Sedikitnya 251.691 Hektar DAS di Aceh Kritis dan Rentan Picu Bencana
Selama jangka waktu 2018-2020, terjadi 423 kali bencana banjir, longsor, dan bandang di Aceh. Taksiran kerugian akibat bencana tersebut Rp 874,1 miliar.
Oleh
ZULKARNAINI
·2 menit baca
BANDA ACEH, KOMPAS — Sedikitnya 251.691 hektar daerah aliran sungai di Aceh sangat kritis dan mendesak dipulihkan. Kondisi itu rentan memicu bencana alam, seperti banjir, longsor, dan bandang.
Hal itu mengemuka dalam diskusi daring tematik lingkungan yang digelar Forum Jurnalis Lingkungan (FJL) Aceh dan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Aceh, Selasa (7/9/2021). Pembicara dalam diskusi itu perwakilan pemerintah, akademi, dan aktivis lingkungan.
Kepala Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Hutan Lindung (BPDASHL) Krueng Aceh Eko Nurwijayanto mengatakan, dari 4,9 juta hektar kawasan daerah aliran sungai (DAS) di Aceh, 2,7 juta hektar kondisinya kurang baik dan 251.691 hektar di antaranya sangat kritis.
”DAS sebagian besar kawasan hutan lindung. Namun, di hutan sendiri sudah ada perladangan, perkebunan, dan pertambangan. Ini memicu kerusakan DAS,” kata Eko.
Lahan kritis itu terdapat di 20 DAS, meliputi Sungai Aceh Tamiang, Jambo Aye (Aceh Utara), Tripa (Nagan Raya), Meureubo (Aceh Barat), Panga (Aceh Jaya), Peureulak (Aceh Timur), dan Kluet (Aceh Selatan).
Bentuk kerusakan terjadi pendangkalan karena sedimentasi, erosi, perubahan alur sungai, dan daya tahan tanah di sepanjang tepi sungai melemah karena tutupan hutan berkurang. Sungai yang kritis tersebut selama ini sangat sering meluap memicu banjir genangan. Ketika terjadi hujan dalam intensitas tinggi, sungai tidak mampu menampung debit air.
Eko menambahkan, pemulihan DAS dilakukan dengan menanam pohon, tapi laju kerusakan tidak sebanding dengan luas penanaman. Oleh karena itu, Eko mengajak semua pihak bersinergi merawat DAS untuk mencegah bencana.
Kepala Seksi Pencegahan di Badan Penanggulangan Bencana Aceh (BPBA) Yudhie Satria mengatakan, bencana ekologi seperti banjir dan longsor adalah dampak dari kerusakan daerah hulu sungai. BPBA hanya bisa membangun kesiapsiagaan warga menghadapi bencana.
Data dari BPBA sejak 2018-2020 terjadi 423 kali bencana banjir, longsor, dan bandang. Taksiran kerugian akibat bencana tersebut Rp 874,1 miliar. ”Dampak kerusakan DAS terjadi banjir. Di Aceh, saat ini bencana alam berupa banjir dan tanah longsor sudah menjadi langganan,” kata Yudhie.
Direktur Walhi Aceh Muhammad Nur menerangkan, penyebab lain tingginya bencana alam di Aceh ialah maraknya pertambangan ilegal di hulu sungai dan galian C secara serampangan. Ia mencontohkan jembatan di Kabupaten Bireuen ambruk karena dampak galian C di sungai tersebut.
”Pertambangan di kawasan hutan harusnya ditindak. Selama ini, seperti ada pembiaran. Tambang ilegal maupun legal itu berdampak pada kerusakan sungai dan airnya tercemar,” ujar Nur.
Nur menilai, pemulihan DAS dan normalisasi sungai tidak dilakukan dari hulu ke hilir. Misalnya, pihaknya BPDASHL Krueng Aceh menanam pohon di lahan-lahan kritis, kemudian tambang ilegal merusak lahan-lahan yang ditanami tersebut.