan dengan pembagian wilayah Kahuripan menjadi Janggala dan Panjalu dengan tugu batas di Kamal Pandak.
Pembagian wilayah Kahuripan terdokumentasi antara lain dalam Prasasti Turun Hyang II, Prasasti Wurare, serat Calon Arang, dan Nagarakrtagama. Keempat catatan itu berangkat dari masa berbeda, yakni Kahuripan abad ke-11 sampai Majapahit abad ke-14.
Baca juga: Interpretasi Persatuan dari Tinggalan Airlangga
Di Desa/Kecamatan Boyolangu, Kabupaten Tulungagung, diketahui ada Candi Boyolangu yang oleh masyarakat lebih dikenal dengan Candi Gayatri. Candi Buddha ini diidentifikasi sebagai tinggalan Hayam Wuruk untuk menghormati Gayatri. Lokasinya berdekatan dengan Goa Pasir, Goa Selomangleng, dan Candi Dadi sebagai tinggalan Airlangga. Keempat tinggalan berada di kawasan yang dalam masa silam disebut Kamal Pandak.
”Jika Candi Gayatri di Kamal Pandak, menurut Nagarakrtagama, adalah Prajnyaparamitapuri, lalu di manakah Wisesapura? Meski disebut Wisesapura di Bayalangu, saya tidak yakin berada di Tulungagung melainkan di daerah lain yang kami duga kuat adalah Gununggangsir,” kata Wicaksono ketika menemani Kompas mengunjungi Candi Gununggangsir di Kebon Candi, Pasuruan, Rabu (1/9/2021).
Penghormatan
Candi gunung gangsir selama ini dikenal sebagai tinggalan Pu Sindok untuk menghormati Dewi Sri. Juru Pelihara Candi Gununggangsir, Edi Susanto, mengatakan, kalangan masyarakat mengenal bangunan cagar budaya ini sebagai tinggalan Pu Sindok dari abad ke-10. Sindok adalah pendiri Medang atau Mataram Kuno periode Jawa Timur. Meski dianggap tinggalan Sindok, candi ini tidak dibangun dari batu andesit, tetapi susunan bata merah.
”Literasi pendukung narasi tentang candi ini sebenarnya belum ada. Yang lebih banyak diketahui adalah versi legenda masyarakat bahwa candi ini dibangun untuk menghormati sosok Nyi Sri Gati atau Nyi Randa Derma,” kata Edi. Sosok ini dihormati karena dianggap mendorong kemajuan kehidupan bagi warga setempat dalam dunia pertanian (Dewi Sri). Selain itu, sosok dimaksud dipercaya murah hati alias berderma untuk kehidupan masyarakat di sana.
Baca juga: Saluran Air di Bulusari Tinggalan Terdekat Prasasti Cunggrang Era Sindok
Edi mengatakan, sampai saat ini, narasi Candi Gununggangsir tidak berkembang. Padahal, bukti-bukti arkeologis amat menantang untuk interpretasi atau tawaran narasi baru yang dapat memperkaya khazanah pengetahuan sejarah kerajaan klasik di Jawa Timur. ”Secara pribadi, saya yakin candi ini Buddha, padahal kalau tinggalan Sindok seharusnya Hindu,” ujarnya.
Mengaitkan Gununggangsir sebagai tinggalan Sindok memang masuk akal mengingat sekitar 6 kilometer di barat laut ada tinggalan Sindok, yakni Prasasti Cunggrang (929 Masehi) di Sukci, Bulusari, Pasuruan. Namun, menyimpulkan bahwa seluruh tinggalan di sekitar prasasti Sindok adalah tinggalan maharaja tersebut sebenarnya gegabah. Alasannya, setelah peradaban Sindok ada di masa Kahuripan, Janggala-Panjalu, Tumapel (Singhasari), lalu Majapahit yang juga meninggalkan candi, prasasti, saluran, atau struktur lainnya.
”Tawaran narasi bahwa Gununggangsir adalah Wisesapura bagi saya amat menarik dan siapa tahu memang demikian adanya,” kata Edi.
Wisesapura
Lagi-lagi, Nagarakrtagama dalam pupuh 68 mengisahkan Bharada, pendeta Buddha yang dipercaya Airlangga membagi Kahuripan menandai tapal batas negara dari air kendi yang mancur dari langit. Dari barat ke timur sampai laut; sebelah utara selatan yang tidak jauh bagaikan dipisahkan samudra besar.
”Turun dari angkasa, sang pendeta berhenti di pohon asam. Selesai tugas, kendi suci ditaruh di (Dusun) Palungan. Ia marah terhambat pohon asam tinggi yang puncaknya mengait jubah. Bharada terbang lagi mengutuk asam agar jadi kerdil (Kamal Pandak atau asam kerdil). Itulah tugu batas gaib yang tidak akan mereka (Janggala-Panjalu) lalui. Itu pula sebabnya dibangun candi, memadu Jawa lagi, semoga Baginda (Hayam Wuruk) serta rakyat tetap tegak, teguh, waspada, berjaya dalam memimpin negara yang sudah bersatu padu,” demikian terjemahan bebas dari pupuh itu.
Dari kisah itu, lanjut Wicaksono, ada kemungkinan candi makam bagi Gayatri didirikan Hayam Wuruk sekaligus sebagai tapal batas untuk mengingat peristiwa pembagian Jawa di masa Airlangga itu. Dalam konteks geografis, batas wilayah Janggala dan Panjalu adalah Sungai Brantas.
Tawaran narasi bahwa Gununggangsir adalah Wisesapura bagi saya amat menarik dan siapa tahu memang demikian adanya
Kamal Pandak berada di bagian hulu dengan penanda Prajnyaparamitapuri atau Candi Boyolangu (Gayatri) dalam wilayah Janggala (sisi barat Brantas). Wisesapura ditandai dengan Candi Gununggangsir di muara Brantas di wilayah Panjalu (sisi timur Brantas).
Wicaksono melanjutkan, arsitektur Candi Gununggangsir menyerupai stupa alias lebih kental nuansa Buddha. Relief bukan terpahat pada batu andesit, melainkan lempeng bata merah. Relief banyak menggambarkan unsur Buddha, yakni kendi, gentong, teratai, dan kalpataru. Ada relief sosok perempuan memegang teratai dan seolah mengingatkan dengan kisah Janji Teratai dari Putri Yasodhara, istri Siddharta ”Sang Buddha” Gautama.
Baca juga: ”Dia Gayatri”, Perempuan yang Membentuk Kepribadian Majapahit
Kompas juga melihat relief yang tidak terpasang tetapi disimpan di gubuk candi bertema kendi. Relief dari cetakan bata merah, dalam penelitian BPCB Jatim, lebih dekat dengan teknologi di masa Majapahit atau dengan kata lain belum dikenal dalam masa Sindok hingga Airlangga. ”Gayatri adalah penganut Buddha yang taat seperti ayahandanya, Kertanegara, raja terakhir Singhasari. Meski Hayam Wuruk beragama Hindu, tidak mungkin mendirikan pendarmaan bagi Gayatri dengan gaya Hindu,” kata Wicaksono.
Di candi juga terdapat suatu ruang yang diyakini dahulu terdapat patung. Dindingnya meninggalkan warna putih pertanda dilapisi dengan kapur. Teknologi ini juga ditemukan di Candi Pari (1371) yang bisa diyakini sebagai tinggalan Hayam Wuruk. Bisa disimpulkan bahwa Candi Gununggangsir lebih tepat ditawarkan sebagai tinggalan Hayam Wuruk.
Selain itu, gambaran candi dan beserta reliefnya begitu kental dengan nuansa Buddha. Yang mengherankan, banyak relief berbentuk kendi yang mengeluarkan air. Jika dikaitkan dengan peristiwa pembelahan Jawa oleh Bharada melalui air yang mancur dari kendi, relief-relief tadi seolah mengonfirmasi bahwa inilah patok lain dari peristiwa itu tetapi dibangun oleh Hayam Wuruk sekaligus sebagai penghormatan terhadap Gayatri.
Baca juga: Pasuruan, Persimpangan Strategis Kerajaan Majapahit
Dalam konteks lain, Arca Joko Dolog di Surabaya memuat Prasasti Wurare yang isinya mesti tidak detail menceritakan tentang pembelahan Jawa masa Airlangga. Arca Buddha ini diyakini merupakan penggambaran sosok Kertanegara, ayahanda Gayatri. Di masa Singhasari, perpecahan Janggala-Panjalu bisa disatukan dalam satu panji.
Singhasari juga dikenal karena konsepsi antara nusa (Nusantara). Di masa Majapahit, Janggala-Panjalu adalah kerajaan bagian di mana pemimpinnya disebut Bhre Kahuripan (Janggala) dan Bhre Dhaha (Panjalu/Kadiri) sekaligus konsepsi persatuan Nusantara dilanjutkan.
Gayatri dianggap amat berpengaruh bagi perjalanan kebesaran Majapahit. Tampaknya, Gayatri ingin mengingatkan Majapahit sekaligus peradaban selanjutnya untuk tidak melupakan peristiwa pembelahan Jawa atau perpecahan. Hayam Wuruk menjawabnya dan mewujudkannya dengan membangun candi pendarmaan bagi sang nenek yang begitu dihormati.
”Narasi ini yang coba kami sodorkan sebagai tawaran cerita bagi kekayaan khazanah sejarah. Narasi bisa dikembangkan dengan penelitian-penelitian baru daripada tidak berkembang,” kata Wicaksono. Jika Candi Gununggangsir kurang atau tidak diterima sebagai narasi Wisesapura, lalu apa narasinya? Padahal, sejarah selalu terbuka bagi narasi-narasi baru untuk memperkaya pengetahuan masyarakat.