Simalakama Industri Logam, Jadi Pemenang atau Pecundang
Industri logam menghadirkan dilema bagi warga di Kabupaten Tegal, Jateng. Bagai buah simalakama, meski mengangkat ekonomi, lokasi-lokasi pengecoran logam juga menghasilkan limbah berbahaya yang menggerus kualitas hidup.
Sekian lama industri logam telah menghadirkan dilema bagi warga di Kabupaten Tegal, Jawa Tengah. Meski mengangkat derajat hidup masyarakat, lokasi-lokasi pengecoran logam juga menghasilkan limbah berbahaya yang menggerus kualitas hidup mereka.
”Air-air! Airnya Bu, airnya Pak!” seru penjual air keliling. Suara itu langsung disambut oleh langkah tergesa dari kaki Syuud (40), warga Desa Pesarean, Kecamatan Adiwerna, Kabupaten Tegal, suatu pagi, akhir Juni lalu.
Pagi itu, Syuud membeli lima jeriken yang masing-masing berisi 25 liter air. Dengan membayar Rp 15.000, kebutuhan air untuk makan dan minum keluarga Syuud akan terpenuhi selama lima hari.
Setidaknya 15 tahun terakhir, Syuud dan keluarganya sudah tidak bisa lagi memanfaatkan air dari sumur tanah di rumahnya untuk keperluan konsumsi. Sebab, air tersebut telah tercemar limbah bahan berbahaya dan beracun (B3) dari industri logam di desanya.
”Saat baru diambil dari sumur, air itu bening. Kalau didiamkan selama 1-2 jam, air sumur akan menjadi keruh lalu menghitam. Jadi, kami memutuskan tidak mengonsumsinya, takut berpengaruh pada kesehatan. Paling-paling cuma bisa buat mandi dan mencuci,” kata Syuud.
Pada 2012, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan bersama dengan Universitas Padjadjaran Bandung melakukan studi geologi dan hidrogeologi untuk kontaminasi air tanah di Desa Pesarean. Hasilnya, air tanah di desa itu telah tercemar limbah tembaga (Cu), besi (Zn) dan timbal (Pb).
Tidak hanya Syuud yang tinggal sekitar 120 meter dari gunungan limbah B3 atau dumpsite, kondisi itu juga dialami sekitar 3.500 keluarga di berbagai wilayah di Desa Pesarean. Sebab, luas wilayah penyebaran air tanah terkontaminasi unsur tembaga diperkirakan mencapai 43.903 meter persegi. Adapun luas kontaminasi unsur besi mencapai 55.885,33 meter persegi.
Baca Juga: Terancam Lesu, IKM Logam Tegal Berencana Rumahkan Sebagian Karyawan
Selain mengontaminasi air tanah, pencemaran limbah B3 juga mengganggu kesehatan. Hasil penelitian terkait dampak limbah B3 terhadap kesehatan masyarakat yang dilakukan Dinas Kesehatan Kabupaten Tegal menunjukkan, masyarakat yang terpapar limbah B3 memiliki risiko gangguan kesehatan, di antaranya, infeksi saluran pernapasan akut (ISPA), gangguan fungsi ginjal, hati, penurunan vertilitas, dan retardasi mental pada bayi yang dikandung.
Ruroh (53), adalah salah satu warga yang ikut terdampak dari segi kesehatan. Ibu tiga anak itu terpapar limbah B3 akibat bekerja sebagai penjual limbah B3 yang berbentuk abu sekitar 10 tahun lalu.
Ruroh biasanya mengumpulkan abu-abu limbah B3 itu ke dalam karung dan menjualnya dengan berkeliling ke perusahaan-perusahaan pengolah limbah. Saat bekerja, ia tak pernah memakai masker.
Sepanjang aktivitas pengecoran logam, asap hitam tebal menyelimuti lingkungan sekitar hingga masuk ke dalam rumah Ruroh. Selain membuat dada sesak, asap itu juga membuat matanya pedih dan berair.
”Saya dulu rutin, seminggu tiga kali jualan abu (limbah B3). Abunya saya gendong keliling desa. Waktu itu masih belum tahu kalau ternyata abu itu bisa berdampak buruk pada kesehatan organ pernapasan,” tuturnya.
Tak hanya terpapar melalui pekerjaannya sebagai penjual abu limbah, Ruroh juga terpapar limbah B3 karena rumahnya diimpit dua bangunan yang sehari-hari digunakan mengecor logam. Sepanjang aktivitas pengecoran logam, asap hitam tebal menyelimuti lingkungan sekitar hingga masuk ke dalam rumah Ruroh. Selain membuat dada sesak, asap itu juga membuat matanya pedih dan berair. Beruntung, kini, dua tempat usaha pengecoran logam itu sudah direlokasi.
Angkat ekonomi
Kendati membawa dampak buruk bagi kesehatan warga, industri logam tak dimungkiri juga telah mengangkat perekonomian warga. Tak terkecuali keluarga Syuud dan Ruroh. Syuud, misalnya, bisa mewujudkan cita-citanya membuka usaha pada 2017, setelah bekerja dengan orang lain selama bertahun-tahun.
Dulu, Syuud diupah sekitar Rp 1,5 juta per bulan dari pekerjaannya mengecor logam. Uang itu ia kumpulkan hingga cukup untuk membuka usaha pengecorannya sendiri. Lewat usaha mandirinya itu, dia menghasilkan sedikitnya Rp 6 juta per bulan. ”Sehari-hari saya memproduksi aksesoris sepeda motor. Produknya saya jual ke toko-toko onderdil atau bengkel,” ucap Syuud.
Hasil dari berjualan aksesoris sepeda motor itu dipakai Syuud untuk mencukupi kebutuhan keluarga, termasuk merenovasi rumah. Tak hanya mengangkat ekonomi keluarga, melalui usaha itu, Syuud juga membuka lahan pekerjaan seorang tetangganya yang semula menganggur.
Sementara itu, Ruroh yang memperoleh Rp 15.000-Rp 30.000 dari hasil penjualan satu karung limbah juga bisa membantu suaminya mencukupi kebutuhan keluarga. Bahkan, ia bisa menyekolahkan anak-anaknya hingga tamat sekolah menengah kejuruan.
Di Desa Pesarean, ada sekitar 100 industri logam skala rumahan. Di tempat-tempat tersebut, sekitar 1.200 pekerja menggantungkan hidup. Untuk menyelamatkan warga dari bahaya paparan limbah B3 sekaligus menjamin keberlangsungan usaha, Pemkab Tegal melakukan relokasi industri.
Sekitar 2010, sebanyak 80 unit usaha pengecoran logam di Pesarean dipindah ke Perkampungan Industri Kecil Kebasen di Kecamatan Dukuhturi dan Lingkungan Industri Kecil Takaru di Kecamatan Kramat. Adapun 20 unit usaha sisanya masih bertahan di Pesarean hingga saat ini.
”Dalam relokasi itu memang tidak semua unit usaha langsung bisa dipindahkan. Tetapi, paling tidak, sebagian besar sudah pindah. Sehingga, polusi udara juga bisa berkurang,” ujar Kepala Desa Pesarean Sujono.
Berdasarkan pantuan Kompas, sudah tidak ada lagi kepulan asap akibat proses pengecoran logam seperti beberapa tahun lalu, menurut cerita Ruroh. Kendati demikian, sejumlah gunungan limbah B3 yang sudah bercampur tanah terdapat di sejumlah lokasi seperti, tempat pemakaman umum, halaman rumah warga, dan jalan-jalan umum. Ironisnya, tak jauh dari gunungan-gunungan limbah itu, ada papan peringatan yang dipasang agar warga tidak membuang limbah B3 di tempat itu.
Menurut Sujono, gunungan-gunungan limbah B3 itu berasal dari pabrik pengolahan logam, baik di Desa Pesarean maupun daerah lain. Limbah-limbah itu sudah betahun-tahun menggunung hingga akhirnya menyatu dengan tanah.
Berdasarkan data Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Tegal, limbah B3 mengontaminasi lebih kurang 13.000 meter persegi lahan di Desa Pesarean. Tak hanya di Desa Pesarean, pencemaran lingkungan akibat limbah B3 juga terjadi di Kecamatan Margasari, tepatnya di Desa Karangdawa. Di wilayah itu, lahan yang terkontaminasi limbah B3 diperkirakan seluas 130.400 meter persegi.
Kepala Dinas Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Tegal Muchtar Mawardi menuturkan, lingkungan Desa Pesarean yang terkontaminasi limbah akan dipulihkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan melalui program restorasi ekosistem. Teknis restorasi yang ditargetkan rampung pada 2023 itu dimulai dari pengerukan limbah B3.
Baca Juga: Penanganan Limbah Pengolahan Logam Diperlukan
”Setelah dikeruk, tanah yang kosong akan diberi lapisan polietilena berdensitas tinggi (HDPE) kemudian diuruk menggunakan tanah baru. Dengan begitu, tanah yang baru tidak akan terkontaminasi dengan tanah di bawahnya,” tutur Muchtar
Limbah B3 yang telah dikeruk akan dibawa ke Karawang, Jawa Barat, untuk diproses sedemikian rupa menjadi bata merah. Setelah restorasi ekosistem selesai, Pemkab Tegal berencana menjadikan Desa Pesarean sebagai tempat wisata religi. Sebab, di desa itu terdapat makam Amangkurat I, raja Kesultanan Mataram yang memerintah tahun 1646-1677. Dengan tempat wisata, diharapkan tumbuh UMKM yang bisa menopang ekonomi warga yang bertahun-tahun mengakrabi limbah B3.
Simalakama industri logam pun diharapkan dapat berakhir, berganti dengan industri yang benar-benar menguntungkan warga serta berkesinambungan.