Dugaan Pelanggaran Tambang di Sultra Timbulkan Kerugian Negara Rp 495 Miliar
Kerugian negara dalam kasus dugaan pelanggaran terkait aktivitas pertambangan PT Toshida Indonesia di Kabupaten Kolaka, Sulawesi Tenggara, ditengarai mencapai Rp 495 miliar.
Oleh
SAIFUL RIJAL YUNUS
·4 menit baca
KENDARI, KOMPAS — Kerugian negara dalam kasus dugaan pelanggaran terkait aktivitas pertambangan PT Toshida Indonesia di Kabupaten Kolaka, Sulawesi Tenggara, ditengarai mencapai Rp 495 miliar. Pihak kejaksaan sedang menelusuri aliran dana yang diduga kuat mengalir ke sejumlah orang tersebut. Kejaksaan Tinggi Sultra pun diminta mengusut kasus ini dengan seterang-terangnya hingga tuntas.
”Berdasarkan laporan dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Sultra, diuraikan adanya penyimpangan dana yang menimbulkan kerugian negara Rp 495.216.631.168,83. Nilai ini berdasarkan dua hal, yaitu nilai pajak IPPKH yang tidak dibayarkan dan penjualan ore nikel meski IPPKH telah dicabut,” kata Asisten Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Tinggi Sultra Setyawan Nur Chaliq di Kendari, Kamis (9/9/2021).
IPPKH adalah izin pinjam pakai kawasan hutan. Kerugian negara ini, menurut Setyawan, timbul akibat perusahaan yang tidak menunaikan kewajiban dan tetap melakukan penjualan ore (bijih) nikel meski IPPKH telah dicabut.
Berdasarkan dokumen, PT Toshida Indonesia memiliki Izin Usaha Pertambangan (IUP) nikel sejak 2007 dan telah memiliki IPPKH pada 2009. Akan tetapi, sejak 2010 hingga 2019, perusahaan diketahui tidak pernah membayar kewajiban dalam pemanfaatan IPPKH tersebut, yang dalam perhitungan BPKP Sultra senilai Rp 151 miliar.
Nilai ini seharusnya menjadi Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) atas pemanfaatan IPPKH. Pada akhir 2019, pemerintah lalu mencabut IPPKH perusahaan yang berimplikasi luas, termasuk tak bisa lagi beraktivitas dalam kawasan hutan.
Namun, dalam kurun 2019 hingga Mei 2021, Setyawan melanjutkan, perusahaan diketahui tetap melakukan aktivitas penambangan hingga penjualan ore nikel. Nilai kerugian negara dari aktivitas tersebut Rp 343 miliar.
”Dalam pengurusan dokumen Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB), diduga kuat ada tindakan suap yang dilakukan perusahaan kepada pejabat di Dinas ESDM Sultra. Kami telah memersangkakan dua orang, yaitu BHR dan YSM, masing-masing mantan Pelaksana Tugas Kepala Dinas ESDM Sultra dan mantan Kepala Bidang Minerba ESDM Sultra,” tuturnya.
Selain kedua pihak ini, dua orang lainnya juga telah ditetapkan tersangka, yaitu LSO dan UMR, yang merupakan direktur utama dan manajer di PT Toshida Indonesia. Keempat tersangka dijerat dengan Pasal 2 dan 3 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi dengan hukuman maksimal 20 tahun penjara. Dalam perjalanannya, LSO yang mengajukan praperadilan diterima oleh majelis hakim pada Juli lalu.
Nilai suap yang sementara diketahui, ucap Setyawan, berkisar Rp 100 juta. Sejumlah pihak juga telah melakukan pengembalian dana terkait dugaan penyuapan ini. Meski demikian, penyidik tetap melakukan penelusuran lainnya berkaitan kasus ini.
Asisten Intelijen Kejati Sultra Noer Adi menyampaikan, pihaknya telah bekerja sama dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) untuk mengusut kasus ini. Sebab, kuat dugaan ada aliran dana ke beberapa orang dari ratusan miliar rupiah kerugian negara.
”Kami belum bisa sebutkan detailnya karena masih dalam ranah penyidikan dan pengembangan kasus. Yang jelas, ada perbuatan melawan hukum lain yang masih satu rangkaian dengan kasus utamanya,” kata Adi.
Bukti yang ditampilkan dalam sidang itu juga bukti terkait perkara gratifikasi, padahal pasal yang disangkakan adalah pasal terkait korupsi.
Terkait LSO yang tidak lagi menjadi tersangka, Adi mengatakan, pihaknya telah menerbitkan penyelidikan umum terhadap yang bersangkutan. Namun, empat kali pemanggilan, LSO tidak pernah memenuhi undangan.
Safril Partang, pengacara yang mendampingi LSO dalam sidang praperadilan, menjelaskan, dalam penetapan tersangka terhadap kliennya ada beberapa hal yang tidak prosedural. Hal ini mulai dari pemanggilan hingga pencekalan. Tidak hanya itu, dengan dugaan perkara korupsi yang disangkakan, penyidik harusnya menyertakan audit kerugian negara yang dilakukan oleh instansi terkait.
”Bukti yang ditampilkan dalam sidang itu juga bukti terkait perkara gratifikasi, padahal pasal yang disangkakan adalah pasal terkait korupsi, jadi tidak nyambung. Namun, kami hanya bisa menyampaikan terkait hal itu karena kami hanya mendampingi di sidang praperadilan,” tutur Safril.
Hariman Satria, pengamat hukum dari Universitas Muhammadiyah Kendari, berharap pihak kejaksaan betul-betul mengusut kasus korupsi bidang perizinan ini hingga ke akar-akarnya. Sebab, selama belasan tahun lamanya, sektor ini menjadi bancakan banyak pihak meski baru ditindak saat ini.
Terkait perkara PT Toshida Indonesia ini, tutur Hariman, kejaksaan seharusnya melakukan langkah lebih jauh terhadap LSO karena perkara pokok tidak berhenti. Terlebih lagi dengan adanya audit dari BPKP yang menjadi dasar penghitungan kerugian negara. Hanya saja, jaksa harus mengikuti pedoman dalam penyelidikan hingga penyidikan agar proses yang diikuti sesuai aturan.
Tidak hanya itu, dia menambahkan, dengan dugaan adanya suap-menyuap, kejaksaan harusnya lebih berani menerapkan pasal lain dalam status para tersangka, baik itu Pasal 5 maupun Pasal 12B UU Tindak Pidana Korupsi.
Hariman menyatakan, ”Bagaimana mungkin RKAB bisa keluar jika memang belum membayar PNBP? Kalau keluar selama bertahun-tahun, tentu patut diduga ada unsur korupsi di situ. Di situ yang harus ditelusuri aliran uangnya ke mana, siapa penerima, hingga benar-benar tuntas. Seorang kadis atau kabid tentu patut diduga tidak bekerja sendiri.”