Jalan Panjang Menemukan Besse, Manusia Sulawesi Berusia 7.200 Tahun
Penemuan kerangka manusia dengan DNA Denisovan di kawasan karst Maros-Pangkep adalah penemuan besar setelah selama hampir seabad lamanya arkeolog mencari manusia purba di zona Wallacea ini.
Pencarian kerangka manusia purba di zona Wallacea sesungguhnya telah berlangsung hampir seabad lamanya. Namun, selama itu pula arkeolog hanya menemukan jejak-jejak material budaya. Maka, penemuan kerangka manusia dengan DNA Denisovan di Sulawesi Selatan baru-baru ini seolah menjadi cahaya terang di ujung labirin gelap itu.
Liang Panninge, Rabu (1/9/2021) siang, itu sunyi. Tempat yang dalam bahasa setempat berarti goa kelelawar ini berjarak sekitar 50 meter dari jalan Desa Wanua Waru, Kecamatan Mallawa, Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan. Jaraknya sekitar 110 kilometer arah timur laut Kota Makassar.
Kondisi di sekitar goa bermulut besar itu dipenuhi pepohonan rimbun. Di mulut goa, stalaktit dan stalakmit berjejer serupa ornamen. Inilah salah satu bagian dari kawasan Karst Maros-Pangkep, gugusan perbukitan kapur cadas yang membentang puluhan ribu hektar di jantung Sulsel.
Di beberapa bagian goa, lumut berwarna hijau pekat menutup permukaan langit-langit. Berdiri di depan mulut goa, cahaya berbentuk lubang tampak di bagian belakang. Goa ini memang punya dua ”pintu”.
Di bagian kiri depan tampak bekas lubang ekskavasi berbentuk segi empat dengan ukuran setiap sisi sekitar 1 meter. Di lubang inilah arkeolog dan peneliti menemukan kerangka manusia dengan DNA Denisovan, yang kemudian diberi nama Besse.
Bagi masyarakat Bugis, Besse atau kadang diucapkan Becce atau Ecce adalah nama panggilan untuk anak perempuan. Biasanya, anak perempuan yang belum diberi nama akan dipanggil dengan sebutan ini. Jika laki-laki, biasanya dipanggil Baso, kadang disebut Baco atau Aco. Besse, yang ditemukan arkeolog di mulut Liang Paninge, diperkirakan berusia 17-18 tahun.
Iwan Sumantri, arkeolog dan peneliti Universitas Hasanuddin, Kamis (2/9/2021), mengatakan, penelitian di kawasan karst Maros-Pangkep dan juga di Soppeng sudah dilakukan sejak tahun 1931. Selama itu pula yang ditemukan hanya material budaya. Ada Maros point (mata panah khas tinggalan manusia purba di Maros), perhiasan, lukisan dinding, sisa makanan, dan lainnya.
”Selama itu kami diliputi pertanyaan, siapa pembuat dan pemilik benda-benda itu? Jejaknya banyak, tetapi manusianya baru kami temukan sekarang,” ujar Iwan.
Baca juga: Besse, Menyingkap Jejak Leluhur Papua di Sulawesi
Penemuan kerangka manusia ini tentu tak serta-merta. Sejak pertama kali ditemukan pada 2015, proses penelitian untuk mengungkap identitas kerangka itu membutuhkan waktu cukup lama hingga DNA-nya bisa dipastikan pada awal 2020. Berbagai kendala, termasuk peralatan dan dana, membuat penelitian ini tak bisa singkat. Penelitian pun harus melibatkan kolaborasi ahli lintas negara.
Tim yang dipimpin Profesor Akin Duli, Dekan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Hasanuddin, Makassar, adalah yang pertama kali memulai penggalian pada 2015. Saat itu, arkeolog butuh sebulan lebih untuk menggali dengan kedalaman 2 meter dan lebar setiap sisi sekitar 1 meter.
Setelah ditemukan, kerangka ini baru bisa diangkat tiga tahun kemudian. Lalu, butuh dua tahun lagi untuk memastikan bahwa kerangka ini memiliki DNA Denisovan. Denisovan merupakan kelompok manusia purba yang telah punah yang diketahui terutama dari temuan di Siberia dan Tibet.
”Saat itu, dengan segala keterbatasan, kami coba meminta tolong pihak Rumah Sakit Wahidin Makassar untuk memeriksa jenis kelaminnya, tetapi peralatannya terbatas. Lalu kami juga coba meminta tolong laboratorium di Amerika untuk melakukan tes DNA, tetapi biayanya mahal. Maka, kerangka kami simpan sembari mencari cara untuk menuntaskan penelitian,” kata Akin yang menemukan titik penggalian di mana kerangka ditemukan.
Besse diperkirakan dikubur di Liang Panninge sekitar 7.200 tahun lalu. Posisi kerangka saat ditemukan menunjukkan perlakuan khusus. Jasadnya diletakkan dengan posisi miring dan lutut ditekuk ke dada, seperti posisi bayi dalam kandungan. Di bagian bawah kepala ada batu yang diletakkan serupa bantal. Di bagian atas kepala juga ada batu yang diletakkan. Jenis bebatuannya tidak serupa dengan jenis yang membentuk goa.
Kesimpulan peneliti adalah jasad ini mendapat perlakuan khusus seperti pemakaman, bukan orang mati yang tertimbun begitu saja. Denisovan adalah ras yang masih beririsan dengan leluhur manusia di Papua dan Aborigin di Australia.
Menemukan kerangka berusia ribuan tahun di alam tropis dan masih terpreservasi dengan baik hingga DNA-nya masih ada kemungkinannya adalah satu dari sejuta.
Penemuan Besse di salah satu goa di Zona Wallacea membuat kawasan ini kian memiliki arti penting. Ini merupakan Homo sapiens tertua yang ditemukan di kawasan biodiversitas yang terdiri dari Sulawesi, NTB, NTT, hingga Kepulauan Maluku ini.
Di kawasan karst Maros-Pangkep, harta arkeologi zona Wallacea terpendam. Sebagian besar dari ratusan goa yang tersebar di kawasan ini menyimpan banyak jejak manusia purba. Di kawasan ini pula naturalis Alfred Russel Wallace pada paruh akhir abad ke-19 singgah dan menetap selama beberapa bulan.
Lukisan babirusa berusia sekitar 40.000 tahun yang menggemparkan dunia arkeologi pada 2014 ditemukan di Leang Timpuseng di kawasan ini. Bahkan, penelitian selanjutnya juga mengungkap gambar tangan berusia 44.000 tahun di Goa Tedong serta sejumlah perhiasan dengan usia lebih tua di Goa Bettue. Keduanya masih berada di sekitaran wilayah tersebut.
Sisa makanan, peralatan dapur, dan beragam benda lain yang ditemukan membuat arkeolog kian diliputi rasa penasaran, di bagian mana ada kerangka manusia. Pertanyaan ini terus menyeruak hingga terjawab dengan penemuan Besse.
Iwan Sumantri mengatakan, menemukan kerangka berusia ribuan tahun di alam tropis dan masih terpreservasi dengan baik hingga DNA-nya masih ada kemungkinannya adalah satu dari sejuta.
Baca juga: Arkeolog Temukan Gambar Cadas Tertua di Dunia di Karst Maros-Pangkep
Perihal penggalian yang akhirnya dilakukan di Liang Panninge boleh dikata terjadi secara tak sengaja. Sejumlah arkeolog acap kali menyusuri pegunungan dengan bebatuan gamping di kawasan ini. Beberapa bahkan menjadikannya areal bersepeda sembari melihat situasi. Namun, saat itu goa ini hanya dilihat sepintas lalu.
Hingga suatu hari seorang peneliti flora dan fauna Indonesia (saat ini Direktur FFI), melihat Liang Panninge sebagai goa yang cukup menarik. Hal ini kemudian disampaikan kepada sejumlah arkeolog. Usai melihat kondisi goa, mereka sepakat melakukan penggalian.
Baca juga: Tapak-tapak Manusia Awal Sulawesi
”Saat kerangka ditemukan, sebenarnya kami bingung bagaimana memeriksa DNA-nya, apalagi melihat kondisi goa yang lembab. Dalam pikiran kami, tak ada lagi bagian yang tersisa yang mungkin menyimpan DNA. Lalu, Basran, salah satu peneliti yang cukup teliti, melihat bahwa masih ada bagian di bawah telinga yang menyimpan DNA,” kata Iwan.
Semula tim meminta bantuan salah satu laboratorium di Amerika Serikat untuk melakukan uji DNA. Namun, karena biaya yang diminta cukup besar, yakni Rp 500 juta, pengujian batal dilakukan. Peneliti dari Griffith University Australia yang ikut dalam penelitian ini akhirnya mencari peluang ke Jerman. Di sanalah DNA jasad ini kemudian diuji oleh Institut Max Planck hingga akhirnya mengungkap identitas Besse.
Penemuan kerangka manusia dengan DNA Denisovan ini memang tak serta-merta menjawab pertanyaan tentang siapa pemilik atau pembuat material budaya yang ditemukan selama ini. Hal ini terutama jika membandingkan usia benda-benda yang ditemukan dengan usia kerangka Besse.
Peneliti juga masih diliputi pertanyaan, apakah Besse adalah Toalean, manusia pemburu dan pengumpul yang pernah hidup di wilayah Sulsel di masa lampau. Pertanyan lain, apakah Besse menurunkan gen pada suku Bugis? Namun, satu hal penting adalah bahwa penemuan ini meruntuhkan teori tentang migrasi di jazirah Sulsel di masa lampau.
Baca juga: Menjaga Kawasan, Mengembangkan Wisata
”Selama ini kita hanya mengenal ada dua ras yang bermigrasi dan hidup di Sulsel, yakni penutur Austronesia dan Austromelanesid. Namun, dengan penemuan ini, juga menguak fakta bahwa ada Denisovan yang pernah hidup di Sulsel. Tentu pertanyaan selanjutnya adalah apa yang terjadi saat ketiga ras ini bertemu? Kami masih akan terus melakukan penelitian, termasuk masih mencari kerangka dari ras Austronesia dan Austromelanesid,” kata Iwan.
Iwan berharap penemuan Besse mendorong pemerintah makin melindungi kawasan karst Maros-Pangkep yang menjadi permata di zona Wallacea. Iwan bahkan meminta Universitas Hasanuddin memberi perhatian khusus mengingat kawasan ini adalah laboratorium alam yang kaya. Tak hanya terkait sejarah dan arkeologi, karst Maros-Pangkep juga adalah rumah bagi ratusan spesies tumbuhan dan hewan.
Koordinator Pelestarian Cagar Budaya Kabupaten Maros dan Pangkep Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Sulsel, Rustan Lebe, mengatakan, pengawasan dan pemeliharaan goa-goa di kawasan karst Maros-Pangkep terus dilakukan. ”Goa-goa ini kami lindungi, termasuk Liang Panninge,” ujarnya.
Menurut Rustan, sejak penemuan kerangka Besse pada 2015, Liang Panninge dijadikan kawasan dilindungi. BPCB Sulsel pun menempatkan juru pelihara sejak 2019. Patroli rutin petugas pengawasan cagar budaya juga rutin dilakukan. ”Ke depan, kami tetap melakukan kegiatan itu sambil terus menganalisis masalah-masalah dan mencari solusi pelestariannya,” katanya.
Saat ini, tambah Rustan, pihaknya melakukan koreksi koordinat patok situs. Patok itu berfungsi sebagai titik ukur untuk perekaman dan evaluasi perkembangan kerusakan, termasuk terjadinya deformasi goa. Perekaman tiga dimensi juga akan dilakukan sebagai bentuk pelestarian data.
Baca juga: ”Homo Sapiens” Tertua di Wallacea Ditemukan di Karst Maros-Bone