KNKT Sarankan Jalan ke Tebing Breksi Sleman Tidak Dilalui Truk
Komite Nasional Keselamatan Transportasi ikut melakukan kajian terhadap kecelakaan truk di dekat obyek wisata Tebing Breksi, Kabupaten Sleman. KNKT menyarankan jalan menuju Tebing Breksi tidak boleh dilalui truk.
Oleh
HARIS FIRDAUS
·5 menit baca
SLEMAN, KOMPAS — Komite Nasional Keselamatan Transportasi menyarankan agar jalan menuju Tebing Breksi di Daerah Istimewa Yogyakarta tidak boleh lagi dilalui truk. Jalan curam di Tebing Breksi sangat berbahaya bagi truk yang tidak didesain khusus untuk melintasinya.
Sebelumnya, truk pengangkut batu mengalami kecelakaan tunggal di Dusun Gunungsari, Desa Sambirejo, Kecamatan Prambanan, Sleman, Jumat (3/9/2021) sekitar pukul 20.00. Truk itu mengangkut batu-batu dari Dusun Groyokan, Desa Sambirejo, tak jauh dari obyek wisata Tebing Breksi. Area pengambilan batu berada di wilayah perbukitan sehingga jalan di wilayah itu cukup terjal.
Setelah selesai mengambil batu, saat akan berjalan turun, truk itu kemudian mengalami kecelakaan. Selain mengangkut batu, di dalam truk tersebut juga terdapat 11 orang, termasuk sopir dan kernet. Akibat kecelakaan itu, enam orang meninggal dan lima orang luka-luka.
Pelaksana Tugas Ketua Subkomite Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) Ahmad Wildan melalui keterangan tertulis, Rabu (8/9/2021), menuturkan, KNKT tidak melakukan investigasi resmi terkait kecelakaan di dekat Tebing Breksi. Namun, dalam pertemuan dengan Dinas Perhubungan Sleman, Wildan melakukan kajian terhadap data-data terkait kecelakaan tersebut.
Menurut Wildan, pihaknya melakukan analisis terhadap kondisi geometrik jalan di lokasi kejadian serta melihat spesifikasi teknis kendaraan yang mengalami kecelakaan. Berdasarkan analisis, KNKT mengambil beberapa kesimpulan sementara terkait kecelakaan yang terjadi di dekat obyek wisata Tebing Breksi.
Wildan menyatakan, jalan menuju Tebing Breksi merupakan jalur yang sangat berisiko. Dengan panjang 1,83 kilometer, jalur itu memiliki perbedaan ketinggian antara titik atas dan titik bawah yang mencapai 191 meter. Selain itu, jalur menuju Tebing Breksi juga memiliki tanjakan maksimal sebesar 35 persen.
”Dari atas ke bawah itu perbedaan tingginya 191 meter. Jadi, ada perbedaan tinggi yang cukup signifikan, yakni 200 meter, pada jarak yang sangat pendek, yakni 1,83 km,” ungkap Wildan.
Sementara itu, Wildan menuturkan, truk yang mengalami kecelakaan tersebut hanya memiliki kemampuan torsi dengan gradebility sebesar 25 persen. Gradebility merupakan kemampuan torsi kendaraan untuk dapat melalui jalan pada batasan grade tertentu, baik berupa tanjakan maupun turunan.
”Di luar batas gradebility yang telah ditetapkan oleh ATPM (agen tunggal pemegang merek) kendaraan, teknologi kendaraan tidak akan mampu menjamin keselamatan penggunanya,” kata Wildan.
Wildan menambahkan, apabila seorang pengemudi menggunakan truk dengan kemampuan torsi di bawah kondisi geometrik jalan yang dilewatinya, ada beberapa kemungkinan yang bisa terjadi. Pertama, jika pengemudi menjalankan truk dengan gigi dua, kampas rem truk tidak akan mampu menahan panas yang dihasilkan dari gesekan kampas dan tromol sehingga dapat terjadi brakefading atau rem blong.
Kedua, apabila pengemudi menggunakan gigi satu, temperatur mesin akan naik dengan cepat dan akan diikuti dengan kerusakan mesin. Bahkan, dalam kondisi tersebut, mesin truk bisa meledak.
”Ketika pengemudi menggunakan gigi satu, mesinnya akan mengalami overheat atau panas dan kerusakan mesin,” ujar Wildan.
Ketiga, jika pengemudi mencoba memindahkan gigi saat truk berjalan menurun, proses pemindahan gigi itu akan gagal sehingga gigi truk akan masuk ke posisi netral. ”Posisi netral ini bisa terjadi baik pada saat pengemudi menggunakan gigi dua dan akan berpindah ke gigi satu maupun sebaliknya,” tutur Wildan.
Berdasarkan hasil analisis itu, Wildan menilai, kecelakaan di dekat Tebing Breksi terjadi karena penggunaan kendaraan yang melampaui kemampuan teknis. Dia menyebut, meski truk yang digunakan itu merupakan kendaraan baru dan pengemudinya memiliki keterampilan tinggi, tetap ada potensi kegagalan mesin karena kemampuan teknis kendaraan tidak sesuai dengan kondisi gemoterik jalan.
”Sekalipun truk ini baru dan sopirnya jago nyetir, mungkin menanjak kuat, tapi turunnya enggak akan mampu. Sebab, secara desain teknis memang bukan peruntukannya dan kondisi jalan sudah melampui kemampuan truk,” papar Wildan.
Oleh karena itu, Wildan menambahkan, KNKT menyarankan agar Dishub Sleman melarang truk-truk masuk ke jalur menuju Tebing Breksi untuk mencegah kecelakaan berulang. Hal ini karena kebanyakan truk di Indonesia hanya memiliki torsi dengan gradebility di bawah 30 persen. Dengan kualifikasi itu, truk dinilai tidak layak untuk masuk ke jalur menuju Tebing Breksi yang memiliki grade maksimum 35 persen.
”Truk dengan gradebility di atas 30 persen biasanya diperuntukkan bagi truk di daerah tambang, seperti HINO seri 700 dan sebagainya,” ungkap Wildan.
Selain itu, Wildan mengatakan, KNKT juga meminta Dishub Sleman untuk menginventarisiasi daerah lain di Sleman yang memiliki karakteristik seperti jalur menuju Tebing Breksi. Inventarisasi ini penting untuk mencegah terjadinya kecelakaan seperti yang peristiwa di dekat Tebing Breksi.
Kepala Dishub Sleman Arip Pramana mengatakan belum bisa memberikan tanggapan terkait saran KNKT. Hal ini karena belum ada rekomendasi resmi dari KNKT terkait kecelakaan tersebut.
”Dishub Sleman baru akan bersurat ke KNKT untuk mendapatkan masukan terhadap jalur-jalur pariwisata, terutama di wilayah perbukitan,” katanya.
Tersangka
Kepala Bidang Humas Polda DIY Komisaris Besar Yuliyanto mengatakan, sopir truk yang terlibat kecelakaan itu telah ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan. Berdasar hasil pemeriksaan, sopir berusia 19 tahun itu belum mempunyai surat izin mengemudi (SIM) untuk mengemudikan truk.
Yuliyanto menyebut, sopir dijerat Pasal 310 dan Pasal 311 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Pasal 310 itu berkaitan dengan orang yang mengemudikan kendaraan bermotor dan mengakibatkan kecelakaan lalu lintas karena kelalaiannya. Apabila kecelakaan itu mengakibatkan orang lain meninggal, pelaku terancam pidana penjara paling lama enam tahun.
Sementara itu, Pasal 311 berkaitan dengan orang yang secara sengaja mengemudikan kendaraan bermotor dengan cara atau keadaan yang membahayakan nyawa atau barang. Pasal itu menyatakan, apabila terjadi kecelakaan yang mengakibatkan orang lain meninggal, pelaku dipidana penjara paling lama 12 tahun.
Yuliyanto menuturkan, berdasarkan hasil pemeriksaan sopir oleh pihak kepolisian, diperoleh informasi mengenai kronologi kecelakaan tersebut. Dia menyebut, sebelum berjalan turun dari area pengambilan batu, truk itu berhenti di jalan dengan posisi menurun. Saat berhenti, ban truk tersebut diganjal dengan batu agar truk tidak bergerak.
Yuliyanto menambahkan, saat truk hendak berjalan turun, sopir memundurkan truk terlebih dahulu agar batu pengganjal ban bisa dipindahkan. Sesudah itu, sopir hendak memindahkan persneling atau gigi truk dari gigi mundur ke gigi satu agar truk tersebut bisa berjalan maju. Namun, saat proses pemindahan gigi itu, truk tidak bisa dikendalikan.
”Proses dari gigi mundur ke gigi satu itu pasti melewati posisi gigi netral. Tapi saat gigi netral itu, truk mulai berjalan. Sopir berusaha memasukkan ke gigi satu, tapi tidak bisa sehingga truk berjalan semakin cepat. Kemudian terjadi kecelakaan,” ungkap Yuliyanto.