Petani Milenial Menyongsong Masa Depan di Cekungan Bandung
Anak-anak muda sadar memilih bertani dengan visi masa depan yang jelas. Bersama pemerintah, mereka menyongsong masa depan yang lebih baik.
Sejumlah anak muda di Cekungan Bandung, Jawa Barat, tidak ingin sekadar bicara panjang lebar tentang menjaga masa depan alam dan pangan sekaligus. Mereka terjun langsung menjadi petani kekinian meskipun ada saja yang meremehkan pilihan itu.
Dian Nugraha Ramdani (30) menyusuri jalan menanjak menuju kebunnya di Blok Sinapeul, Desa Sindanggalih, Cimanggung, Kabupaten Sumedang, Rabu (8/9/2021). Lahan seluas sekitar 560 meter persegi itu ditanami 160 pohon kopi arabika.
Tiba di kebun, tangannya sibuk mencabut rumput di sekitar pohon kopi yang baru ditanam Juni lalu. Benihnya diperoleh dari Dinas Perkebunan Jabar melalui program Petani Milenial yang diikuti Dian. ”Walaupun ditanam saat kemarau, pertumbuhan pohonnya cukup bagus. Semoga tumbuh lebih baik lagi saat musim hujan bulan depan,” ujarnya.
Ada yang bilang pertanian ini tidak punya masa depan cerah. Saya ingin membuktikan bahwa itu tidak benar. (Rizky Anggara)
Keyakinan Dian itu bukan tanpa alasan. Di bawah petak kebun tersebut, 800 pohon kopi arabika yang sudah ditanam 2,5 tahun lalu terbukti tumbuh subur. Tingginya mencapai 1,7 meter. Bahkan, beberapa di antaranya sudah berbuah.
Awalnya, bapak dua anak itu belajar berkebun secara otodidak. Ia manfaatkan lahan milik mertuanya yang ditanami pohon gamelina. Bibit kopi ditanam di antara pohon-pohon tersebut. Saat program Petani Milenial dibuka tahun ini, ia mendaftar dan diterima sebagai petani kopi.
Baca juga : Petani Milenial, Tunas-tunas Muda dari Jawa Barat
Program petani milenial digagas Pemerintah Provinsi Jabar tahun ini untuk menjawab ragam masalah yang dihadapi dunia pertanian. Mulai dari petani yang masih hidup miskin hingga usia petani yang menua. Padahal, pertanian teruji menghadapi ragam tantangan, termasuk saat pandemi Covid-19.
Data Badan Pusat Statistik Jabar menyebutkan, produk domestik regional bruto sektor pertanian pada triwulan II-2020 tumbuh 7,6 persen dibanding triwulan II-2019. Nilai produksinya mencapai Rp 60,83 triliun. Bahkan, jika dibandingkan triwulan I-2020, meningkat 45,8 persen.
Nilai ekspor sektor pertanian di Jabar juga menunjukkan tren positif. Peningkatannya pada Juni 2020 mencapai 9,7 juta dollar AS, jauh lebih tinggi dibanding Juni 2019 sebesar 3,6 juta dollar AS.
Catatan Bank Indonesia Jabar juga menyebutkan, dalam tiga tahun terakhir pertanian menunjukkan tren pertumbuhan. Pada triwulan ketiga 2020, pertanian menyumbang ekonomi terbesar ke-3 setelah industri pengolahan dan perdagangan.
Akan tetapi, kondisi itu masih menyisakan ironi. Data BPS Jabar 2020, persentase penduduk miskin justru ada di sentra pertanian, seperti Indramayu dengan 12,70 persen, Cirebon (11,24 persen), Cianjur (10,36 persen), Tasikmalaya (10,34 persen), hingga Garut (9,98 persen).
Kondisi itu diperburuk dengan banyaknya pelaku pertanian yang tidak lagi muda. Hasil Survei Pertanian Antar Sensus (Sutas) 2018 yang dilakukan BPS, jumlah petani di Jabar 3.250.825 orang. Namun, hanya 945.574 orang (29 persen) berusia 25-44 tahun.
Baca juga : Indonesia Perlu Dorong Ekspor Komoditas Pertanian
Gubernur Jabar Ridwan Kamil, akrab disapa Emil, mengatakan, tantangan pertanian harus terus dihadapi. Salah satunya demi memenuhi kebutuhan petani muda yang terbiasa dengan perkembangan teknologi lewat program Petani Milenial. Kehadiran generasi milenial di sektor pertanian akan menjadikan wajah pertanian di Jabar menjadi lebih segar.
Untuk program Petani Milenial, tercatat 8.996 pendaftar di rentang usia 19-39 tahun di gelombang I. Kini, lebih kurang 200 orang terlibat di sektor perkebunan, peternakan, kehutanan, perikanan, dan tanaman hias.
Petani sejahtera
Sejauh ini, pilihan Dian tepat. Program Petani Milenial memperkaya pengetahuannya berkebun kopi. Ia belajar kembali mengatur kedalaman lubang tanam, jarak tanam, membalikkan tanah galian, hingga pemangkasan cabang agar pertumbuhannya optimal.
Tidak mudah menjadi petani kopi. Namun, bukan berarti tidak menawarkan kesejahteraan di masa depan. Dibutuhkan strategi dan kolaborasi agar hasilnya maksimal. Dian berencana tidak hanya menjual kopi dalam bentuk buah ceri, tetapi mengolahnya menjadi biji dan bubuk untuk memberikan nilai tambah.
”Petani bukan pilihan salah untuk dijadikan sandaran hidup. Selain memberikan manfaat ekonomi, menanam kopi juga bisa memulihkan lahan di perbukitan,” ujarnya.
Keinginan untuk memperkaya pilihan dan pengetahuan para petani juga diutarakan M Syafi’i Ridwan (24) dari Desa Jayagiri, Kecamatan Lembang, Bandung Barat, saat ikut Program Petani Milenial. Berasal dari keluarga petani di kaki Gunung Tangkuban Parahu, dia ingin keluarga dan para petani lainnya menjadi lebih mandiri dan tidak gampang dibodohi.
”Selama ini petani masih bergantung kepada tengkulak, tidak punya pasar sendiri. Akibatnya, mereka tidak bisa apa-apa saat tengkulak berbuat seenaknya. Bahkan, pernah panen dari kakek saya belum dibayar, sampai beliau meninggal kemarin. Semua itu yang membuat saya yakin ingin menjadi petani,” ujarnya.
Ia tidak asal mengeluh. Tekadnya dibuktikan jauh sebelum Petani Milenial digelar. Setelah memilih keluar dari salah satu perusahaan rintisan dan mengikuti pelatihan hidroponik oleh Balai Latihan Kerja (BLK) tahun 2019. ”Saya melihat ada potensi besar yang bisa dikembangkan,” ujarnya.
Baca juga : Meracik Penghasilan di Halaman dengan Hidroponik
Ilmu itu lantas diterapkan di secuil lahan berukuran 10 meter x 10 meter milik keluarganya yang mampu menampung 2.000 lubang tanam hidroponik. Ditanam bayam merah, bayam hijau, kangkung, hingga salada merah.
Hasilnya memuaskan. Produk yang dihasilkan memiliki nilai yang lebih tinggi dibandingkan sayuran yang ditanam di lahan. Perbandingan harganya bisa dua kali lipat karena bisa dijual di pasar premium.
Sekarang, bersama 20 peserta petani milenial lainnya tengah belajar menanam tanaman hias Amydrium silver, Homalomena frog, dan Scindapsus lucens di program Petani Milenial. Hingga setahun ke depan, dia bakal belajar sistem tanam dan pengairan hingga model bisnis tepat menembus ekspor.
”Kami belajar lagi dari pengetahuan dasar. Harapannya, semakin banyak ilmu yang akan saya serap demi cita-cita sejahtera bersama petani lainnya,” katanya.
Berjejaring
Rizky Anggara (20), peserta lainnya asal Kertamulya, Padalarang, Bandung Barat, juga menjalani pelatihan dengan bahagia. Dia bahkan mengambil cuti kuliah selama setahun di jurusan Agroteknologi, Universitas Brawijaya, Malang, demi kesempatan belajar langsung di lapangan.
”Ada yang bilang pertanian ini tidak punya masa depan cerah. Saya ingin membuktikan kalau itu tidak benar,” ujarnya.
Setelah mendapatkan pelatihan dan menyelesaikan studinya, ia berencana membuka kebun vertikal di rumahnya. Lahan 50 meter persegi disiapkan, bahkan dia juga berencana sebagian area rumahnya untuk hidroponik. ”Harapannya bisa membuat kebun vertikal khusus tanaman hias. Saya akan ajak banyak muda di sekitar rumah untuk ikut serta,” ujarnya.
Apabila Rizky masih berusaha mempertebal ilmu bertani untuk sesama, Dian sudah mulai mencoba berjejaring dengan anak muda di sekitar Cimanggung. Kejadian bencana alam di Cimanggung Januari 2021 lalu meneguhkan keinginannya menjaga alam lewat pertanian yang tepat.
Januari 2021, longsor menerjang Desa Cihanjuang, Cimanggung. Sebanyak 40 orang tewas. Lokasinya di tebing terjal untuk perumahan. Minimnya pohon tegakan membuat tanah rawan longsor saat diguyur hujan lebat.
”Lahan yang kami tanami pohon kopi skalanya masih kecil. Namun, tidak mungkin juga memaksa petani lain untuk mengikutinya. Kalau kebun kopi ini berhasil, petani di sini pelan-pelan juga akan tergerak,” jelasnya.
Sejauh ini, sejumlah anak muda sudah memiliki keinginan serupa. Namun, ajakan ini tidak selalu diterima. Sejumlah petani masih bersiteguh berkebun tanaman semusim seperti umbi-umbian. Panen lebih singkat menjadi alasan.
Di Desa Pasirnanjung, misalnya, Dian berjejaring dengan Muhamad Ino Gandana (25) yang menanam 60 pohon kopi dan Rohdian Muldiansyah (32) menanam 160 pohon kopi. Aksi mereka memulihkan lahan kritis berkejaran dengan masifnya pembangunan perumahan di Cimanggung.
Menurut Ino, Cimanggung akan tetap diintai bencana selama lahan-lahan gundul di sana tidak segera dihijaukan. Sebab, punggung perbukitan di kawasan itu sudah dipadati perumahan sehingga berisiko meningkatkan bahaya longsor.
Baca juga : Kawasan Bandung Utara Berisiko
Potensi ancaman itu diharapkan menumbuhkan kesadaran masyarakat untuk tidak egois dalam memanfaatkan lahan. Penggunaan lahan mesti diawali dengan mempertimbangkan dampak ekologi. Oleh karena itu, penanaman pohon keras tidak bisa ditawar untuk menahan air di hulu sehingga meminimalkan risiko longsor.
”Kalau lahan kritis tidak dipulihkan, longsor di Cimanggung tinggal menunggu waktu saja. Namun, kita masih punya waktu untuk mencegahnya dengan terus menanam pohon di perbukitan. Harapannya, sumber ekonomi tetap ada dan alam tetap terjaga,” katanya.
Di tengah laju pembangunan, pesona pertanian masih menarik anak-anak muda. Mereka sadar, lingkungan berkelanjutan adalah tabungan berharga bagi masa depan.