Anak Muda Menjaga Kilau Kreasi Tembaga Cepogo Tetap Mendunia
Generasi muda perajin tembaga di Cepogo, Boyolali, enggan berhenti berkreasi. Memanfaatkan dunia maya, inovasi para perajin kian terasah. Kreativitas jadi mantra mujarab menembus pasar internasional.
Oleh
NINO CITRA ANUGRAHANTO
·5 menit baca
Dikurung pandemi, generasi muda perajin tembaga di Cepogo, Boyolali, enggan berhenti berkreasi. Memanfaatkan jangkauan luas jagat virtual, inovasi para perajin semakin terasah. Kreativitas jadi mantra mujarab menembus pasar internasional.
”Dhang…dheng…dhang…dheng!” Suara tembaga ditempa palu kayu nyaring terdengar di antara irama musik dangdut koplo yang diputar dari sebuah ponsel, di sebuah ”bengkel” kerajinan tembaga di Kampung Tumang, Cepogo, Boyolali, Jawa Tengah, Sabtu (31/7/2021). Saat hawa pagi pegunungan masih membuai tubuh untuk bersantai, lima pemuda sudah mandi keringat di antara bau cat dan thinner (cairan pengencer cat atau pelitur).
”Alhamdulilah, masih selalu ada pesanan yang masuk. Meski sekarang sedang pandemic, justru lewat (pemasaran) online ini pesanan terus-menerus berdatangan,” ujar Nanang Ardiyanto (23), perajin sekaligus pemilik ”bengkel” tadi. Bengkel itu sebenarnya memanfaatkan bagian belakang rumahnya.
Nanang dan empat rekannya, pagi itu sedang menyelesaikan hiasan dinding berbentuk daun dari tembaga. Satu per satu produk yang sudah selesai lalu dipoles hingga berkilau, lalu dikeringkan di atas meja. Bau tiner menusuk hidung dari lembaran daun tembaga yang baru selesai diwarnai.
Nanang, putra asli Desa Cepogo mengenal kerajinan tembaga sejak kecil. Selepas SMK tahun 2016, ia ikut menjadi perajin di bengkel tembaga milik pamannya. Sebagai anak muda yang terbiasa dengan peranti gawai, ia mencoba membuat akun Instagram bernama ”Raja Tembaga”. Ia unggah kerajinan tembaga yang dibuat bersama pamannya ke akun tersebut.
”Setahun awal hanya ada orang tanya-tanya satu-dua orang. Setelah berjalan satu tahun, baru mulai mendapat orderan buat saya sendiri,” katanya.
Ramainya orderan memantapkan dirinya membuka usaha kerajinan sendiri. Produk kerajinan tembaga yang dihasilkan dan dijualnya beragam. Mulai dari gelas, teko, pemanas makanan, lampu gantung, hiasan dinding, dan lain sebagainya. Harganya mulai dari Rp 200.000 hingga Rp 6 juta.
Bahkan, sering kali harga satu produk lebih dari Rp 6 juta. Semuanya bergantung tingkat kesulitan dan ukuran. Semakin sulit desain dan besar ukurannya, harga kerajinan bakal kian mahal.
Nanang semakin konsisten memasarkan produknya melalui media sosial. Selain Instagram, ia juga mencoba platform lokapasar seperti Tokopedia. Bahkan, ia rela mengeluarkan ongkos tambahan untuk memanfaatkan fitur promosi di platform media sosial tersebut. Pengikut akun ”Raja Tembaga” pun terbilang tinggi, mencapai 17.500 akun.
Media sosial sangat membantu pemasaran produknya. Kerajinan tangan buatannya bisa dikenal lebih luas. Kebanyakan pembeli datang setelah melihat unggahan di akun media sosial ”Raja Tembaga”. Biasanya, Nanang aktif mengunggah di media sosial saat akhir pekan. ”Banyak pembeli menghubungi waktu akhir pekan,” ucapnya.
Salah satu produk yang paling banyak dipesan, yakni pemanas makanan. Dalam satu bulan, ia bisa menjual 60-70 unit. Semasa pandemi Covid-19, trennya berubah. Barang yang paling sering dipesan, yaitu hiasan dinding dan lampu gantung. Pemesannya perseorangan.
Sejauh ini, jangkauan pasar Nanang tidak hanya di Pulau Jawa, tetapi juga sampai ke Pulau Sumatera, Kalimantan, hingga Papua. Ia juga mulai berancang-ancang untuk ekspor.
Perajin muda lain di Desa Cepogo yang juga memanfaatkan platform daring untuk memasarkan kerajinan tembaga adalah Bayu Dwi Hartono, pemilik ”Bayufist Art”. Ia merintis bisnisnya sejak tiga tahun lalu. Namun, pemasaran daring baru dirambah setahun belakangan. Pandemi Covid-19 kian memacu dirinya memanfaatkan strategi pemasaran tersebut.
”Awalnya, saya hanya menggarap pesanan kerajinan dari teman-teman yang sudah lebih dulu jualan sendiri. Terus ada pandemi, pesanan sama sekali tidak ada. Saya mencoba bikin akun Instagram buat jualan sendiri. Ternyata menghasilkan,” kata Bayu.
Perlahan, makin banyak pesanan mengalir melalui media sosial. Keuntungan paling utama adalah tidak perlu mengeluarkan biaya pemasaran. Ia cukup membuat akun dan serajin mungkin mengunggah karyanya. Terkadang ia unggah proses pembuatan kerajinan tembaga ke akun @bayufist_art.co yang kini memiliki pengikut 2.555 akun. Adapun unggahannya telah mencapai lebih dari 3.000 foto.
Demi menarik pembeli, Bayu juga tak henti berkreasi menciptakan produk. Mulai dari lampu dinding, lampu gantung, mangkuk, wastafel, hiasan dinding, instalasi air mancur, hingga bak mandi. Banyak produk lampu dinding menonjolkan ukiran. Salah satunya tampak pada produk lampu dinding berbentuk gunungan wayang.
Harga produknya terentang dari Rp 500.000 hingga Rp 15 juta per buah. Produk yang dibanderol dengan harga paling mahal berupa bak mandi. ”Setiap hari sih ada yang tanya. Akan tetapi, tidak semua langsung jadi orderan. Kalau pesan, ya, rata-rata bisa jual 20 barang dalam sebulan,” katanya.
Saat ini, Bayu masih menyasar pasar domestik. Pengiriman barang paling banyak dilakukannya ke Bali dan Tangerang. Biasanya, konsumennya merupakan tempat-tempat spa. Produk yang paling sering dikirim berupa mangkuk, wastafel, dan bak mandi.
Tak hanya pasar lokal, produk logam Cepogo juga sudah diekspor. Ketua Paguyuban Perajin Tembaga Tumang Cepogo Muhammad Mansyur mengatakan, orientasi ekspor terbanyak ke Amerika Serikat dan Eropa.
Sumanto, pemilik usaha kerajinan ”Bintang Pamungkas” yang dirintis sejak 1993, mengatakan, kini sudah memiliki pasar internasional, seperti Australia, Amerika Serikat, Jerman, Jepang, hingga Arab Saudi. Adapun pasar lokal dimainkan dengan menjadi penggarap proyek pembangunan masjid hingga hotel.
”Pandemi ini kebetulan masih dapat pesanan dari Australia dan Jepang. Akan tetapi, jumlahnya tidak banyak. Yang penting masih ada yang dikerjakan,” kata dia.
Lurah Cepogo Mawardi menceritakan, industri kerajinan logam di desa tersebut sudah berlangsung turun-temurun. Berawal dari pembuatan alat-alat rumah tangga seperti ceret, dandang, dan kuali, mulai 1980-an produksi alat-alat rumah tangga tergeser dengan hadirnya aluminium. Sebagian warga berinisiatif mengalihkan produksi tembaganya kepada kerajinan seni dengan produk-produk seperti hiasan dinding, lampu dinding, dan kaligrafi.
”Sekitar separuh warga Cepogo yang berjumlah 9.000 jiwa menggantungkan hidup dari kerajinan logam. Selain ekspor, banyak yang sudah coba pemasaran digital,” tuturnya.
Tumbuh dalam lingkungan yang lekat akan kultur industri kerajinan, generasi muda perajin logam Cepogo terus berdaya dan kreatif menjawab tantangan zaman. Memanfaatkan teknologi, generasi muda Cepogo melanjutkan pamor industri tembaga rakyat tampil di panggung dunia.