Mayoritas Jatim Masuk Musim Hujan Oktober-November, Waspadai Potensi Bencana
Hanya 1,7 persen wilayah Jatim memasuki musim hujan, akhir September. Mayoritas pada Oktober-November dengan puncak musim hujan Januari-Februari. Pemangku kepentingan dan warga diingatkan mengantisipasi bencana.
Oleh
DEFRI WERDIONO
·3 menit baca
MALANG, KOMPAS — Sebagian besar daerah di Jawa Timur bakal memasuki musim hujan pada Oktober dan November 2021. Adapun puncak musim hujan sebagian besar diperkirakan pada Januari-Februari 2022. Seluruh warga dan pemangku kepentingan diminta waspada potensi bencana hidrometeorologi.
Daerah yang memasuki musim hujan pada dasarian III September adalah kawasan di selatan Gunung Semeru. Adapun daerah yang memasuki musim hujan dasarian I Desember atau terakhir ialah kawasan Situbondo. Kawasan tengah ke selatan di Jawa Timur relatif memasuki musim hujan lebih dulu ketimbang wilayah utara.
Menghadapi pergantian dan datangnya musim hujan, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mengingatkan semua pemangku kepentingan dan masyarakat untuk waspada terhadap potensi bencana hidrometeorologi.
Kepala BMKG Stasiun Klimatologi Malang Anung Suprayitno mengatakan, ada 46,7 persen (28 zona musim) daerah yang diprediksi memasuki musim hujan pada Oktober dan 48,3 persen (29 zona) pada November.
”Dibandingkan kondisi normal, awal musim diperkirakan maju (33 zona), 20 zona sama, dan tujuh zona lebih lambat. Terkait sifat hujan prakiraan normal terdapat pada 39 zona dan di atas normal ada 21 zona,” ujar Anung dalam rilis prakiraan musim hujan secara virtual, Kamis (2/9/2021). Hadir membuka acara, Kepala Pusat Informasi Perubahan Iklim BMKG Dodo Gunawan.
Adapun prakiraan curah hujan di Jawa Timur berkisar 1.000-2.000 milimeter (mm) dalam satu musim atau menengah-tinggi. Hal ini perlu dicermati oleh pengelola yang berkaitan dengan sumber daya air, seperti bendungan, dalam pengambilan kebijakan.
”Daerah hulu Bengawan Solo dan daerah aliran sungai hulu Brantas, curah hujannya menengah-tinggi. Sebaliknya, untuk daerah Tapal Kuda, curah hujannya relatif lebih sedikit dibandingkan dengan daerah lain,” kata Anung yang mengingatkan bulan Januari dan Februari menjadi masa puncak antisipasi potensi bencana.
Anung juga menjelaskan dinamika atmosfer dan dampaknya terhadap hujan. Dari hasil analisis tim BMKG, suhu muka laut sepanjang 2021 masih cukup hangat. Kondisi ini berkolaborasi dengan fase basah dan pemicu lain berkontribusi pada penambahan uap air selama 2021.
”Sementara soal Enso–Iod (El Nino Southern Oscilation-Indian Dipole Mode), hingga akhir tahun, pada posisi normal atau netral. Adapun peluang La Nina akan kami cermati lagi karena ada potensi La Nina di akhir 2021,” katanya. Anung menambahkan, kondisi cuaca ini tidak hanya dicermati dalam rangka menghadapi potensi bencana, tetapi juga pola tanam.
Terkait antisipasi ancaman bencana hidrometeorologi, Kepala Stasiun Meteorologi Juanda Sidoarjo Taufik Hermawan menyarankan agar diawali sebelum masuk musim hujan. Antisipasi harus cepat dan tepat supaya jatuhnya korban jiwa dan harta bisa ditekan. Dia pun berharap informasi mitigasi yang disampaikan bisa menyentuh lapisan masyarakat paling bawah.
Bencana yang biasa terjadi di Jawa Timur pada masa peralihan cuaca adalah puting beliung, hujan lebat, dan angin cepat sesaat. ”Puncak musim hujan juga perlu diwaspadai oleh seluruh pemangku kepentingan dari Bangkalan hingga Sumenep, dari Pacitan hingga Banyuwangi. Bencana hidrometeorologi sebisa mungkin tidak memakan korban jiwa dan harta,” kata Taufik.