Kebun-kebun Baru Penjaga Cekungan Bandung
Kemunculan kebun-kebun tanaman keras di Cekungan Bandung menjaga harapan meminimalisir panen bencana di masa depan. Pengalaman bencana alam jadi pelajaran berharga hidup di tanah bencana.
Kebun-kebun tanaman keras perlahan bermunculan di Cekungan Bandung. Modal besar hidup bijaksana di tengah perubahan iklim di tanah rawan bencana.
Siang menjelang, tetapi Sukmana (50) belum kehabisan tenaga menggemburkan kebunnya di Cimenyan, Kabupaten Bandung, Selasa (7/9/2021). Sudah tiga jam tangan kekarnya mengayunkan pacul garpu memecah bongkahan tanah yang mengeras.
Sejak akhir April lalu, kebun 700 meter persegi itu tidak ditanami sayur karena minim air. Baru sepekan terakhir, ia giat menyiapkan lahan menyambut musim tanam sesuai perkiraan awal musim hujan.
Akan tetapi, berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, kebunnya kali ini tak sepenuhnya gundul. Sebanyak 30 pohon jeruk nipis dan 10 pohon avokad tegak di lahan berkemiringan sekitar 30 derajat tersebut. ”Ini pertama kali saya menanam pohon keras di kebun. Sengaja ditempatkan di pinggir agar menahan tanah saat hujan sehingga tidak gampang tergerus,” ujarnya.
Pohon-pohon itu ditanam empat bulan lalu. Bibit jeruk nipis dibeli dari Cisarua, Bandung Barat, Rp 25.000 per batang. Pohon avokad dibagikan Satgas Citarum Harum yang sedang mengerjakan program penghijauan di Kawasan Bandung Utara (KBU) itu.
Meskipun ditanam saat kemarau, pohon-pohon itu tumbuh baik. Bahkan, beberapa pohon jeruk nipis sudah berbuah. Ini mendorong Sukmana menanam 30 pohon lagi. ”Kalau KBU dihijaukan, mudah-mudahan bisa mengurangi banjir di Kota Bandung. Dengan banyak pohon, airnya akan ditahan. Tanah tidak mudah longsor,” ujar ayah tiga anak itu.
Kebun milik petani lain juga mulai menerapkan sistem tumpang sari. Beberapa petak kebun yang disiapkan untuk sayuran telah ditanami surian, kayu manis, nangka, durian, dan lemon.
Kebanyakan petani menanam pohon buah. Sebab, selain memberikan fungsi ekologi, juga bermanfaat ekonomi karena hasil panen bisa dijual.
Baca juga: Pernah Tercemar Berat, Sungai Citarum Kini Berstatus Cemar Ringan
Pilihan itu tidak keliru. Berjarak sekitar 200 m dari kebun Sukmana, kebun jeruk lemon california milik Ido Supandi (47) buktinya. Dua tahun lalu, Ido menanam 150 pohon di lahas 1.400 meter persegi.
Ketika itu, ia hanya coba-coba menanam jeruk lemon. Tujuannya, menghijaukan kebun sayur yang telah digarap sejak 1996. Ido tak ingin petani di KBU terus dikambinghitamkan saat banjir melanda Kota Bandung.
Ia banyak belajar dari banjir bandang di Jatihandap, Kota Bandung, Maret 2018. Debit air hujan dari hulu menyebabkan Sungai Cipamokolan meluap ke jalan dan permukiman warga. Ratusan rumah dan kendaraan rusak.
Percobaan Ido menanam jeruk lemon berbuah manis. Kebunnya kini hijau di antara banyaknya lahan gundul di Cimenyan. Dalam sepekan, ia dapat memanen 1-2 kuintal. Jika dikalkulasikan dengan harga jeruk lemon di tingkat petani saat ini Rp 9.000–Rp 10.000 per kg, penghasilan dari kebunnya Rp 900.000–Rp 2 juta per pekan.
Pulihkan Bandung Utara
Aksi Sukmana, Ido, dan sejumlah petani Cimenyan lain menanam pohon keras di kebunnya merupakan langkah kecil pemulihan KBU. Sebab, dari sekitar 40.000 hektar lahan di Kabupaten Bandung, Kota Bandung, Kota Cimahi, dan Kabupaten Bandung Barat itu, sekitar 19.000 ha di antaranya berstatus kritis.
Kerusakan KBU tidak hanya disebabkan masifnya penggarapan kebun sayur. Kawasan resapan air itu juga dieksploitasi banyaknya perumahan, hotel, apartemen, vila, dan kafe sehingga membuatnya menjadi ”hutan beton”.
Pemulihan lahan kritis juga dilakukan di Kota Bandung. Lama tak diurus dan hanya ditumbuhi rumput gajah untuk pakan sapi, Bukit Mbah Celeng di Kelurahan Cisurupan, Cibiru, mulai ditanami pohon sejak dua tahun lalu. Berbagai pohon buah, seperti jambu, mangga, belimbing, avokad, sawo, jeruk, durian, dan nangka memenuhi lahan seluas 3 hektar itu.
Semoga kawasan hulu ini akan mengirim buah ke Gedebage, bukan mengirim air (banjir) lagi. Kalau pohon-pohon ini besar dan berbuah, semua akan senang. (Agus Ariyadi)
Sebanyak 1.300 batang pohon tumbuh di atas tanah coklat yang mengering karena kemarau. Kelak, bukit itu diharapkan jadi penahan air di pegunungan sehingga dapat mengurangi dampak banjir di kawasan Bandung timur.
Harapan itu dikawal Agus Ariyadi (35), pekerja harian lepas (PHL) Dinas Pekerjaan Umum (PU) Kota Bandung. Ia ikut mengawasi penghijauan di Bukit Mbah Garut. Kedua bukit dipisahkan lembah yang dilintasi sungai tadah hujan.
Agus menunjuk salah satu jalur air di dasar lembah, Kamis (9/9) siang. Anak sungai selebar 2 meter itu mengering setelah berbulan-bulan dilanda kemarau. ”Kalau hujan deras, air sungai di sini besar dan menyatu di Sungai Ciloa. Ada tiga anak sungai seperti ini di kawasan Bukit Mbah Celeng dan Bukit Mbah Garut,” ujarnya.
Besarnya debit air saat musim hujan berpotensi menyebabkan banjir di hilir jika tidak ditahan di hulu. Oleh karena itu, Agus berharap banyak pada fungsi ekologi dari ribuan pohon itu di masa depan.
”Semoga kawasan hulu ini akan mengirim buah ke Gedebage, bukan mengirim air (banjir) lagi. Kalau pohon-pohon ini besar dan berbuah, semua akan senang,” ujarnya.
Gedebage merupakan kawasan langganan banjir saat musim hujan. Bahkan, beberapa kali banjir memutus lalu lintas di sana karena jalan tergenang banjir sehingga tidak dapat dilalui kendaraan.
Di Bukit Mbah Garut, warga diperbolehkan menggarap lahan. Namun, mereka juga diminta menjaga pohon-pohon keras yang ditanam Pemkot Bandung.
Dayat (68), misalnya, diminta merawat 500 pohon keras di lahan garapannya seluas 1,5 hektar. Ia menanam sayur di antara kopi, avokad, petai cina, mangga, dan durian. ”Kalau menanam sayur itu tetap, tetapi pohonnya diminta dijaga. Semoga saja nanti buah-buahannya bisa dipanen. Jadi, dapat menambah penghasilan kami,” ujarnya.
Kepala Dinas PU Kota Bandung Didi Ruswandi menyatakan, sebagian besar ruang terbuka hijau (RTH) di kawasan Bandung timur kini dimanfaatkan untuk menanam pohon buah dan ekowisata. Lebih dari 20 ha lahan kritis telah ditanami pohon.
Baca Juga: Pengelolaan Belum Maksimal, Limbah Ternak Masih Cemari Sungai Citarum
Demi Citarum
Rinciannya, Wetland (taman rawa) Cisurupan seluas 10 hektar, Bukit Mbah Celeng (3 hektar), Bukit Mbah Garut (4 hektar), Kandang Hayam (8 hektar), dan Tangga 100 (1 hektar). Seluruh kawasan itu milik Pemkot Bandung.
Saluran air dari kawasan tersebut bermuara ke Sungai Ciloa dan berujung di Sungai Cipamulihan. ”Sungai Ciloa berpengaruh besar terhadap banjir di Bandung timur. Karena itu, sebisa mungkin (air) kami tahan di hulu,” ujarnya.
Selain oleh akar pohon, air ditahan kolam-kolam penampungan. Fasilitas yang disebut tempat parkir air ini terdiri atas 14 kolam dan mampu menampung hingga 1.327 meter kubik.
Langkah itu sejalan dengan upaya Pemerintah Provinsi Jabar memulai gerakan pemulihan KBU yang masuk Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum dengan menanam 17.000 pohon di Cimenyan, Desember 2019. Lahan kritis di DAS itu sekitar 200.000 ha. Berdasar data Badan Pusat Statistik, total lahan kritis di Jabar 900.000 ha.
Kritisnya lahan membuat daya dukung lingkungan tak maksimal. Hal ini menjadi salah satu pemicu banjir berulang di kawasan cekungan Bandung akibat luapan Citarum dan anak-anak sungainya.
Gubernur Jabar Ridwan Kamil mengatakan, pemulihan lahan kritis di DAS Citarum masih terus dilakukan. ”Sudah 36.000 hektar lahan kritis dihijaukan dari target 80.000-90.000 hektar di akhir program (Citarum Harum) pada 2025,” ujarnya di Bandung, Selasa (7/9).
Terdampak perubahan iklim, bencana alam bisa kapan saja terjadi di Cekungan Bandung. Bermuculannya kebun-kebun tanaman keras berusaha menjaga harapan meminimalkan dampaknya buruk di masa depan.
Baca Juga: Luapan Sungai Citarum Rendam Ribuan Rumah di Kabupaten Bandung