Kenikmatan Belida Si Ikan ”Sultan” Itu Hanya Tinggal Kenangan
Kenikmatan ikan belida kini hanya tinggal kenangan. Semenjak pemerintah mengeluarkan status perlindungan pada ikan air tawar itu, tak ada pedagang yang menawarkan jenis ikan tersebut kepada konsumen.
Sejak pemerintah menetapkan ikan belida berstatus perlindungan penuh, warga Palembang terancam tidak bisa menikmati ”ikan sultan” itu lagi. Mulai dari penjual ikan hingga pembuat kuliner khas Palembang tidak berani untuk menawarkannya kepada pelanggan karena sanksinya yang cukup berat.
Kebijakan tersebut tertuang dalam Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2021 tentang ikan yang dilindungi. Ada 19 jenis ikan yang dilarang ditangkap, dijual, dan dikonsumsi, salah satunya ikan belida (chitala lopis). Padahal ikan ini menjadi bahan baku makanan khas Palembang, yakni pempek dan pindang.
Ketika ditemui di Pasar Cinde Palembang, Jumat (3/9/2021), Nelly (42) tidak mau mengaku bahwa dirinya adalah agen ikan belida karena takut ditangkap oleh petugas. Bahkan, saat diminta untuk menunjukkan ikan air tawar itu, dia sempat menolak. Namun setelah dibujuk, dia pun mau memperlihatkan seekor ikan belida yang ia pasok dari Pekanbaru, Riau, tersebut.
Ikan berwarna perak dengan berat sekitar 4 kilogram (kg) itu kemudian dikeluarkan dari lemari pendingin. Butuh dua tangan untuk mengangkatnya karena ukurannya yang cukup panjang, yakni 60 sentimeter.
”Saya bingung mau diapakan lagi ikan ini, tidak ada konsumsen yang mau membeli setelah larangan itu beredar,” katanya. Padahal di lemari penyimpanannya masih ada sekitar 20 kg ikan belida yang tersisa.
Yang membeli (ikan belida) biasanya orang-orang kelas ’sultan’ seperti pejabat yang tentu punya kemampuan untuk membeli.
Larangan menjual ikan belida pun baru dia ketahui pada Jumat (3/9/2021) pagi. Karena selama ini tidak pernah ada petugas yang datang ke pasar untuk memberitahukan kebijakan baru tersebut. ”Kalau tahu dilarang ya saya tidak akan pasok dulu,” ujarnya.
Setiap minggu, Nelly bisa memasok sekitar 50 kg ikan belida beku dari Pekanbaru, Riau. Selain dijual kepada konsumen di pasar, ikan tersebut dia salurkan kepada langganan tetapnya, yaitu salah satu rumah makan ternama di Palembang.
Jumlah ikan belida di Riau cukup banyak karena memang di sana ikan ini tidak menjadi panganan utama warganya. ”Hanya orang Palembang yang tahu cara mengolah ikan belida. Kalau teknik (memasak) -nya salah, daging belida akan hancur,” ujar Nelly yang sudah enam tahun menjadi agen ikan belida.
Solihin (44), penjual ikan sungai di Pasar Cinde Palembang, juga masih menjual seekor ikan belida di atas lapaknya berukuran 2 meter x 2 meter. Itu adalah ikan belida terakhir yang dia akan jual. ”Lebih baik tidak jual belida lagi daripada kena denda Rp 1,5 miliar,” ujarnya. Alhasil ke depan, dia akan menjual ikan air tawar lain, di antaranya patin, gabus, dan nila.
Berbeda dengan Nelly yang memasok ikan belida dari Pekanbaru, Solihin mendapatkan ikan dari nelayan yang menjual hasil tangkapannya. ”Sekarang ikan belida tergolong sulit ditemukan,” katanya.
Dalam satu minggu saja, dia hanya mendapat pasokan ikan belida sekitar 20 kg. Selain dari wilayah Palembang, populasi ikan ini berada di kawasan Ogan Komering Ilir, Musi Banyuasin, dan daerah aliran anak Sungai Musi lainnya.
Tak heran ketika pasokan itu tiba, banyak konsumsen yang sudah memesan walau dari segi harga cukup mahal, yakni Rp 130.000-Rp 150.000 per kg. ”Yang membeli (ikan belida) biasanya orang-orang kelas ’sultan’ seperti pejabat yang tentu punya kemampuan untuk membeli,” kata Solihin.
Hal senada juga disampaikan oleh Soleh (67), pedagang ikan di Pasar Sekanak Palembang. Ikan belida sudah sulit ditemui di atas tahun 2000-an. Dia mendapatkan pasokan belida dari nelayan yang tidak sengaja menjaring ikan di sungai. ”Karena memang harganya yang mahal, ikan belida tetap laku dijual,” ujarnya.
Baca juga : Rindu ”Ngirup Cuko” dan Pempek Palembang
Ikatan kuat antara warga Palembang dan iwak belido (ikan belida) tergambar dari ikon kota Palembang yang salah satunya adalah tugu ikan belida yang tuntas dibangun pada tahun 2017. ”Ikan belida begitu penting untuk masyarakat Palembang,” ujar Wali Kota Palembang Harnojoyo. Namun, terkait aturan tersebut, dia belum bisa berkomentar karena belum melihat peraturannya secara jelas. ”Saya baca dulu aturannya, baru bisa mengambil keputusan,” kata Harnojoyo.
Kepala Satuan Kerja Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (SDKP) Palembang Maputra Prasetyo menuturkan, keputusan menteri (kepmen) itu sebenarnya sudah diterbitkan sejak 4 Januari 2021, tetapi memang masih dalam tahap sosialisasi. ”Jika ada surat edaran lebih lanjut dari pimpinan, baru akan kami lakukan penindakan di lapangan,” ujarnya.
Namun, di beberapa daerah seperti di Jawa dan Kalimantan, aturan ini sudah mulai berlaku. ”Sosialisasi masih terus berjalan. Harapannya, saat kami melakukan inspeksi atau razia, tidak ada lagi industri yang menjadikan ikan belida sebagai bahan pangan,” ujar Maputra.
Ikan belida masuk dalam 19 jenis ikan yang mendapatkan status perlindungan penuh. Kebijakan ini dikeluarkan karena populasi ikan belida yang terus menyusut, apalagi sampai sekarang belum bisa dikembangbiakkan. ”Kebijakan ini dibuat agar ikan belida tidak punah,” katanya. Sanksi yang diberikan pun tak main-main, denda hingga Rp 1,5 miliar sampai dengan hukuman penjara.
Artis dan pejabat
Sejak tiga bulan lalu, Yani (70), pemilik kedai Pempek ”EK” Dempo 103, Palembang, tidak lagi menggunakan ikan belida sebagai bahan baku produknya. Padahal ikan belida menjadi keunggulan restoran yang sudah berdiri sejak 30 tahun lalu ini.
Beberapa pejabat dan artis Ibu Kota pernah singgah ke restoran ini untuk mencicipi kenikmatan pempek yang terbuat dari ikan belida ini. Sebut saja pebulu tangkis Taufik Hidayat, artis kawakan Anwar Fuady, pakar kuliner mendiang Bondan Winarno, dan pemusik Pongki Jikustik. Kedatangan artis-artis tersebut didokumentasikan dalam bingkai foto yang terpajang dalam restoran yang terletak di Lingkaran I atau yang dikenal dengan kawasan Dempo tersebut.
Selain karena sudah dilarang, lanjut Yani, ikan belida juga sudah sangat mahal. ”Kalau tetap memaksakan pakai ikan belida, tidak akan nutup,” katanya. Karena dalam 1 kilogram adonan ikan belida hanya bisa menghasilkan pempek sekitar 20 butir, yang satu butirnya dihargai Rp 7.000.
Karena itu, ucap Yani, menggunakan ikan putak lebih memungkinkan karena 1 kilogram hanya Rp 50.000-Rp 80.000. ”Ketika saya ganti bahan baku tidak membuat pelanggan lari. Karena memang tidak banyak mengubah cita rasa,” ujarnya. Ke depan, cap belida tidak akan ia gunakan lagi sebagai bran usahanya.
Hal serupa juga disampaikan oleh Sukri, pegawai Pempek Dempo 310 Palembang yang juga sudah mengganti bahan baku produk pempeknya dengan ikan putak. Langkah itu diambil karena pasokan dari Kalimantan tidak bisa lagi dia dapat setelah larangan dari pemerintah.
Namun, perubahan ini tidak mengubah cita rasa karena ikan putak memiliki rasa dan tekstur yang sama dengan ikan belida. ”Bedanya memang pada aromanya di mana ikan belida lebih terasa,” kata Sukri.
Juru Bicara Asosiasi Pengusaha Pempek (ASPPEK) Palembang Jimmy Devaten mengatakan, pihaknya belum mengetahui peraturan tersebut. ”Yang saya tahu larangan diterapkan pada industri yang melakukan eksploitasi ikan belida secara besar-besaran,” ujar Jimmy.
Kalaupun nanti aturan ini benar diterapkan, pihaknya akan melakukan sosialisasi kepada pengusaha pempek untuk segera mengganti bahan baku dengan ikan jenis lain, misalnya saja ikan gabus dan tenggiri.
Baca juga : Ikan Belida Dilarang Ditangkap, Pengusaha Pempek Siap Ganti Bahan Baku
Penggunaan ikan gabus sebagai alternatif sudah mulai diterapkan sejak tahun 2000-an ke atas. Tepatnya ketika banyak pengusaha pempek bermunculan di Palembang. Pada periode 1970-1990, belida masih menjadi bahan baku utama pembuat pempek. ”Kondisinya semakin kritis karena memang ikan jenis ini sulit dikembangbiakkan,” kata Jimmy.
Kini, produksi pempek di Sumsel terus meningkat bahkan di hari normal bisa mencapai 25 ton per hari. Namun, saat pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM), produksi bisa turun sampai 30 persen. Ini masih lebih baik dibandingkan awal pandemi lalu, di mana produksi pempek turun hingga 80 persen.
Perubahan bahan baku pempek bukan yang pertama kali terjadi. Awalnya pempek menggunakan ikan tengkeleso (Scleropages formosus). Namun karena keberadaannya yang terus menyusut, lambat laun bahan baku diganti dengan ikan belida. Saat ikan belida kembali langka, bahan baku pempek juga berubah menjadi ikan tenggiri, gabus, dan kakap.
Menurut Jimmy, perubahan ini tidak mengubah kekhasan pempek, sebaliknya orang Palembang akan mencari cara untuk melestarikan makanan khasnya walau harus mengubah bahan baku ikannya.
Ketua Masyarakat Sejarawan Sumatera Selatan Farida Wargadalem menuturkan, pada hakikatnya pempek atau yang dulu dikenal dengan istilah kelesan merupakan gambaran dari betapa kreatifnya warga Palembang.
Walaupun sumber daya terbatas, asal ada cuko (saus pempek) semua bisa dijadikan bahan pembuat pempek. ”Apa yang ada di dapur pasti bisa diolah menjadi pempek. Bahkan nasi bekas pun bisa,” ujarnya.
Sejak masa Kedatuan Sriwijaya bahan baku pembuat pempek sudah tertera dalam prasasti talang tuwo. Ditambah lagi, adanya aliran Sungai Musi yang menyediakan beragam ikan yang melimpah. Dengan kekayaan inilah, warga Palembang yang sudah menjadi kota peradaban terus berkembang termasuk kekayaan kulinernya.
Bernegosiasi
Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Sumatera Selatan Widada Sutrisna kecewa dengan keputusan ini. Menurut dia, kebijakan ini akan membuat variasi pempek dan pindang Palembang akan sedikit berkurang.
Selama ini, ujar Widada, bahan baku ikan belida bukan berasal dari Sumsel, melainkan dari Kalimantan dan Riau. Ini karena di wilayah itu ikan belida tidak dijadikan bahan konsumsi. ”Bahkan, kebanyakan ’dibuang-buang’. Itulah sebabnya kita yang ambil,” ujarnya.
Dirinya akan berupaya untuk kembali bernegosiasi dengan Kementerian Kelautan dan Perikanan agar aturan ini dilonggarkan di Palembang karena ikan belida sangat disukai oleh masyarakat Palembang. Toko pempek ternama menggunakan ikan belida sebagai bahan bakunya. ”Harapannya, masih ada solusi yang bisa disepakati bersama,” ujarnya.
Harapan yang sama juga disampaikan oleh Nelly, agar izin berjualan ikan belida tetap diberikan. ”Kami hanya bisa berharap pada pejabat. Toh, mereka juga yang sering menikmati iwak belido (ikan belida),” ujarnya.