Terinspirasi Dimas Kanjeng, Pria Lulusan SD di Sultra Tipu Belasan Warga Hingga Ratusan Juta
Terinspirasi Dimas Kanjeng, seorang pria paruh baya yang hanya lulusan SD menipu sejumlah warga di Konawe Selatan, Sultra. Berdalih bisa menggandakan uang, pelaku meraup hingga ratusan juta rupiah dari korbannya.
Oleh
SAIFUL RIJAL YUNUS
·4 menit baca
KENDARI, KOMPAS — Seorang pria lulusan sekolah dasar menggandakan uang dengan menggunakan uang palsu di Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara. Pelaku yang menjalankan aksi selama lima tahun terakhir mengaku terinspirasi Dimas Kanjeng hingga berhasil mengumpulkan Rp 237 juta. Pelaku diancam dengan hukuman maksimal tujuh tahun penjara.
Aparat kepolisian Polda Sulawesi Tenggara menangkap seorang pria paruh baya, S (50), di Desa Arongo, Landono, Konawe Selatan. Pelaku teridentifikasi melakukan praktik penipuan dengan modus penggandaan uang dengan uang palsu.
Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Sultra Ajun Komisaris Besar Bambang Wijanarko menyampaikan, pihaknya mendapatkan informasi adanya praktik penipuan dengan memakai uang palsu di wilayah Konawe Selatan. Setelah melakukan penyelidikan, tim lalu diturunkan untuk menangkap S di kediaman pelaku pada Rabu (8/9/2021) dini hari.
”Kami lalu melakukan penggeledahan juga di sebuah gubuk di tengah sawah yang menjadi tempat pelaku melakukan penipuan. Gubuk ini menjadi kedok pelaku dalam melakukan ritual penggandaan uang,” ucap Bambang, di Kendari, Sultra, Kamis (9/9/2021).
Di gubuk tersebut, kata Bambang, ditemukan lembaran uang palsu pecahan Rp 100.000 sebanyak 1.002 lembar. Sejumlah barang bukti lain turut disita, seperti satu sisir pisang, pelepah pisang, dan kain kafan. Barang-barang ini digunakan pelaku untuk metode ritual agar menyakinkan korbannya.
Pelaku S, yang juga dikenal sebagai orang yang bisa mengobati penyakit, menjalankan aksi sejak 2016 lalu. Ia mengiming-imingi korban bisa menggandakan uang setelah menyarahkan sejumlah uang.
Menurut Bambang, pelaku meminta seorang korban lainnya mencetak uang palsu pecahan Rp 100.000. Lembaran ini diyakini bisa berubah menjadi uang asli dalam jumlah banyak jika melakukan ritual sesuai yang pelaku perintahkan.
Setiap korban diberikan satu bungkusan dus yang harus ditanam. Dus tersebut berisi lembaran daun, minuman kemasan, dan kain yang di atasnya ditumpuk lembaran uang palsu. Pelaku meyakinkan korban untuk tidak membuka dus hingga waktu tertentu.
”Sejauh ini kami temukan ada 14 warga yang menjadi korban penipuan pelaku. Dari belasan warga ini, kami telah mengambil keterangan dari delapan orang, dengan kerugian Rp 237 juta,” katanya.
Praktik penipuan yang dilakukan pelaku, Bambang menambahkan, terinspirasi dari Taat Pribadi atau yang lebih dikenal dengan nama Dimas Kanjeng. Pelaku yang memiliki empat orang istri ini belajar dari tontotan di televisi dan informasi yang ia terima. Sementara itu, uang hasil penipuan digunakan untuk kebutuhan rumah tangganya sehari-hari.
Kasus Taat Pribadi mengemuka saat ia ditangkap Kepolisian Daerah Jawa Timur pada 22 September 2016. Ia diduga terlibat penipuan dan pembunuhan.
Taat juga diduga terlibat penipuan karena menjanjikan untuk menggandakan uang milik santrinya. Faktanya, sebagian santri hingga saat ini belum menerima imbal balik uang yang telah mereka setorkan kepada Taat Pribadi.
Kepala Bidang Humas Polda Sultra Komisaris Besar Ferry Walintukan menyampaikan, pelaku diancam dengan Pasal 36 Ayat 1, 2, 2 Undang-Undang Mata Uang dengan ancaman hukuman maksimal 15 tahun penjara. Pelaku juga diancam dengan Pasal 378 KUHP tentang penipuan dengan Ancaman maksimal tujuh tahun penjara.
”Kami juga mengimbau masyarakat yang pernah berurusan dengan pelaku agar melaporkan kejadian ini kepada aparat setempat. Dan bagi masyarakat lainnya untuk tidak percaya dengan praktik penggandaan uang yang ditawarkan oleh siapa pun,” kata Ferry.
Secara kultural, masyarakat Indonesia tumbuh sekaligus dalam tiga sistem, yakni keyakinan agama, kepercayaan tradisional, dan sistem ilmiah. Ketiga hal ini bertabrakan dan ada dalam setiap orang Indonesia.
Sosiolog Universitas Brawijaya, Anton Novenanto, dalam program Satu Meja di Kompas TV, Senin (10/10/2016), melihat fenomena penggandaan uang secara mistis ini dari kacamata struktural dan kultural. Ketika secara struktural negara tak mampu memberikan kepastian pada hidup dan nasib warganya, uanglah alat untuk mempermudah dan membeli segala hal.
”Jalan tol” untuk menjadi anggota TNI/Polri atau PNS bahkan menikmati berbagai kemudahan hidup memerlukan uang tak sedikit. Para penipu dan dukun pengganda uang memanfaatkan celah ini.
Di satu sisi, secara kultural, masyarakat Indonesia tumbuh sekaligus dalam tiga sistem, yakni keyakinan agama, kepercayaan tradisional, dan sistem ilmiah. Ketiga hal ini bertabrakan dan ada dalam setiap orang Indonesia.
Akibatnya, seorang akademisi sekalipun bisa dengan mudah memercayai hal-hal yang bersifat mistis. Berbeda di Eropa, masyarakatnya tumbuh dalam sistem dengan tahapan-tahapan terpisah, dari sistem religius, kemudian ke sistem metafisik, dan kini sistem ilmiah. Oleh karena itu, tidak ada kerancuan atau kebingungan ketika harus memilah antara hal-hal mistis, religius, dan ilmiah (Kompas, Rabu, 12/10/2016).