Minim Solusi dari Pemerintah, Warga di NTT Rebutan Air Bersih dengan Sapi
Persoalan air bersih yang terjadi setiap tahun di Nusa Tenggara Timur minim solusi konkret dari pemerintah setempat. Warga terpaksa menggunakan air keruh, bahkan sampai harus berebut dengan ternak sapi.
Oleh
FRANSISKUS PATI HERIN
·3 menit baca
KUPANG, KOMPAS — Krisis air bersih di Provinsi Nusa Tenggara Timur yang terjadi setiap tahun minim solusi konkret dari pemerintah daerah setempat. Masyarakat berjuang sendiri mencari solusi, termasuk harus berebut air bersih dengan ternak sapi. Komitmen pemerintah terhadap pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat pun dipertanyakan.
Hingga Jumat (3/9/2021), hampir semua wilayah di NTT masih dilanda kekeringan akibat kemarau yang masih berkepanjangan. Belasan kabupaten mengalami kekeringan ekstrem lantaran hampir enam bulan tidak terjadi hujan. Kondisi itu diperkirakan berlangsung hingga Desember.
Warga di sejumlah daerah kian kesulitan. ”Sumur-sumur sudah kering semua. Kami patungan untuk membeli air tangki dengan harga Rp 700.000,” kata Ayub Marin (45), warga Desa Rabeka, Kecamatan Amarasi Timur, Kabupaten Kupang, yang dihubungi pada Jumat pagi.
Air dari tangki dimaksud hanya digunakan untuk minum dan masak, serta sedikit untuk mandi. Banyak warga setempat tidak selalu mandi dua kali sehari. Ada yang hanya mencuci muka, bahkan tidak mandi selama beberapa hari. Kondisi ini sudah terjadi sejak dulu.
”Tiap kali pemilihan bupati atau gubernur, janji pertama mereka ialah membantu (pengadaan) air bersih. Tapi, sampai selesai masa jabatan, hal itu tidak direalisasikan. Ganti pejabat yang baru, hasilnya juga sama saja. Jadi, kami masyarakat yang urus sendiri,” katanya.
Kondisi serupa dialami kampung-kampung lainnya di Kabupaten Kupang, seperti di Kecamatan Amarasi Barat hingga Kecamatan Takari. Di sana, warga mengambil dari sisa genangan air di embung atau dari mata air yang hampir kering.
Tiap kali pemilihan bupati atau gubernur, janji pertama mereka ialah membantu (pengadaan) air bersih. Tapi, sampai selesai masa jabatan, hal itu tidak direalisasikan. Ganti pejabat yang baru, hasilnya juga sama saja. Jadi, kami masyarakat yang urus sendiri.
Bupati Kupang Korinus Masneno yang diwawancarai pada pekan lalu mengatakan, pihaknya sudah berusaha optimal dalam pengadaan air bersih dengan membangun sumur bor dan embung. Namun, lantaran kondisi bawah tanah berupa rongga karang, air dengan cepat meresap.
”Kalau kondisi alamnya seperti itu, kita mau bagaimana lagi?” ujarnya. Solusi dari Korinus ialah membangun bendungan. Namun, hal itu butuh biaya mencapai ratusan miliar rupiah. Anggaran pendapatan dan belanja daerah tidak cukup.
Yoseph Astro (38), warga Desa Manulea, Kecamatan Sasitamean, Kabupaten Malaka, menuturkan, di desa itu, banyak keluarga yang menggunakan air keruh untuk mandi dan mencuci di kali yang mulai mengering. Air dimaksud juga diminum sapi.
”Jadi, setiap sore itu, mereka harus cepat sampai ke kali sebelum kawanan sapi tiba. Kadang, mereka terlambat datang. Setiap hari, mereka berlomba dengan sapi untuk rebutan air,” kata Joseph seraya menambahkan, pengguna air itu kebanyakan orangtua yang sudah sepuh.
Wilayah Kabupaten Malaka terdiri dari pegunungan dan pesisir. Wilayah pegunungan rawan krisis air, sedangkan wilayah pesisir melimpah air. Joseph berharap agar ada solusi dari pemerintah daerah untuk mengalirkan air dari wilayah berkelimpahan tersebut.
Sementara itu, Sekretaris Daerah NTT Benediktus Polo Maing mengatakan, solusi persoalan krisis air bersih sempat dibahas dalam rapat lintas dinas pada Rabu (1/9/2021). Sejumlah langkah teknis sedang disiapkan. ”Masih dikoordinasikan lintas stakeholder,” ucapnya.