Kenaikan Tarif Cukai Hasil Tembakau Diminta Ditunda agar Industri Bisa Pulih
Pelaku industri di Jatim meminta penundaan kenaikan cukai hasil tembakau tahun 2022 agar mereka berkesempatan memulihkan kinerjanya. Selain itu, pemerintah diminta lakukan harmonisasi regulasi agar iklim usaha kondusif.
Oleh
RUNIK SRI ASTUTI
·5 menit baca
SIDOARJO, KOMPAS — Rencana kenaikan cukai hasil tembakau sebesar 11 persen pada tahun depan dinilai memberatkan pelaku industri yang dua tahun belakangan ini terimplikasi pandemi Covid-19. Kondisi tersebut semakin diperparah dengan penetapan regulasi yang tak melibatkan pelaku industri dalam proses pembahasannya.
Pelaku industri di Jawa Timur meminta penundaan kenaikan cukai hasil tembakau tahun 2022 agar mereka berkesempatan memulihkan kinerjanya. Selain itu, pemerintah diminta melakukan harmonisasi regulasi, termasuk menghentikan perumusan kebijakan yang berpotensi mematikan industri hasil tembakau (IHT).
Sekretaris Asosiasi Pengusaha Rokok Sidoarjo (Apersid) Amin Wahyu Hidayat mengatakan, rencana kenaikan tarif cukai hasil tembakau sebesar 11 persen berdampak signifikan pada kinerja industri. Alasannya, tarif cukai berkontribusi sebesar 70 persen pada biaya pokok produksi di pabrikan berskala industri kecil menengah (IKM), sedangkan biaya bahan baku hanya 30 persen.
”Dengan naiknya tarif cukai, praktis biaya produksi menjadi lebih tinggi. Kenaikan biaya produksi berpengaruh pada harga jual eceran (HJE). Dampaknya, volume pemasaran produk terancam turun, apalagi daya beli masyarakat masih lemah akibat terdampak pandemi Covid-19,” ujar Amin, Kamis (9/9/2021).
Dengan adanya penundaan kenaikan tarif cukai pada 2022 nanti, pelaku usaha berkesempatan memulihkan kinerjanya yang selama pandemi terus menurun. Pemulihan (recovery) usaha ini penting karena tantangan yang dihadapi industri hasil tembakau semakin besar dan beragam.
Selain kenaikan cukai, industri rokok harus menghadapi tekanan regulasi dan persaingan pasar yang tidak sehat akibat maraknya peredaran rokok ilegal. Kehadiran rokok ilegal, baik tanpa dilekati pita cukai, dilekati pita cukai palsu, atau dilekati pita cukai tidak sesuai peruntukan, menggerus pangsa pasar rokok legal. Hal itu karena selisih harga yang mencapai 50 persen.
Terkait regulasi, Amin mengatakan, industri rokok skala kecil dan menengah terkendala dengan ketentuan tempat usaha yang mensyaratkan luas minimal 200 meter persegi. Selain itu, ketentuan perundang-undangan yang memasukkan tembakau dalam kategori zat adiktif seperti halnya narkoba juga menjadi persoalan tersendiri.
Secara terpisah, Ketua Umum Kadin Jatim Adik Dwi Putranto mengatakan, IHT berkontribusi cukup besar terhadap perekonomian Jatim dan nasional. Dari sisi hulu, yakni usaha perkebunan tembakau dan cengkeh, banyak menggerakkan ekonomi petani. Sementara di sisi hilir, yakni pabrik pengolahan tembakau dan cengkeh hingga jaringan ritel atau pemasaran, banyak menyerap tenaga kerja lokal.
”Selain itu, IHT di sektor hulu dan hilir sama-sama secara konsisten berkontribusi pada penerimaan negara, mulai dari tingkat pusat hingga daerah, melalui dana bagi hasil cukai hasil tembakau. Industri ini juga turut serta dalam upaya penciptaan nilai tambah ekonomi di daerah,” ujar Adik.
Adik mengatakan, IHT menjadi sumber pemasukan cukai hasil tembakau, pajak rokok daerah, dan PPN (Pajak Pertambahan Nilai) atas produk tembakau yang pada tahun 2020 secara nasional mencapai lebih dari Rp 200 triliun. Sektor ini juga menggerakkan ekonomi lokal karena bersama-sama dengan industri lainnya menyumbang sekitar 30 persen dari produk domestik regional bruto (PDRB) Jawa Timur.
Oleh karena itu, Kadin Jatim meminta pemerintah kembali memikirkan dampak yang akan ditimbulkan ketika cukai mengalami kenaikan sebesar 11 persen di tahun 2022. Terlebih dengan empasan pandemi Covid-19 yang terjadi sejak tahun lalu yang mengakibatkan sektor IHT mengalami pertumbuhan negatif.
Dia menjelaskan, pertumbuhan sektor IHT tercatat minus 5,78 persen sepanjang tahun 2020. Penurunan terbesar terjadi pada kuartal II-2020 sebesar minus 10,84 persen ketika adanya kebijakan pembatasan sosial berskala besar (PSBB). Penurunan pertumbuhan tersebut juga dipengaruhi oleh adanya kenaikan tarif cukai yang mencapai 23 persen yang mengakibatkan HJE naik rata-rata 35 persen di tahun yang sama.
Dengan naiknya tarif cukai, praktis biaya produksi menjadi lebih tinggi. Kenaikan biaya produksi berpengaruh pada harga jual eceran.
Kinerja IHT diprediksi akan kembali turun 7-10 persen pada tahun ini karena pandemi Covid-19 yang tak kunjung teratasi sehingga mendorong pemerintah kembali melakukan pembatasan kegiatan melalui kebijakan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM). Kondisi tersebut semakin diperparah dengan kenaikan tarif cukai yang rata-rata mencapai 12,5 persen.
Menurut Adik, industri yang saat ini sedang menghadapi tantangan luar biasa untuk mempertahankan usahanya tersebut merupakan sektor padat karya yang mampu menyerap banyak tenaga kerja. Namun, di tengah operasional industri yang harus menghadapi beban demi memastikan kelangsungan ketersediaan lapangan pekerjaan, mereka juga menanggung beban operasional besar untuk pelaksanaan protokol kesehatan.
Dengan naiknya tarif cukai, praktis biaya produksi menjadi lebih tinggi. Kenaikan biaya produksi berpengaruh pada HJE ”Harmonisasi regulasi, termasuk menghentikan perumusan regulasi yang tujuannya mematikan IHT, seperti rencana revisi PP No 109/2012 harus dilakukan,” ujar Adik.
Regulasi itu sejatinya telah mengatur IHT secara komprehensif apabila diimplementasikan secara tertib dan diawasi secara tegas. Terkait rencana revisi PP No 109/2012 itu sendiri, pelaku industri tidak dilibatkan dalam proses pembahasannya.
Di sisi lain, pemerintah harus mempertimbangkan dampak keterpurukan sektor IHT terhadap tingkat serapan industri pada komoditas tembakau yang dihasilkan petani. Tingkat kesejahteraan petani tembakau terancam menurun jika serapan industri rendah. Usaha ritel juga terpengaruh jika pemasaran produk turun.
Untuk kemajuan industri dan ekonomi Jatim, Kadin Jatim siap berkontribusi dan memberikan masukan yang terbaik kepada pemerintah pusat dan daerah. Pihaknya bekerja sama mendukung kebijakan pemerintah dalam hal pengendalian Covid-19 dan upaya-upaya pemulihan ekonomi nasional, termasuk mendorong program vaksinasi gotong royong di Jawa Timur.
Adapun upaya yang ditempuh Kadin Jatim ialah dengan menyampaikan permohonan secara tertulis kepada Presiden Joko Widodo. Surat permohonan itu telah dikirimkan pada Selasa (7/9/2021) dan harapannya segera ditindaklanjuti mengingat terdapat 425 perusahaan yang bergerak di sektor IHT di Jatim dengan jumlah tenaga kerja sekitar 800.000 orang.
IHT menyumbang pendapatan cukai hasil tembakau secara nasional Rp 172 triliun. Dari jumlah tersebut, Jatim memberi kontribusi Rp 101 triliun atau sekitar 58 persennya.