Sawah dan Kebun Warga Bolaang Mongondow Diduga Rusak akibat Limbah Tambang
Lahan pertanian di Kecamatan Dumoga Timur, Bolaang Mongondow, rusak parah diduga karena tertimbun lumpur limbah perusahaan tambang emas. Selama dua tahun terakhir, perusahaan itu beroperasi tanpa izin dari KLHK.
Oleh
KRISTIAN OKA PRASETYADI
·4 menit baca
KOMPAS/KRISTIAN OKA PRASETYADI
Lahan pertanian dan perkebunan di Desa Kanaan, Kecamatan Dumoga Timur, Kabupaten Bolaang Mongondow, Sulawesi Utara, Jumat (10/9/2021), rusak diduga akibat limbah pertambangan emas PT Bulawan Daya Lestari.
BOLAANG MONGONDOW, KOMPAS — Lahan pertanian di Kecamatan Dumoga Timur, Kabupaten Bolaang Mongondow, Sulawesi Utara, rusak parah diduga karena tertimbun lumpur limbah sebuah perusahaan tambang emas. Selama dua tahun terakhir, perusahaan itu beroperasi tanpa ada izin pinjam pakai kawasan hutan dari pemerintah pusat.
Lahan pertanian seluas kurang lebih 30 hektar itu terletak di Desa Kanaan dan digarap oleh warga beberapa desa, seperti Toruakat, Kanaan, dan Bombanon. Namun, kini hamparan yang dulunya sawah telah dipenuhi oleh lumpur yang disebut warga sebagai longsoran limbah tanah galian dari perusahaan tambang yang beroperasi di puncak Gunung Patung, PT Bulawan Daya Lestari (BDL).
”Sawah ini sekarang sudah tidak bisa ditanami, padahal dulu subur sekali. Satu hektar bisa menghasilkan 1,7 ton padi. Tahun 2014 lalu, lumpur terbawa air dari hulu di area tambang karena hujan lebat. Sawah langsung rata dengan lumpur,” kata Andri Runtuwene (56), warga Desa Toruakat, ketika ditemui pada Jumat (10/9/2021).
Akibatnya, berbagai tanaman juga mengering dan mati, mulai dari cabai, pohon kelapa, hingga pohon mahoni dan nantu. Sebagian batang pohon masih tegak berdiri meski tanpa daun, sebagian lagi sudah tumbang. Air sungai di area pertanian dan perkebunan rakyat itu juga tampak keruh.
KOMPAS/KRISTIAN OKA PRASETYADI
Sungai di lahan pertanian dan perkebunan di Desa Kanaan, Jumat (10/9/2021), tampak keruh dan rusak diduga akibat limbah pertambangan emas PT Bulawan Daya Lestari.
Jerry Mamahit (48), warga Toruakat, lainnya, mengatakan, seekor sapi milik warga mati beberapa tahun lalu akibat meminum air dari sungai yang keruh itu. Ia khawatir air itu tercemar oleh limbah tanah yang telah tercampur dengan sianida. Adapun puluhan pohon kelapa milik keluarganya telah mati.
Menurut Andri dan Jerry, kerusakan mulai timbul setelah PT BDL mulai mengeruk emas di lahan seluas 99,05 hektar di perbukitan yang disebut Gunung Patung, di Desa Mopait, Kecamatan Lolayan, pada 2011. Tanpa sistem penanggulangan limbah yang baik, mereka khawatir sawah dan kebun masyarakat akan semakin rusak.
”Ini sama saja membunuh warga pelan-pelan. Lahan warga sekarang rusak. Padahal, kami makan dari hasil tanah itu untuk bisa terus hidup. Apa sekarang mereka (PT BDL) mau kasih makan kami?” kata Andri.
Andri juga menuduh PT BDL merampas lahan seluas 6,5 hektar miliknya yang kini masuk wilayah izin usaha pertambangan operasi produksi (IUP-OP) perusahaan itu. Ia hanya menerima total Rp 30 juta dari penggantian pohon cengkeh, matoa, pala, dan sebagainya pada 2009. Padahal, ia memiliki surat kepemilikan tanah yang dibubuhi cap kepala desa.
KOMPAS/KRISTIAN OKA PRASETYADI
Wilayah tambang PT Bulawan Daya Lestari di puncak perbukitan Gunung Patung tampak dari Desa Kanaan, Jumat (10/9/2021).
Kedaluwarsa
Kekhawatiran warga terhadap PT BDL semakin menguat karena perusahaan itu terus beroperasi setelah izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH) mereka kedaluwarsa pada 10 Maret 2019. Pada saat bersamaan, perusahaan tersebut tengah menghadapi konflik internal terkait kepemilikan saham perusahaan, yaitu antara pihak Yance Tanesia dan Hadi Pandunata.
Setidaknya sejak pertengahan 2020, operasi perusahaan itu terus dilanjutkan Yance Tanesia dan rekannya, Jimmy Inkriwang. Mereka telah mengajukan permohonan perpanjangan IPPKH pada Juni 2021. Sebelumnya, pada Februari 2021, pihak Hadi Pandunata juga mengajukan permohonan serupa.
Namun, pada 16 Juli 2021, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menolak mengabulkan permohonan kedua pihak. Direktur Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan KLHK Ruandha Agung Sugardiman meminta ada kepastian hukum ihwal kepemilikan yang sah terhadap PT BDL.
Saya masih harus berkoordinasi dengan atasan.
Karena itu, Balai Pengamanan dan Penegakan Hukum Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Gakkum LHK) Seksi III Manado diminta melaksanakan operasi penertiban terhadap PT BDL. Perusahaan itu diminta menyelesaikan konflik internalnya, kemudian memperpanjang masa berlaku IPPKH.
Operasi itu dilaksanakan pada Jumat (10/9/2021) setelah tertunda sehari. Menurut rencana, para polisi hutan dan penyidik pegawai negeri sipil (PPNS) akan memasang papan peringatan untuk tidak beroperasi. Ketika personel Balai Gakkum LHK tiba, pusat pengolahan emas terus beroperasi, sedangkan alat berat diistirahatkan dengan alasan rusak akibat hujan.
Namun, sehari sebelumnya, Andri dan Jerry, warga Toruakat, merekam dua ekskavator beroperasi penuh hingga sore hari di bawah guyuran hujan. Terkait hal ini, Kepala Seksi III Balai Gakkum LHK Manado William Tengker belum bisa memberikan keterangan. ”Saya masih harus berkoordinasi dengan atasan,” ujarnya.
Tim Balai Gakkum LHK Manado menghabiskan sekitar 6 jam di situs tambang PT BDL. Namun, hingga kini, belum didapati kepastian apakah perusahaan itu telah berhenti beroperasi dan mengeluarkan alat berat dari sana. Yance Tanesia, yang kini mengoperasikan tambang PT BDL, mengaku tidak tahu hasil operasi penertiban dari Balai Gakkum LHK Manado.
Ralfie Pinansang, kepala bidang legal PT BDL di bawah Yance, berargumen pihaknya berhak terus beroperasi. Sebaliknya, ia menyebut KLHK yang tak kunjung menerbitkan perpanjangan IPPKH sebagai bentuk kelalaian negara. ”Apalagi, Pengadilan Negeri Kotamobagu sudah memutus Pak Yance Tanesia sebagai pemilik PT BDL pada 2020,” katanya.
Sebaliknya, Mody Donny Sumolang, bagian dari direksi PT BDL versi Hadi Pandunata, menyebut Yance memaksakan perusahaan itu tetap beroperasi meski tak memenuhi persyaratan hukum. Ia pun menyebut PT BDL kini tidak beroperasi sesuai persyaratan dalam analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) sehingga merusak lingkungan.