JPIC Provinsi SVD Ruteng Desak Polres Manggarai Barat Bebaskan 21 Warga yang Ditahan
Komisi Keadilan, Perdamaian, dan Keutuhan Ciptaan atau JPIC Provinsi Serikat Sabda Allah Ruteng, Nusa Tenggara Timur mendesak Kepolisian Resor Manggarai Barat segera membebaskan 21 warga yang ditahan sejak 2 Juli 2021.
Oleh
KORNELIS KEWA AMA
·4 menit baca
RUTENG, KOMPAS — Komisi Keadilan, Perdamaian, dan Keutuhan Ciptaan atau JPIC Provinsi Serikat Sabda Allah atau SVD Ruteng, Nusa Tenggara Timur, mendesak Kepolisian Resort Manggarai Barat segera membebaskan 21 warga Manggarai yang ditahan, sejak 2 Juli 2021. JPIC menilai, penahanan 21 warga itu tanpa dasar, tidak prosedural, dan melanggar hak asasi manusia.
Koordinator Komisi Keadilan, Perdamaian, dan Keutuhan Ciptaan atau JPIC Provinsi Serikat Sabda Allah, Societes Verbi Divini (SVD) Ruteng P Simon Suban Tukan SVD dihubungi di Ruteng, Jumat (10/9/2021), mengatakan, proses penangkapan dan penahanan terhadap 21 warga, Jumat 2 Juli 2021 telah melanggar hak asasi manusia. Penangkapan itu dilakukan sewenang-wenang oleh aparat karena tidak koordinasi dengan Babinkantibmas dan pemerintah desa.
Dikatakan, pada Kamis, 1 Juli 2021 ada 18 warga dari Kampung Popo dan Kampung Dimpong, Manggarai, tiba di Kampung Ngoer, Desa Golo Mori Kecamatan Komodo, Manggarai Barat. Mereka diminta oleh Hironimus Alis, Hendrik Habat, dan Aurelius Mujur menjadi tenaga kerja harian dengan upah Rp 70.000 per hari, untuk membersihkan lahan pertanian berlokasi di Lingko Rasi Koe.
Hasil investigasi tim JPIC SVD Ruteng, organisasi beranggotakan biarawan katolik se-dunia ini menyebutkan, Jumat (2/7/2021) pukul 08.00 Wita, para buruh tani harian ini mulai bekerja. Pada pukul 11.00 Wita, atas permintaan Frans Panis, Yasin, dan Bahali (ketiga sebagai pelapor), melapor ke Kantor Desa Golo Mori.
Atas laporan itu, aparat Desa Golomori, Babinsa, Babinkantibmas langsung ke lokasi lahan dan meminta ke-21 buruh harian itu menghentikan kegiatan. Mereka lantas pulang dan melakukan aktivitas lain, ada yang mencari ikan dan ada pula mencari kayu bakar.
Frans Panis pun mengatakan tidak pernah melapor ke Polres Manggarai Barat, tetapi namanya disebutkan sebagai pelapor dalam penangkapan itu. Ini kan rekayasa. (Simon Suban Tukan)
Aparat Desa Golo Mori kemudian meminta pemilik lahan ke kantor desa terkait keberatan dari Frans Panis atas kepemilikan lahan dan aktivitas tersebut. Pada pukul 14.00 Wita terjadi pertemuan di Kantor Desa Golo Mori, dihadiri kepala desa dan staf, Babinsa, Babinkantibmas.
Hadir juga ketiga pelapor, termasuk terlapor, yakni Hironimus Alis, Hendrik Habat, dan Aurelius Mujur, yang masing-masing memiliki satu bidang tanah untuk digarap para buruh harian.
Menurut Suban Tukan, pertemuan berlangsung dalam suasana kekeluargaan, dan disepakati bahwa kedua pihak bersama aparat desa menyelesaikan masalah itu secara kekeluargaan di rumah milik Adelgona Kiluk, warga Desa Golo Mori pada Sabtu, 3 Juli 2021. ”Kemudian semuanya pulang ke rumah masing-masing,” katanya.
Pada pukul 15.30 Wita, datang belasan aparat Polres Manggarai Barat dipimpin Kapolres Ajun Komisaris Besar Bambang Hari Wibowo dan Wakapolres di depan halaman rumah Adelgona Kiluk. Mereka mulai bertanya dengan nada intimidasi soal keberadaan warga dari Kampung Popo dan Dimpong yang membersihkan lahan di Kampung Lingko Rasi Koe.
Warga menunjuk enam orang yang sedang berada di dalam rumah Adelgona Kiluk, dan 13 orang masih mencari ikan di laut. Setelah menangkap ke-19 orang tersebut Babinsa menjemput paksa Aurelius Mujur dan Hironimus Alis atas perintah Kapolres, saat keduanya sedang bekerja di lahan milik masing-masing. Total warga yang dibawa ke Markas Polres Manggarai untuk ditahan 21 orang.
Kedatangan Kapolres dan Wakapolres beserta anggota ke Kampung Ngoer menurut Suban Tukan tanpa koordinasi dengan kepala desa dan Babinkamtibmas. Sesuai kesaksian Babinsa, Kepala Desa, dan Babinkamtibmas, tidak ada ancaman atau keributan yang mengganggu ketertiban umum karena ke-21 warga tersebut menghentikan kegiatan setelah ada permintaan kepala desa.
Bukan inisiatif
Kepala Bidang Humas Polda NTT Ajun Komisaris Besar Rishian Krisna Budhiaswanto mengatakan, penangkapan terhadap warga Manggarai itu atas laporan masyarakat, bukan inisiatif Polres Manggarai Barat. Jumlah 21 warga yang ditangkap itu karena mereka diduga sengaja menduduk lahan milik orang lain dengan cara membersihkan.
Polisi punya bukti dalam penangkapan itu, tidak dilakukan sewenang-wenang. Polsi tetap mengedepankan asas praduga tak bersalah. Penangkapan itu justru dalam rangka menghormati hak asasi orang lain dan pelaku sendiri.
Menurut Rishian, lahan itu disengketakan dua kelompok masyarakat, yang masing-masing beda suku, ras, dan antargolongan (SARA) sehingga berpotensi terjadi konflik berbau SARA. Penangkapan dan penahanan itu untuk mengantisipasi terjadi konflik lebih luas.
”Penyidikan sedang berlangsung terhadap ke-21 pelaku yang berusaha menguasai lahan dengan ancaman tindak kekerasan, mereka membawa parang,” ujarnya.
Biarawan Katolik ini menyebutkan, pengakuan Kepala Desa Golo Mori, Babinsa, dan Babinkamtibmas, pihak Frans Panis (pelapor) dan Hironimus Alis (terlapor) sepakat berdamai. Soal kedatangan rombongan Kapolres pun tidak ada laporan atau undangan dari kepala desa, Babinsa, dan Babinkantibmas.
”Frans Panis pun mengatakan tidak pernah melapor ke Polres Manggarai Barat, tetapi namanya disebutkan sebagai pelapor dalam penangkapan itu. Ini kan rekayasa,” ujar Suban Tukan.
Karena itu JPIC Ruteng menyurati Kepala Kepolisian RI, pimpinan Komnas HAM RI, pimpinan LPSK RI, dan pimpinan Komisi III DPR RI untuk memerintahkan Polres Manggarai Barat mengeluarkan surat perintah penghentikan penyidikan (SP3) terhadap ke-21 warga yang ditangkap.
Lembaga ini minta segera membebastugaskan Kapolres Manggarai Barat dan jajaran yang terlibat dalam kasus penangkapan, segera memerintahkan Polres Manggarai Barat melakukan pemulihan nama baik terhadap ke-21 warga yang ditangkap dan ditahan sewenang-wenang.
Surat tembusan disampaikan kepada Kepala Propam Mabes Polri, Ketua Kompolnas, Gubernur NTT, Ketua DPRD NTT, Kepala Polda NTT, dan Kepala Propam Polda NTT.