Pembangunan Sarana Wisata di Jemplang TNBTS Harus Ikuti Kaidah Konservasi
Pembangunan wahana wisata dan sarana pendukung wisata di Jemplang, Malang, tetap harus memperhatikan kaidah karena lokasinya ada di kawasan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru. Warga lokal juga berharap dilibatkan.
Oleh
DEFRI WERDIONO
·5 menit baca
MALANG, KOMPAS — Meski berada di ruang usaha dalam zona pemanfaatan, pembangunan wahana dan sarana pendukung wisata di Jemplang, Desa Ngadas, Kecamatan Poncokusumo, Kabupaten Malang, Jawa Timur, tetap harus memperhatikan kaidah konservasi. Ini mesti dilakukan karena lokasi wahana itu berada di kawasan konservasi Taman Nasional Bromo Tengger Semeru.
Seperti diketahui, rencana pembangunan wahana di Jemplang menjadi perhatian khalayak. Bahkan, dalam akun Twitterresminya, Wahana Lingkungan Hidup Jawa Timur juga menyoroti rencana itu dengan mengatakan, taman nasional yang ditujukan untuk menjaga kawasan dan melindungi keanekaragaman hayati itu telah diubah.
Berada 2.300 meter di atas permukaan laut, lokasi Jemplang tepat di akses masuk ke Bromo dan Semeru dari arah Malang dengan pemandangan alam yang indah. Posisinya di persimpangan menuju kaldera Bromo (kiri) dan Ranu Pani (kanan) yang menjadi pintu gerbang pendakian Semeru.
Pelaksana tugas Kepala Balai Besar Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS) Novita Kusuma Wardani mengatakan, pengembang wajib mematuhi aturan, di antaranya ketentuan areal yang boleh dibangun hanya 10 persen dari luas konsesi, sisanya untuk kegiatan terkait konservasi. Selain itu material bangunan juga mesti alami dan memanfaatkan bahan lokal.
”Ada syarat-syarat, misalnya bangunan harus sekian persen, pembangunannya tidak boleh begini, harus begini,” ujar Novita seusai diskusi ”Ngobrol Pariwisata di Kawasan Konservasi” di Malang, Jumat (10/9/2021) sore.
Hadir pada kesempatan itu, antara lain, perangkat desa dan tokoh masyarakat Desa Ngadas, Dinas Pariwisata Kabupaten Malang, pelaku ekowisata, PT Winota Alam Indah (WAI) selaku pengembang, dan beberapa elemen lain.
TNBTS memiliki luas 50.276 hektar (ha), mencakup empat kabupaten, yakni Malang, Pasuruan, Probolinggo, dan Lumajang. Wilayahnya terbagi atas beberapa zona, seperti zona inti, rimba, tradisional, rehabilitasi, religi sejarah dan budaya, serta pemanfaatan.
Menurut Novita, pengembang telah mengantongi Perizinan Berusaha Berbasis Risiko Sarana Wisata Alam (PBSWA) dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) karena saat itu masih masa transisi sebelum ada di Kementerian Investasi (BKPM) dengan luas konsesi 2 ha.
Dari 2 ha lahan konsesi, yang digunakan hanya 10 persen atau 2.000 meter persegi. Namun di site plan hanya 1.800 meter persegi yang akan digunakan. Wahana yang akan dibuat, antara lain, jembatan antartajuk tegakan, titik pandang, dan beberapa sarana pendukung, seperti selter dan tempat parkir.
Novita menilai, pembangunan ini tidak akan mengganggu konservasi karena berada di zona pemanfaatan. Itu pun di ruang usaha, bukan ruang publik. Zona pemanfaatan bisa digunakan secara terbatas untuk keperluan seperti penelitian, pendidikan, dan wisata terbatas.
”Ada pembagian zonasi—dokumen zonasi taman nasional—yang khusus di zona pemanfaatan ada desain tapak, itu semua ada proses kajian sehingga mana-mana yang bisa jadi pemanfaatan. Tidak sekadar di atas kertas,” ucapnya.
Disinggung soal izin terkait lingkungan, Novita menjelaskan, untuk mendapatkan PBSWA, beberapa komitmen sudah dilalui, mulai dari pertimbangan teknis dari unit pelaksana teknis dan dinas pariwisata, hingga persetujuan lingkungan berupa Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup (UKL/UPL) dari Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Jawa Timur.
Ekonomi warga
Selama ini, kawasan TNBTS bisa diakses dari empat pintu, yakni Probolinggo, Pasuruan, Lumajang, dan Malang. Namun, hanya dari Malang yang belum memiliki sarana dan prasarana pendukung untuk menarik wisatawan. Kondisinya masih relatif seadanya. Di Jemplang ada beberapa warung yang didirikan warga.
Atas kondisi ini, warga dan pihak desa mengaku menyambut baik rencana itu. Namun, pihak desa juga minta dilibatkan dalam pengelolaan, tidak hanya sekadar menjadi lokasi. Ada keuntungan yang bisa didapatkan Ngadas sebagai desa wisata adat Tengger.
”Selama ini, desa kami hanya sebagai lintasan ke Semeru dan Bromo. Dengan adanya pembangunan di Jemplang, harapan masyarakat dan pelaku wisata ada poin khusus yang bisa menarik wisatawan sehingga warga dan pelaku wisata bisa merasakan kue pariwisata,” ujar Kepala Desa Ngadas Mujianto.
Sejak kendaraan umum tidak bisa masuk kawasan Laut Pasir di Bromo pada 2012, kata Mujianto, masyarakat Ngadas mulai melirik usaha jasa wisata, khususnya penyedia jip. Tahun 2012-2018 ada 65 unit jip di Ngadas. Selain itu, juga tumbuh homestay sehingga jumlah totalnya kini mencapai 38 unit.
”Untuk itu, perlu ada MOU (nota kesepahaman) yang jelas. Ada pembangunan besar di situ, tetapi desa tidak dapat apa-apa juga jadi masalah. Harapan kami, bagaimana nanti bentuk kerja samanya dan kira-kira desa mendapatkan berapa? Apakah kami dilibatkan dalam mengelola obyek wisata,” katanya.
Sementara itu, perwakilan dari pihak WAI, Harjono, mengatakan, semua izin pembangunan sudah beres. Saat ini yang dilakukan adalah sosialiasi dan pekerjaan di lapangan. Selain wahana wisata, WAI juga berniat menyediakan sarana umum, seperti parkir, kamar kecil, dan tempat ibadah. Kamar kecil juga akan dibenahi, sedangkan warung diseragamkan.
”Jemplang perlintasan dengan tren jumlah wisatawan yang melintas kian naik sehingga WAI akan membangun sarana parkir kendaraan 1.500 meter persegi yang pengelolaannya nanti kami serahkan kepada taman nasional dan masyarakat Ngadas sebagai operator,” ujarnya.
Dalam diskusi ini juga mengemuka soal foto penebangan pohon di lokasi yang viral dan menimbulkan polemik oleh warganet. Kartono, tokoh masyarakat setempat, berargumen bahwa itu adalah belukar (tanaman invasif) yang tengah dibersihkan.
Munurut Kartono, sejauh ini warga Ngadas telah berusaha menjaga lingkungan. Mereka sudah menanam 1.250-1.600 batang pohon di kawasan sekitar. Masyarakat adat Tengger setempat memiliki aturan bahwa memotong satu pohon didenda 45 zak semen.