Hampir Rp 900 Miliar Potensi Pajak Sawit Jambi Tahun 2020 Tak Tercapai
Hasil riset mendapati ada kesenjangan besar antara potensi dan realisasi pajak dari sektor sawit di Jambi.
Oleh
IRMA TAMBUNAN
·3 menit baca
JAMBI, KOMPAS — Potensi pajak sektor sawit sebesar Rp 2,9 triliun di Jambi pada 2020 hanya tercapai Rp 2,08 triliun. Realisasi pajak dengan selisih hampir Rp 900 miliar di daerah penghasil sawit itu memerlukan penelusuran lebih lanjut.
Pengampanye Transformasi untuk Keadilan (TuK) Indonesia, Linda Rosalina, Selasa (31/8/2021), mengatakan, potensi pendapatan negara dari sawit di Jambi sangatlah besar. Apalagi luas tanaman sawit terus meningkat. Analisis penginderaan jarak jauh mencatat luas tutupan sawit di wilayah itu 792.000 hektar, yang sebagian besar merupakan tanaman sawit produktif dengan produksi tandan buah segar 12 juta ton tahun 2020.
Namun, hasil riset TuK dan Walhi Jambi mendapati ada kesenjangan yang besar antara luasan lahan sawit serta besarnya potensi dan pencapaiannya. Pada 2020, potensi pencapaian pajak sektor sawit sebesar Rp 2,90 triliun dari PBB dan Pajak Pertambahan Nilai. Realisasinya hanya Rp 2,08 triliun, di bawah target realisasi dari negara Rp 2,16 triliun.
Selisih antara realisasi dan potensi pajak sawit hingga sekitar Rp 900 miliar itu menandakan ada persoalan. ”Penggalian potensi yang tidak optimal ini menjadi sinyal untuk perlu segera ditindaklanjuti negara bilamana ada dugaan korupsi,” katanya dalam paparan media atas hasil riset ”Pendugaan Potensi Pajak Sawit di Provinsi Jambi”, Selasa (31/8/2021).
Menurut Linda, sebagai penghasil sawit 10 besar nasional, sudah selayaknya Jambi memperoleh keuntungan dan manfaat besar. Namun, hal itu tidak tecermin dalam pendapatan asli daerah Jambi yang justru terbilang rendah. Pendapatan terbesar di daerah itu malahan berasal dari Pajak Kendaraan.
Di sisi lain, Jambi masuk dalam langganan kebakaran hutan dan lahan yang kerap terjadi terkait pembukaan lahan untuk sawit. Pembukaan sawit juga kerap berbenturan dengan kepentingan masyarakat.
Temuan tim riset itu, di antaranya ada kesenjangan data pengusahaan perkebunan sawit. Banyak perusahaan sawit secara eksisting beroperasi tanpa hak guna usaha (HGU) dan tidak dikategorikan kebun besar, sehingga lolos dari obyek pajak.
Luas tutupan sawit yang berada di dalam kawasan hutan mencapai 94.940 hektar atau 11,99 persen total luas tutupan sawit provinsi itu. Sementara areal HGU yang berada di dalam kawasan hutan seluas 6.891 hektar atau 2,40 persen dari total luas HGU. Penegak hukum perlu menelusuri lebih jauh mengenai praktik-praktik itu.
Manajer Kajian dan Penguatan Informasi Walhi Jambi, Dwi Nanto, mengatakan pemerintah daerah perlu berpikir ulang untuk menjadikan sawit sebagai penopang pembangunan di wilayahnya. Hasil pemantauan menunjukkan perluasan kebun lebih banyak membawa risiko kerusakan lingkungan dan konflik sosial.
Sepanjang tahun 2015, industri dan perkebunan sawit berkontribusi besar dalam bencana karhutla dan kabut asap. Setidaknya ada 46 korporasi yang arealnya terbakar. Kebakaran berulang di atas lahan 39 korporasi tadi.
”Ini mencerminkan ketidakpatuhan mereka, termasuk pula dalam hal pembayaran pajak,” tambahnya. Karena itu, pemerintah daerah perlu melakukan upaya progresif untuk mengoptimalkan pendapatan negara dari pajak sektor sawit.
Anggota tim periset, Rudiansyah, mengatakan penting untuk melihat lebih jauh potensi sumber daya alam di daerah secara utuh untuk meningkatkan sumber pendapatan negara dari pajak. Daerah memiliki banyak komoditas potensial untuk dikembangkan.