Perang Sunyi Anak Muda di Medan Uji Sampel Virus Covid-19 NTT
Tim Laboratorium Biomolekuler Kesehatan Masyarakat NTT terus bekerja di tengah tekanan yang tidak mudah dan menguras energi. Polemik penutupan pun sudah terselesaikan.
Oleh
FRANSISKUS PATI HERIN
·5 menit baca
Penutupan Laboratorium Biomolekuler Kesehatan Masyarakat Nusa Tenggara Timur menjadi ironi di tengah upaya pengendalian pandemi. Laboratorium itu menjadi salah satu ujung tombak pemeriksaan sampel Covid-19 oleh para analis muda.
Lintang Dima (25) berbalut hazmat, masker berlapis, dan kaca bening melindungi wajah. Sendirian di dalam ruangan bersuhu 20 derajat celsius dengan tekanan minus 10, perempuan itu tengah berada di pusaran virus korona baru, Covid-19. Ia bekerja dalam sunyi, penuh tekanan psikologis, jauh dari puja-puji serta tepuk tangan.
Dengan bantuan pipet, tangan Lintang menyedot satu per satu lendir yang tersimpan dari dalam ratusan viral transport medium (VTM), kemudian memasukkan lagi ke dalam wadah baru untuk diekstraksi. VTM merupakan media penyimpanan sampel yang diambil saat tes usap Covid-19.
Ratusan VTM di ruangan itu baru saja dibawa dari sejumlah lokasi di Kota Kupang dan kabupaten lainnya di Nusa Tenggara Timur. Ruang tempat Lintang bekerja adalah Laboratorium Biomolekuler Kesehatan Masyarakat Provinsi NTT di Kota Kupang yang mulai beroperasi pada Oktober 2020.
Sesekali ia berhenti melemaskan otot tangan, menutup matanya beberapa detik. Ia tampak kelelahan selama lebih kurang dua jam memindahkan sampel itu sampai selesai. Setelah diekstraksi, sampel dipindahkan ke mesin pemeriksaan reaksi berantai polimerase (PCR). Lalu, ia baru boleh keluar ruangan.
Enam hingga delapan jam kemudian, hasil pemeriksaan PCR disambut analis, Erni Sustika Jawa (24). Erni yang duduk di depan layar komputer memasukan angka, huruf, dan simbol ke dalam kolom tabel. Sesekali ia memperbaiki letak kacamatanya. Kerja penuh konsentrasi agar hasilnya akurat. Jangan sampai keliru.
Di NTT, hasil tes PCR tak jarang menimbulkan kehebohan tersendiri. Warga atau pihak keluarga yang terkonfirmasi positif Covid-19, kadang tidak percaya pada hasil tes tersebut. Mereka menolak. Hasil kerja laboran dengan proses yang panjang seakan tidak dihargai. ”Harus cek, verifikasi, baca ulang, teliti. Tidak boleh salah,” kata Erni.
Di ruangan itu terdapat 18 anak muda berusia di bawah 30 tahun yang bekerja siang dan malam mengolah sampel dan menganalisis hasilnya. Terkadang pula, mereka turun langsung mengambil sampel dari warga. Senin (30/8/2021) misalnya, mereka mengambil sampel di Biara Karmel untuk penelusuran kontak. Ada anggota biara yang kontak erat dengan orang terinfeksi Covid-19.
Masih pada hari yang sama, mereka juga mengambil sampel calon mahasiswa yang hendak pergi kuliah di Pulau Jawa. ”Dari 18 orang, kami berbagi tugas. Tapi rata-rata kami bisa semua. Mulai dari pengambilan swab sampai analisis,” kata juru bicara Laboratorium Biomolekuler Kesehatan Masyarakat Provinsi NTT, Lina Selan.
Ia menuturkan, setiap hari, mereka mulai bekerja pada pukul 08.00 hingga paling lama pukul 03.00 keesokan harinya. Awalnya, mereka bekerja sebagai sukarelawan, tetapi oleh pemerintah diangkat menjadi pegawai tidak tetap dengan honor sesuai standar upah minimum setempat, Rp 2,1 juta.
Kami hidup di tengah pusaran virus jadi harus hati-hati. (Lina Selan)
Penghasilan itu tidak sebanding dengan beban kerja serta risiko yang mereka hadapi. Per hari rata-rata mereka memeriksa 320 sampel. Hingga Senin (30/8/2021) itu, mereka sudah memeriksa 15.143 sampel Covid-19. Karena itu, mereka sangat rentan terpapar Covid-19.
Setiap pekan, secara rutin mereka menjalani tes PCR. Sudah lima anggota tim pernah terpapar Covid-19 dan kini sembuh. ”Kami hidup di tengah pusaran virus jadi harus hati-hati,” kata Lina.
Polemik penutupan
Kehadiran laboratorium itu sangat membantu pengendalian Covid-19 di NTT yang hingga 1 September 2021 mencapai 59.449 orang terkonfirmasi positif dengan korban meninggal 1.196 orang. Setiap sampel yang masuk secepatnya diperiksa. Jika hasilnya positif, segera ditindaklanjuti penelusuran kontak. Laju penularan pun dibendung.
Di luar rantai penularan, pihak laboratorium juga membantu tes PCR bagi pelaku perjalanan yang membutuhkan bantuan segera, seperti mereka yang hendak kuliah di luar NTT. Untuk penerbangan ke luar NTT, penumpang wajib menunjukkan hasil tes PCR. Pengambilan sampel hingga pemeriksaan tanpa dipungut biaya.
”Kalau harus bayar tes PCR di tempat lain, ini sangat membebani kami yang berasal dari keluarga miskin. PCR gratis sangat membantu kami,” kata Kapenga Taba Homba (22), warga Pulau Sumba yang hendak kuliah di Malang, Jawa Timur. Adapun harga tes PCR di Kota Kupang masih di atas Rp 500.000 sekali tes.
Di tengah apresiasi publik, pekan lalu, laboratorium itu mendapat tekanan bertubi-tubi. Secara mengejutkan, Dinas Kesehatan Kota Kupang menutup laboratorium itu lantaran dianggap tidak memenuhi standar Laboratorium Bio Safety Level 2 (BSL-2). Penutupan itu setelah dokter patologi di laboratorium itu mengundurkan diri. Pengelola laboratorium dilaporkan ke Polda NTT. Polda pun mengeluarkan panggilan.
Tak hanya itu, Rektor Universitas Nusa Cendana Fredrik L Benu sempat bersitegang dengan pengurus di laboratorium itu. Hal itu terkait keberadaan laboratorium yang menggunakan gedung kampus Universitas Nusa Cendana. Insiden yang berawal dari kesalahpahaman itu terjadi beberapa hari setelah penutupan laboratorium.
Penutupan laboratorium yang diresmikan mantan Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto dan Gubernur NTT Viktor Bungtilu Laiskodat pada 16 Oktober 2020 itu mengejutkan publik. Berdirinya laboratorium itu atas kolaborasi gagasan tiga entitas, yakni Pemprov NTT, Forum Academia NTT, dan Universitas Nusa Cendana.
Polemik itu pun akhirnya dibawa ke Rapat Dengar Pendapat Komisi IV DPRD Provinsi NTT, Jumat (27/8/2021). Dalam rapat itu, terbangun kesepakatan bahwa laboratorium tetap beroperasi. Pihak pengelola pun diminta mencari pengganti dokter patologi yang mundur.
Fredrik mengatakan, masalah tersebut sudah diselesai sehingga laboratorium bisa kembali beroperasi. Ia juga berjanji akan memberi bantuan jika diperlukan, melanjutkan kembali kolaborasi yang sudah terjalin selama ini. "Tidak ada masalah lagi. Semua berjalan kembali," kata Fredrik lewat sambungan telepon.
Sementara itu, Elcid Li dari Forum Academia NTT mengatakan, kehadiran labortorium dengan metode tes massal berbasis PCR itu merupakan inovasi dua ahli biomolekuler asal NTT, yakni Fima Inabuy dan Alfred Kono. Ini harus menjadi kebanggaan masyarakat NTT. Perlu dukungan moril dari semua lapisan masyarakat agar semangat anak muda yang ”berperang” dalam ruang sunyi itu tetap menyala.