Pandemi Covid-19 tidak hanya menyangkut persoalan kesehatan, juga terhadap perubahan sosial, budaya, dan keamanan. Beradaptasi dengan kesadaran dan kebiasaan baru menghadapi pandemi menjadi kunci mengendalikan pandemi.
Oleh
COKORDA YUDISTIRA M PUTRA
·4 menit baca
DENPASAR, KOMPAS — Pandemi Covid-19 tidak hanya menyangkut persoalan kesehatan. Pandemi juga berdampak terhadap perubahan kehidupan sosial dan budaya serta keamanan. Catatan sejarah manusia menunjukkan, beradaptasi dengan kesadaran dan kebiasaan baru menghadapi pandemi menjadi kunci mengendalikan pandemi.
Sejarah manusia berhadapan dengan pandemi menunjukkan kemauan dan kemampuan manusia beradaptasi menjadi kunci keberlanjutan hidup manusia. Penduduk dunia mampu melewati wabah penyakit yang terjadi meluas di Benua Eropa, Asia, dan Afrika berabad-abad yang lampau dengan beradaptasi. Begitu pula masyarakat Bali mampu bertahan sampai sekarang setelah pernah mengalami masa gering agung, atau wabah, pada zaman kerajaan maupun pandemi influenza tahun 1918 masa Hindia Belanda.
Demikianlah benang merah dari diskusi dengan tema ”Memahami Gering Agung pada Masa Lampau dan Covid-19 di Masa Kini untuk Membangun Kesadaran Baru atau Adaptasi Baru Bagi Masyarakat Bali,” yang diselenggarakan secara di dalam jaringan (daring), Rabu (8/9/2021). Diskusi difasilitasi Yayasan Wisnu bekerja sama dengan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Provinsi Bali dan Dana Anak-anak Perserikatan Bangsa-Bangsa (Unicef).
Kepala Perwakilan Unicef Wilayah Jawa Tubagus Arie Rukmantara mengatakan, daerah-daerah di Nusantara pernah mengalami situasi wabah influenza pada masa Hindia Belanda 1918 ketika pandemi melanda kawasan Eropa dan Amerika serta Asia dan India.
Pada abad ke-21, Indonesia juga mengalami sejumlah wabah penyakit, di antaranya flu burung yang kemudian menginfeksi manusia pada 2005 dan flu babi pada 2009 yang dinyatakan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sebagai pandemi influenza pertama di abad ke-21.
Covid-19 mengakibatkan kematian sekitar 4,3 juta orang di dunia. (Mahardika)
Ahli virologi Universitas Udayana, Bali, I Gusti Ngurah Kade Mahardika menguraikan, sebelum pandemi di masa modern, warga dunia juga pernah mengalami pandemi penyakit yang mengakibatkan ratusan ribu bahkan jutaan orang meninggal. Wabah maut hitam (black death) di Eropa, Asia, dan Afrika pada abad ke-14, misalnya, diperkirakan mengakibatkan puluhan juta orang meninggal karena sakit. Begitu pula pandemi influenza pada 1918.
”Covid-19 mengakibatkan kematian sekitar 4,3 juta orang di dunia,” kata Mahardika dalam diskusi secara daring, yang juga menghadirkan perwakilan dari Dinas Kesehatan Provinsi Bali dan BPBD Provinsi Bali untuk memberikan sambutan dan pemaparan tentang perkembangan situasi pandemi Covid-19 di Bali.
Filolog dan pembaca naskah lontar Nyoman Sugi Lanus mengungkapkan, kajian atas naskah lontar di Bali menunjukkan wabah sudah dikenal sejak abad ke-11, atau masa Kerajaan Kediri. Ingatan masyarakat Bali tentang wabah penyakit, upaya pengobatan, dan tata laksana pengendalian wabah serta ritualnya itu dicatat dalam lontar.
Wabah dan ritual yang dicatat dalam lontar, antara lain, Babad Calonarang dan Taru Pramana dengan latar masa Kerajaan Kediri; Roga Sanggara Gumi dan Puja Astawa yang berlatar masa Kerajaan Majapahit; maupun Anda Kacacar, Usada Kacacar, dan Usada Gede pada era Kerajaan Gelgel.
Pengendalian
Meski dihadapkan dengan pandemi di masa lampau, menurut Mahardika, warga dunia masih bertahan ada, bahkan jumlah penduduk dunia berlipat pascapandemi. Ketika pandemi influenza tahun 1918 melanda, penduduk dunia saat itu diperkirakan sebanyak 1,6 miliar orang. Ketika pandemi Covid-19 terjadi, penduduk dunia mencapai 7 miliar orang.
Di sisi lain, menurut Mahardika, pandemi Covid-19 terjadi saat dunia mengalami kemajuan, teknologi sudah berkembang, ilmu kedokteran sudah maju, dan penemuan maupun pembuatan vaksin sudah semakin cepat. ”Sejarah pandemi mengingatkan kita, manusia, tidak pernah menyiapkan diri,” katanya dalam diskusi secara daring yang dipandu Direktur Yayasan Wisnu I Made Suarnatha, Rabu (8/9).
Lebih lanjut Sugi Lanus mengungkapkan, kajian pada lontar Bali juga menyebutkan adanya protokol pengendalian dan penanganan wabah yang diputuskan raja atau dijalankan pemimpin wilayah. Termasuk langkah karantina bagi warga yang mengalami sakit menular maupun pembatasan kegiatan masyarakat, termasuk upacara ritual, selama gering agung atau wabah penyakit berlangsung.
Epidemiolog dari Universitas Udayana, Pande Putu Januraga, menyatakan, sejarah umat manusia, termasuk masyarakat Indonesia dan warga Bali, menunjukkan bahwa manusia memiliki sumber daya dan kesempatan menang menghadapi pandemi Covid-19. Kesempatan menang atas pandemi itu terbuka asal warga memiliki kepercayaan, kepedulian, dan empati serta mau beradaptasi dengan kesadaran baru.
Januraga mengungkapkan hasil survei tentang penilaian manfaat adaptasi kebiasaan di masa pandemi Covid-19. Survei itu mengindikasikan penilaian responden tentang manfaat masker untuk kepentingan kesehatan masih lebih rendah dibandingkan penilaian atas manfaat masker untuk kepentingan ekonomi dan juga kepentingan sosial. Januraga mendorong upaya membangun norma sosial dan gerakan sosial mengadaptasi kesadaran baru menghadapi pandemi.
”Adaptasi memerlukan perumusan strategi bersama, kolaborasi semua sektor, kebersamaan pemerintah dan masyarakat membangun kepercayaan,” kata Januraga dalam diskusi.