Menanti Kepastian Ruang Hidup untuk Gajah Sumatera
Gajah sumatera menjadi satu-satunya subspesies gajah di dunia dalam kategori paling terpuruk. Status konservasinya di titik kritis. Habitat menjadi kebutuhan paling mendesak untuk menyelamatkannya dari punah.
Kedatangan seekor bayi gajah di sekitar Pasar Taman Raja menggemparkan warga. Ketika hari beranjak sore, pasar mulai sepi, anak gajah itu muncul. Mengais-ngais sampah sayuran atau buah-buahan di dekatnya.
Sesekali ada warga melintasi jalan, si anak gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus) bergegas menjauh. Lari ke arah semak belukar. Tak sekalipun ia mengganggu manusia di sekitar pasar dan permukiman itu.
Kemunculan bayi gajah yang hanya mencari makan itu menumbuhkan rasa iba di hati Dalimin, warga setempat. ”Dia datang hanya mencari makanan, tak pernah mengganggu,” ujar Dalimin, Desa Taman Raja, Tungkal Ulu, Tanjung Jabung Barat, Jambi, Rabu (25/8/2021).
Yang saya takutkan kalau anak gajah ini ditembak pemburu
Ia pun kerap mengamati si bayi dari kejauhan. Jika tampak sekelompok anak remaja yang usil bermaksud mengganggu bayi itu, Dalimin lekas-lekas menegur mereka. Biasanya mereka langsung menurut.
Namun, kekhawatiran terbesarnya bukanlah anak-anak remaja tadi. ”Yang saya takutkan kalau anak gajah ini ditembak pemburu,” ujarnya.
Rasa iba bercampur sayang itu mendorong warga melaporkan keberadaan bayi gajah pada petugas Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Jambi. Warga menyarankan agar petugas segera menyelamatkannya, atau jika mungkin dapat mempertemukan dengan induknya.
Kepala Seksi III BKSDA Jambi, Faried, membenarkan bayi gajah itu tidak menjelajah sendirian. Namun, ia diperkirakan terpisah dari rombongan induknya.
Sekawanan gajah terdeteksi pernah melintas di sekitar Merlung, radius 10 kilometer dari Pasar Taman Raja. Hal itu didapati dari pantauan GPS Collar yang mengalungi salah satu induk dalam kawanan. Si anak gajah diperkirakan terpisah dari rombongan induknya setelah mengalami luka serius pada kaki kiri bagian depan. Luka itu disebabkan jerat babi.
Setelah mendapatkan laporan dari warga, tim dokter didatangkan. Selang beberapa waktu, penanganan medis mulai membuahkan hasil. Lukanya berangsur sembuh.
Bayi gajah kembali menjelajah wilayah sendirian. Sementara, hasil pantauan GPS Collar telah memonitor rombongan induk si gajah telah kembali ke jalur awal jelajah, yakni di lanskap Bukit Tigapuluh. Kabupaten Tebo. Sang induk dan bayinya kini terpaut dalam radius 60 kilometer.
Tim konservasi melihat kondisi anak gajah yang kerap berada dekat permukiman, jalan lintas, dan keramaian pasar, tidak cocok untuk tempat hidupnya. Apalagi bayi ini masih memerlukan pengasuhan induknya. Menjelajah sendirian di tengah keramaian bisa mengancam keselamatannya.
Atas dasar itulah, kata Kepala BKSDA Jambi Rahmad Saleh, perlu upaya penyelamatan. ”Akhirnya kami putuskan untuk translokasi bayi gajah, harapannya agar dapat bertemu rombongan induknya,” ujarnya.
Dari pasar itu, bayi gajah akan diangkut dalam truk untuk menuju lanskap Bukit Tigapuluh. Total perjalanan darat sejauh 120 kilometer. Jalurnya melintasi jalan lintas timur Sumatera, perkebunan sawit, hutan tanaman industri, sampai di penyangga Taman Nasional Bukit Tigapuluh.
Memindahkan gajah tentu bukan perkara mudah. Translokasi gajah di Sumatera selama ini memanfaatkan bantuan gajah captive sebagai pemandu. Didatangkan dari pusat-pusat pelatihan gajah yang ada di Riau atau Lampung. Proses itu selain membutuhkan dana besar juga memakan waktu berhari-hari lamanya. Itu pun belum tentu menjamin gajah selamat tiba di lokasi baru.
Dalam kasus translokasi gajah Karina, 2019 lalu, petugas berminggu-minggu menunggu di hutan. Tiap kali akan didekati untuk mendapatkan bius, Karina langsung menjauh. Saat berhasil didekati dan dibius, ia lalu dipindah ke dalam truk untuk menjalani translokasi. Gajah captive dikerahkan memandunya masuk ke dalam kawasan hutan di Sarolangun. Sayangnya, setiba dalam habitat, Karina mendadak rebah di tanah. Gajah berusia 45 tahun ini mati, diduga karena stres dan kelelahan.
Kendali tali
Dengan berbagai pertimbangan, tim akhirnya mengambil langkah translokasi tanpa gajah pemandu. Koordinator Tim Penyelamatan Bayi Gajah, Albert Tetanus, mengatakan upaya translokasi mengandalkan sepenuhnya manusia.
Tim memandu langsung gajah dengan memanfaatkan kendali tali. Teknik itu memungkinkan untuk memandu gajah kecil. Si bayi berusia lima tahun ini diperkirakan berbobot kurang dari 500 kilogram.
Formasi empat tim dibentuk. Dua tim di bagian depan dan belakang. Dua tim di bagian kiri dan kanan. Tim depan alias tim tarik bertugas menarik gajah dari depan. Jumlahnya 10 orang. Tim kendali kanan dan kiri masing-masing 3 orang. Mereka bertugas menjaga keseimbangan gajah sewaktu berjalan. Yang terakhir adalah tim dorong dan penahan, berjumlah 4 orang di belakang gajah.
Dengan bantuan pengulupan bius, gajah dipandu menuju truk, lalu dibawa menuju hutan penyangga Taman Nasional Bukit Tigapuluh. Selama perjalanan satu hari satu malam itu, tim dokter yang dipimpin drh Zulmanuddin pun terus mengecek kondisi kesehatannya.
Setibanya di pinggir hutan, kendaraan berhenti. Dalam kondisi masih terbius, gajah dipandu keluar. Tim kendali tali kembali bekerja mengatur langkahnya. Sampailah di salah satu titik dekat sungai, gajah berhenti.
Dokter lalu mengasup obat dan vitamin padanya. Lalu, seluruh tali dilepaskan. Gajah pun dibangunkan kembali dari bius. Sebentar kemudian, ia bangkit berdiri dan langsung melangkah menembus hutan.
Rahmad memperkirakan rombongan induk berada dekat dari situ. Jaraknya hanya 600 meter. Dua hari setelahnya, kamera pantau yang dipasang dalam hutan mendeteksi pergerakan sejumlah gajah melintas. Tampak pula seekor gajah kecil yang diperkirakan si bayi itu, ”Namun, kami masih akan terus pantau untuk memastikan lebih lanjut,” katanya.
Satu lanskap
Di masa lalu, wilayah Tebo dan Tanjung Jabung Barat merupakan satu lanskap jelajah gajah sumatera di Bukit Tigapuluh. Tahun 1980-an, masih terdapat 400-an gajah menjelajah dalam hutan seluas 650.000 hektar. Pada 2005, tutupan hutan menyusut menjadi 77 persen, lalu tahun 2010 tersisa 49 persen saja mencakup taman nasional, hutan produksi, dan sebagian kecil area penggunaan lain. Populasi gajah diperkirakan tinggal 140-an ekor.
Fragmentasi habitat menyebabkan kawanan itu sulit menembus hingga Tanjung Jabung Barat. Tercatat hanya 4 kali kedatangan gajah ke wilayah itu menjelang 2010. Tiga di antaranya merupakan gajah-gajah dispersal. Penjelajahan kawanan gajah induk dan bayi yang terkena jerat, sempat memunculkan kekhawatiran. Ada indikasi terjadi konflik ruang kelola.
Tekanan dalam habitatnya memicu kawanan gajah menjauh. ”Ini menjadi indikasi ada tekanan di ruang jelajah mereka di Tebo, sampai memaksa mereka harus menjelajah jauh ke Tanjung Jabung Barat,” katanya.
BKSDA dan Frankkfurt Zoological Society mencatat jejak konflik manusia dan gajah sumatera. Pada 2010, terpantau 96 konflik. Tiga tahun terakhir konflik kian parah. Pada 2018 terpantau 346 insiden, 2019 terpantau 190 insiden, dan 2020 lalu terpantau 276 insiden.
Badan Konservasi Dunia (IUCN) menetapkan gajah sumatera sebagai satu-satunya subspesies gajah di dunia yang berada dalam kategori paling terpuruk. Status konservasinya di titik kritis. Habitat menjadi kebutuhan mendesak untuk melindungi spesies itu dari kepunahan.
Sudah ada rencana penetapan Kawasan Ekosistem Esensial (KEE) Bukit Tigapuluh sejak 2019. Apalagi kondisi hutannya masih bagus. Melimpah akan tanaman buah, rumput, dan tanaman bambu. Sejumlah hulu sungai membelah hutan menjadi sumber air dan tempat bermain para kawanan.
Belum lagi disahkan, Kawasan Ekosistem Esensial belakangan ganti nama menjadi Koridor Hidupan Liar. Namun, masih juga belum ada kepastian hukum. Status koridor hingga kini masih terparkir di KLHK.
Semoga masalah itu segera mendapatkan titik temu. Jika manusia butuh tempat hidup, begitu pula dengan satwa. Jangan sampai dilupakan.