Hemat Energi dengan Biogas Kotoran Sapi di Banjarnegara
Sejumlah keluarga di sekitar kandang sapi di Kampung Silembu memanfaatkan kotoran sapi untuk menyalakan kompor dan lampu. Mereka berhemat biaya untuk pembelian gas elpiji dengan pemanfaatan biogas.
Oleh
WILIBRORDUS MEGANDIKA WICAKSONO
·4 menit baca
Di Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah, sejumlah warga memanfaatkan kotoran sapi untuk diolah menjadi biogas dan mampu menghemat pengeluaran untuk kebutuhan energi sehari-hari. Selain berdampak secara ekonomi, lingkungan sekitar juga lebih terjaga karena kotoran sapi tak lagi mencemari.
Sebanyak 17 keluarga di Dusun Silembu, Desa Karangjambe, Kecamatan Wanadadi, Banjarnegara, memanfaatkan kotoran sapi untuk biogas. Biogas dari kotoran 37 ekor sapi yang dipelihara oleh Kelompok Tani Ternak Sapi ”Suprah” itu digunakan untuk menyalakan kompor untuk memasak serta menyalakan lampu petromaks sebagai lampu emergensi jika listrik padam.
”Dulu sebelum ada biogas, kotoran sapi hanya dibuang ke irigasi. Sekarang bisa dipakai untuk biogas dan limbahnya untuk pupuk kandang buat tanaman,” kata Bendahara Kelompok Tani Ternak Sapi ”Suprah” Achmad Fahrudin di Banjarnegara, Kamis (3/9/2021).
Kelompok ini mendapatkan bantuan pemerintah untuk pembangunan instalasi biogas serta kompor biogas pada 2013. Sebanyak 17 keluarga yang memanfaatkan biogas ini berada di radius sekitar 100 meter dari kandang sapi yang berukuran 50 meter x 15 meter.
”Warga hanya mengeluarkan biaya pembelian pipa untuk menyalurkan biogas. Paling jauh sekitar 100 meter, mengeluarkan biaya sekitar Rp 300.000 untuk pipa. Selanjutnya tidak ada biaya atau iuran tambahan, warga tinggal memakai,” ujarnya.
Dengan memakai sepatu bot, siang itu, Salimin (46), anggota kelompok, bersama seorang rekannya membersihkan kotoran sapi di lantai kandang. Gumpalan kotoran sapi disemprot air dan didorong dengan alat serupa sapu, tapi bagian bawahnya berwujud karet. Kotoran sapi itu dialirkan lewat saluran pembuangan menuju bak tampungan kotoran sapi atau disebut biodigester.
Sambil sesekali memutar tuas di permukaan sumur tampungan untuk melumat kotoran sapi, Salimin terus menyemprot kotoran sapi itu supaya larut ke dalam sumur. Ada dua bak tampungan kotoran sapi atau biodigester di tempat ini, masing-masing berukuran 24 meter kubik dan 10 meter kubik.
”Selain biogas untuk dimanfaatkan warga, nanti juga ada pupuk cair dan pupuk padat. Biasanya diambil petani sayur di sekitar sini untuk tanaman mereka,” kata Salimin. Adapun pupuk cair yang bisa diperoleh dari instalasi biogas ini mencapai 200 liter dan pupuk padat mencapai 50-100 kilogram per hari.
Tidak tercium bau menyengat di dalam kandang berisi 12 sapi perah dan 25 sapi potong yang sedang dalam proses penggemukan tersebut. Lantai kandang sapi pun tampak bersih dengan dua kali jadwal pembersihan kotoran sapi untuk dimasukkan ke dalam biodigester.
Atap yang tinggi dengan udara terbuka pada sisi barat dan timur juga membuat kandang memiliki sirkulasi udara serta pencahayaan memadai. ”Sebelum kotoran digunakan untuk biogas, memang baunya cukup lumayan menyengat. Sekarang sudah jauh berkurang,” ujar Salimin.
Berdampak ekonomi
Dari 12 sapi perah ini, menurut Fahrudin, kelompok bisa mendapatkan sekitar 120 liter susu sapi. Setiap ekor sapi rata-rata bisa menghasilkan 10-15 liter susu. Susu sapi ini dijual dengan harga Rp 10.000 per liter. ”Susu dijual di sekitar Banjarnegara, Wonosobo, Purbalingga, dan Banyumas,” katanya.
Biogas ini pun membawa berkah bagi Sartini yang tinggal sekitar 25 meter dari lokasi kandang sapi kelompok ini. Pipa putih penyalur biogas tampak menjulur dari kandang sapi, melewati tepian selokan kemudian masuk ke dapur rumah Sartini. Di sini, pipa dibuat bercabang dua. Cabang pertama masuk ke dalam kompor biogas dan cabang lainnya masuk ke lampu petromaks.
”Lumayan ini bisa buat masak nasi dan merebus air. Dulu sebulan butuh 3-4 tabung gas ukuran 3 kilogram untuk masak, sekarang paling hanya sedia 1-2 tabung untuk jaga-jaga kalau api dari biogas ini kecil atau mati,” ujar Sartini.
Sartini menyampaikan, meski kadang nyala api cenderung kecil saat dipakai bersamaan dengan tetangganya, biogas ini bisa menghemat pengeluarannya. Dengan harga tabung gas 3 kilogram Rp 20.000-Rp 22.500, setidaknya dia bisa menghemat Rp 40.000 sampai Rp 60.000 per bulan.
”Uangnya lumayan bisa dipakai buat lainnya misalnya buat ongkos ke pasar,” kata Sartini yang sehari-hari berjualan ikan goreng di Pasar Mandiraja.
Dari pemberitaan Kompas, pemanfaatan energi baru terbarukan yang ramah lingkungan terus didorong mengingat kian menipisnya energi berbasis fosil. Dalam webinar ”Renewable Energy: Siapkah Indonesia Tanpa Energi Fosil”, Ketua Institut Bisnis dan Ekonomi Kerakyatan Tri Mumpuni menyebutkan, penggunaan energi baru terbarukan merupakan bentuk demokratisasi energi karena pembangkit listrik EBT kerap berskala kecil dan dikelola masyarakat (Kompas, 3/3/2021).
Masih dalam diskusi yang sama, Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo menyebutkan, di seluruh Jawa Tengah ditaksir ada sumber energi panas bumi dengan daya total 1,3 gigawatt dan pembangkit listrik tenaga air (PLTA) 386 megawatt. Dengan lebih dari 300.000 ekor hewan ternak, Jawa Tengah juga bisa mengembangkan listrik dari biogas. Selain itu, ada pula potensi dari surya (PLTS) dan angin/bayu (PLTB). Ada rencana pembangunan PLTB berdaya total 120 MW di Tegal dan PLTS terapung di sejumlah waduk di Jateng (Kompas, 3-3-2021).
Dari Kampung Silembu, Banjarnegara, meski masih skala kecil, pemanfaatan biogas ini memberikan harapan akan keberlanjutan ikhtiar mewujudkan mandiri energi lewat energi baru terbarukan. Ada hemat energi dari biogas kotoran sapi.