Sertifikasi Keselamatan Kerja Awak Kapal Perikanan di Sulut Mendesak
Himpunan anak buah kapal perikanan di Sulawesi Utara berharap bisa lebih mudah mengakses sertifikasi pelatihan keselamatan dasar serta sertifikasi kecakapan lainnya sebelum mulai bekerja.
Oleh
KRISTIAN OKA PRASETYADI
·4 menit baca
MANADO, KOMPAS — Himpunan anak buah kapal perikanan di Sulawesi Utara berharap bisa lebih mudah mengakses sertifikasi pelatihan keselamatan dasar serta sertifikasi kecakapan lainnya sebelum mulai bekerja. Di sisi lain, pengusaha kapal ikan diharapkan selalu melengkapi perjanjian kerja laut sebelum berlayar demi keselamatan awak kapal.
Dalam rapat koordinasi Forum Daerah Perlindungan Awak Kapal Sulut di Manado, Selasa (7/9/2021), Ketua Serikat Awak Kapal Perikanan Bersatu Sulut Arnon Hiborang mengatakan, pihaknya ingin menciptakan calon anak buah kapal (ABK) yang siap bekerja. Hal ini bisa diwujudkan dengan pemberian sertifikat keselamatan dasar (basic safety training/BST).
”Kami ingin para awak kapal ini memahami risiko bekerja di atas kapal sehingga mereka siap secara mental. Jangan sampai ada apa-apa setelah di atas kapal. Jangan sampai mereka sudah diterima kerja dengan bayaran mahal, terutama di kapal asing, tetapi malah tidak bisa kerja,” kata Arnon.
Saat ini ada setidaknya dua institusi yang melayani sertifikasi BST. Pertama Balai Pendidikan dan Pelatihan Pelayaran Amurang, Minahasa Selatan, dengan biaya Rp 1,4 juta. Kedua Politeknik Kelautan dan Perikanan Bitung dengan kisaran biaya Rp 800.000.
Mayoritas dari 400-an anggota serikat yang dipimpin Arnon tinggal di Bitung. Arnon berharap, Politeknik Kelautan dan Perikanan Bitung memperjelas kapan kelas-kelas sertifikasi akan dibuka. ”Kalau sudah ada kejelasan, kami bisa mengatur jadwal,” katanya.
Koordinator Nasional Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia M Abdi Suhufan mengatakan, sertifikasi BST nantinya bermuara pada keselamatan para ABK selama bekerja di tengah laut. Dengan kecakapan tersebut, ABK akan dapat mengambil tindakan yang tepat dalam keadaan bahaya.
Kepala Bidang Perikanan Tangkap Dinas Kelautan dan Perikanan Sulut Jesta Saruan mengatakan, sertifikasi BST bisa mengatasi kendala ketenagakerjaan di sektor perikanan Sulut. Ia menilai, selama ini ABK dari Sulut cenderung berpendidikan rendah serta minim kecakapan dan keahlian.
Menurut Jesta, pembukaan akses bagi ABK perikanan untuk mendapatkan sertifikat kecakapan dan keahlian adalah pengejawantahan Peraturan Pemerintah Nomor 27/2021. Ia mendorong pemberian sertifikasi selain BST, seperti operasionalisasi alat tangkap, penanganan ikan, serta perawatan mesin.
Keperluan ini dapat difasilitasi Politeknik Kelautan dan Perikanan Bitung. Direktur perguruan tinggi tersebut, Daniel Heintje Ndahawali, mengatakan, pihaknya telah bekerja sama dengan Lembaga Sertifikasi Profesional Kelautan dan Perikanan untuk memberikan paket-paket uji kompetensi.
Sementara itu, Wakil Ketua Dewan Pimpinan Daerah Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Sulut Ben Awoah mengatakan, keselamatan ABK masih terancam akibat ketidaktaatan pengusaha kapal perikanan terhadap persyaratan ketenagakerjaan. Di Pelabuhan Perikanan Tumumpa Manado, misalnya, masih banyak ditemukan buruh harian lepas yang melaut tanpa perjanjian kerja laut (PKL).
”Ternyata buruh lepas ini diterima begitu saja dan boleh bekerja. Celakanya mereka tidak pusing gaji berapa, keselamatan kerja seperti apa, yang penting dapat ikan dan bagi hasil. Padahal, kecelakaan dan musibah itu bisa terjadi kapan saja,” kata Ben.
Aduan paling banyak adalah mengenai gaji yang tidak dibayarkan atau dipotong secara sepihak.
Untuk mencegah hal ini, HNSI berupaya mendata ulang jumlah nelayan, jenis kapal, dan alat tangkap yang digunakan. ”Semua program untuk menjaga keselamatan ABK akan berhasil kalau ada data mutakhir,” kata Ben.
Menurut catatan DFW dan Fishers Center di Bitung dan Tegal, Jawa Tengah, sejak 2019 hingga Juni 2021, ada 57 aduan dari ABK yang mengalami pelanggaran hak dalam bekerja, 22 aduan di antaranya dalam negeri. Adapun jumlah korban mencapai 186 orang.
Abdi mengatakan, aduan paling banyak adalah mengenai gaji yang tidak dibayarkan atau dipotong secara sepihak (41 persen), diikuti pembayaran asuransi dan jaminan sosial yang tak dipenuhi pemberi kerja (28 persen). Pihak yang paling banyak dilaporkan adalah agen penyalur tenaga kerja.
Namun, secara riil, banyak warga ABK yang mengalami kekerasan fisik, terutama di luar negeri. Ini disebabkan ketidaktahuan mereka akan informasi penting sebelum bekerja, seperti penempatan kerja, besaran dan sistem penggajian, serta kondisi kerja yang baik. Karena itu, penting bagi DFW menyosialisasikan pengetahuan soal risiko kerja serta indikator kerja paksa.
Soal hal ini, Jesta mengatakan, pekerjaan sebagai ABK sangatlah berisiko. Karena itu, pihaknya akan berkoordinasi dengan pejabat kesyahbandaran perikanan untuk mewajibkan nakhoda kapal menunjukkan PKL demi mendapatkan persetujuan berlayar. Sebab, dalam PKL, tercantum berbagai informasi penting, dari sistem upah, jaminan sosial, hingga jenis alat tangkap kapal.
Kelengkapan dokumen PKL, dipadukan dengan sertifikasi yang dimiliki ABK, akhirnya akan menguntungkan sektor perikanan tangkap di Sulut yang berorientasi ekspor. Para ABK yang jumlahnya diperkirakan mencapai 121.000 orang pada 2019 akan diuntungkan.
”Beberapa negara tujuan di Amerika, Eropa, Jepang, dan Uni Emirat Arab hanya menerima ikan yang ditangkap secara berkelanjutan. HAM pekerjanya tidak dilanggar, kemudian alat tangkapnya tidak merusak alam. Jadi fungsinya untuk traceability (keterlacakan),” kata Jesta.