Keterlibatan Milenial dalam Sektor Pertanian Sangat Krusial
Keterlibatan kaum milenial dalam pengembangan sektor pertanian di Indonesia masih belum optimal. Padahal, sektor ini berkontribusi besar dalam memperkuat perekonomian daerah bahkan nasional.
Oleh
RHAMA PURNA JATI
·4 menit baca
PALEMBANG, KOMPAS — Keterlibatan kaum milenial dalam pengembangan sektor pertanian di Indonesia masih belum optimal. Padahal, sektor ini berkontribusi besar dalam memperkuat perekonomian daerah bahkan nasional. Kurangnya sosialisasi dan belum munculnya sosok panutan (role model) di bidang pertanian menjadi alasan mengapa fenomena tersebut masih terjadi.
Hal ini mengemuka dalam dialog yang digelar Bank Indonesia Sumatera Selatan bekerja sama dengan salah satu platform bisnis dan UMKM berbasis Pertanian di Sumatera Selatan, Kulaku, Kamis (9/9/2021). CEO Kulaku Indonesia Mustopa Patapa mengatakan, keterlibatan kaum milenial dalam sektor pertanian di Indonesia masih sangat kecil. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik, pada tahun 2019, dari total petani di Indonesia yang berjumlah sekitar 33,4 juta orang, 91 persen di antaranya merupakan petani yang berusia di atas 40 tahun.
Hal ini tentu harus menjadi perhatian karena sektor pertanian merupakan sektor yang krusial dalam mendorong perekonomian nasional dan daerah. Banyak kaum milenial yang tidak tertarik menjadi petani karena masih adanya stigma kalau menjadi petani tidak menghasilkan banyak uang.
Melihat hal ini, ujar Mustopa, setiap pemangku perlu berkolaborasi untuk melakukan sosialisasi sehingga banyak anak muda yang tertarik menjadi petani. Kulaku sebagai perusaan start up telah memulainya yakni dengan menggandeng petani kelapa di Sumsel untuk menghasilkan produk turunan yang bernilai jual tinggi.
Menurut dia, kaum milenial dapat memberikan kontribusi dalam hal pengembangan produk pertanian tidak hanya sebatas ”mentahan”, tetapi juga dapat diolah ke beragam produk turunan. Melalui Kulaku, Mustopa menawarkan beragam turunan dari kelapa, yakni minyak kelapa murni dan briket. Beberapa produk turunan pun telah masuk ke pasar ekspor.
Selain itu, Mustopa sedang mengembangkan aplikasi yang nantinya akan digunakan bagi petani milenial untuk dapat memasarkan produknya. ”Sekarang sedang dalam tahap pengerjaan. Semoga dalam waktu dekat dapat terealisasi,” ujarnya.
Kepala Subkoordinator Pemasaran Internasional Direktorat Jenderal Pekebunan Kementerian Pertanian Fauzan Ridha mengatakan, peluang produk pertanian untuk masuk ke pasar ekspor kian tinggi. Apalagi saat ini Kementerian Pertanian memiliki program gerakan tiga kali lipat ekspor produk pertanian. Dari yang semula Rp 400 triliun-Rp 500 triliun per tahun menjadi Rp 1.000 triliun-Rp 1.200 triliun per tahun dengan mendorong 14 komoditas pertanian dan perkebunan.
Ada dua komoditas yang dinilai bisa mandiri, yakni karet dan kelapa sawit. Ada juga komoditas yang masih dalam pengembangan, seperti kelapa, kakao, dan rempah, serta komoditas inisiasi ekspor, seperti asiri, nilam, dan sagu.
Fauzan menjelaskan, pengembangan produk pertanian berbasis ekspor ini perlu keterlibatan anak muda yang memiliki kemampuan di bidang agrikultur karena pengembangan produk pertanian perlu dimulai dari hulu hingga hilir. Untuk di hulu seperti pengembangan benih dan pengolahan lahan. Sementara untuk di hilir yakni pengolahan pascapanen hingga pemasaran.
Peluang yang sama juga ada di tingkat regional, Kepala Kantor Perwakilan Bank Indonesia Sumatera Selatan Hari Widodo menuturkan, sektor pertanian berkontribusi besar dalam mendorong perekonomian daerah. Di Sumsel, sektor pertanian berkontribusi 17,7 persen dari produk domestik regional bruto di Sumsel.
Memang masih ada beberapa kendala yang dihadapi, seperti kurangnya edukasi kepada petani untuk menghasilkan produk turunan dari komoditas yang mereka produksi. Karena itu, perlu ada pengembangan kemampuan sumber daya manusia secara berkelanjutan. ”Karena jika kita hanya menjual bahan mentah, keuntungan akan diperoleh negara lain,” kata Hari.
Selain itu, inovasi teknologi pertanian dan budidaya juga masih minim. Padahal, Indonesia memiliki potensi yang luar biasa baik dari sumber daya alam maupun ketersediaan infrastruktur. ”Indonesia diberkahi banyak keuntungan demografi dan sumber daya alam,” ujarnya.
Ia optimistis jika keterlibatan kaum muda di sektor pertanian terus diperkuat, Indonesia dapat berbicara banyak di kancah internasional. Banyak negara maju di dunia yang berbasis pertanian, seperti Selandia Baru dan Belanda, bisa menyejahterakan rakyatnya dari sektor pertanian walau memiliki keterbatasan sumber daya alam.
Karena pada hakikatnya, pembangunan harus ditopang oleh kesejahteraan, kesejahteraan ditopang oleh ketahanan pangan, dan ketahanan pangan ditopang dengan pertanian. ”Kalau negara lain bisa, Indonesia pasti bisa,” ujar Hari.
Pegiat media sosial, Reza Pahlevi, berpendapat, kurangnya minat kaum milenial untuk menjadi petani karena belum adanya sosok kuat yang merepresentasikan diri sebagai idola di bidang pertanian.
Kalau negara lain bisa, Indonesia pasti bisa.
Dia mencontohkan beberapa sektor yang memiliki panutan, seperti di bidang pendidikan ada Nadiem Makarim, bidang hiburan ada Youtuber seperti Atta Halilintar atau Deddy Corbuzier, atau di bidang perdagangan e-commerce ada William Tanuwijaya sebagai pemilik Tokopedia. ”Sementara di bidang pertanian belum terlihat sosok panutan itu,” katanya.
Karena itu, keberadaan duta pertanian ini sangat penting untuk menghapus stigma bahwa menjadi petani hanya berkutat pada membajak sawah, bermain sama kerbau, atau lainnya. Padahal, menjadi petani berbuat lebih dari itu, yakni bisa masuk ke dalam bisnis berbasis digital bahkan ekspor yang tentu lebih sesuai dengan minat anak muda masa kini.
Menurut Reza, menjadi petani di masa sekarang sangatlah menguntungkan karena memiliki pasar yang luas disokong kemajuan teknologi, apalagi Indonesia sebagai negara agraris memiliki potensi yang cukup besar. ”Kita punya lahan yang besar, tetapi kenapa anak muda tidak tertarik untuk menggarap lahan yang ada,” katanya.