Meski mangrove diyakini menjadi benteng alam yang menyelamatkan kehidupan warga pesisir saat badai dan gelombang tinggi air laut mendera, kesadaran untuk merawat mangrove masih rendah.
Oleh
KORNELIS KEWA AMA
·6 menit baca
Hamparan pohon mangrove di pesisir Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur, tepatnya di Kelurahan Oesapa, masih berdiri tegak. Setiap air pasang dan gelombang tinggi mengancam, mangrove tetap jadi penyelamat kehidupan warga. Sayangnya, kawasan seluas 8 hektar itu tak terawat. Kegiatan penanaman mangrove di kawasan itu lebih dominan karena proyek semata.
Marthen Bahan (53), warga kelurahan Oesapa Kota Kupang, menarik napas panjang saat mengenang kembali peristiwa badai Seroja, 3-5 April 2021. Sambil menunjuk putri ketiganya, Anita Bahan (5), di sampingnya, ia menuturkan, anaknya itu nyaris tenggelam pada Minggu (4/4/2021) sekitar pukul 13.00 Wita. Anita terpeleset dan jatuh saat mereka sekeluarga hendak menyelamatkan diri dari terjangan badai.
”Kami lalu berusaha ke luar rumah, tetapi dikepung air banjir. Kami bergerak perlahan di tengah banjir untuk berdiri di tanggul pemecah pantai setinggi sekitar 1 meter. Kami takut terjadi tsunami sehingga berdiri persis di depannya ada rimbunan pohon mangrove,” tutur Bahan.
Benar saja. Gelombang setinggi sekitar 3 meter datang dari arah Laut Timor. Keluarga Bahan selamat karena gelombang ait laut terhalang rimbunan pohon mangrove yang tingginya mencapai 7 meter.
”Kami diselamatkan mangrove. Jika tidak ada mangrove, gelombang itu bakal menyapu kami,” kenang Bahan.
Di kawasan lain yang tidak ditumbuhi mangrove, gelombang air laut akibat Badai Seroja mendera pemukiman warga dan fasilitas umum. Saat itu, sebagian warga sudah mengungsi.
Selamat dari empasan gelombang air laut, keluarga Bahan berjibaku keluar dari kepungan banjir. Mereka berhasil keluar dari wilayah itu dengan menumpang mobil pikap milik tetangga.
Saat itu, kabut hitam menutup wilayah sekitar sehingga tampak seperti suasana menjelang malam hari. Padahal, jarum jam masih pukul 13.00 Wita. Jarak pandang pun hanya sekitar 100 meter.
Mobil pikap yang mereka tumpangi menerobos banjir jalanan Kota Kupang menuju gedung SD Kelapa Lima. Bangunan sekolah itu berjarak sekitar 5 kilometer dari rumah mereka, berada di ketinggian sekitar 40 meter di atas permukaan air laut.
Kami diselamatkan mangrove. Jika tidak ada mangrove, gelombang itu bakal menyapu kami. (Marthen Bahan)
Sementara itu, ratusan rumah warga di sepanjang bibir pantai itu pun terendam banjir dan air pasang. Tidak ada korban jiwa saat itu. Hanya sebagian rumah dan perabot rumah tangga rusak diterjang badai dan terendam banjir. Rumah-rumah yang di depannya berdiri pohon mangrove relatif aman.
Muhamat Ola (43), nelayan Oesapa, juga merasakan dampak badai Seroja. Menetap di bibir pantai yang tidak ditumbuhi mangrove, rumahnya rusak saat badai menerpa dan gelombang air laut masuk ke daratan sejauh 100 meter dari bibir pantai. Beruntung saat itu sebagian besar warga sudah mengungsi. Ola menyaksikan tanggul setinggi satu meter yang dibangun di bibir pantai tidak mampu menghadang gelombang laut.
Kerusakan mangrove
Bahan dan keluarganya memang merasakan betul manfaat mangrove di kawasan pesisir itu, saat selamat dari bencana badai Seroja. Oleh karenanya, ia prihatin dengan kondisi mangrove yang tak terawat di sebagian titik di bibir pantai Kelurahan Oesapa. Meski sebagian masih berdiri tegak, tidak sedikit tanaman mangrove yang mengering. Sebagian lagi ditebang untuk kayu bakar, kandang ternak, dan tiang bangunan rumah.
Hampir di sepanjang bibir pantai itu tiap tahun ada kegiatan penanaman mangrove. Pemerintah Kota Kupang melaksanakan program penanaman mangrove di kawasan pesisir. Namun, tidak semua mangrove yang ditanam itu tumbuh subur karena tidak ada yang menjaga dan merawat sampai mangrove itu tumbuh tinggi.
Tahun-tahun sebelumnya, setiap bulan Agustus, Dinas Kelautan dan Perikanan Kupang mendata jumlah anakan mangrove yang dibudidayakan masyarakat setempat. Selanjutnya, mangrove dibeli untuk kemudian ditanam di kawasan pesisir. Namun, tahun ini belum ada pendataan untuk pembelian mangrove yang dibudidayakan warga.
”Ada kegiatan penanaman hampir setiap tahun. Sesuai program tahun 2020 sekitar 8 hektar kawasan yang harus ditanami, tetapi hanya sekitar 2.000 meter persegi terealisasi. Itu pun tidak dirawat sehingga saat gelombang datang, tanaman itu tergerus arus kemudian hanyut. Tidak satu pun anakan berhasil tumbuh,” kata Ola.
Sejumlah perguruan tinggi di Kota Kupang peduli terhadap kawasan mangrove di sana. Para mahasiswa hampir setiap tahun menanam mangrove di bibir pantai. Kegiatan itu dimulai sejak 2008-2017.
Sejak Pemkot Kupang membangun tanggul pemecah pantai di sepanjang bibir pantai pada 2017, kegiatan budidaya mangrove pun tak lagi berjalan masif. Kehadiran tanggul sepanjang 4 kilometer ini pun malah cenderung mendorong warga bersikap apatis dan membiarkan kondisi mangrove semakin tak terawat.
”Kerusakan mangrove pascapembangunan tanggul jauh lebih buruk dibanding kondisi sebelum ada pembangunan. Mungkin saja masyarakat beranggapan tanggul itu sudah bisa menahan gempuran gelombang tinggi sehingga tidak perlu lagi ada mangrove,” kata Bahan.
Di sepanjang Pantai Oesapa, mangrove tumbuh secara alamiah. Hanya ada beberapa pohon hasil budidaya dari mahasiswa Kupang. Program budidaya mangrove dari pemerintah melalui kelompok masyarakat kurang berhasil. Meski warga sadar akan manfaat mangrove, nilai proyek lebih diperjuangkan ketimbang merawat dan mencintai mangrove.
Ola berharap ada upaya serius dari semua pihak untuk menangani mangrove sepanjang pantai. Jika tidak, suatu ketika mangrove bakal sirna dan potensi kerugian akibat bencana kian besar.
Sekretaris RW II Kelurahan Oesapa Kota Kupang Frits Loloh mengatakan, kawasan Pantai Oesapa selalu mendapat dukungan pemerintah untuk pengembangan mangrove. Setiap tahun selalu ada kegiatan penanaman mangrove. Sayangnya, program itu dilakukan bulan Desember saat cuaca sedang buruk. Akibatnya, kebanyakan mangrove gagal tumbuh.
Usai penanaman, anakan mangrove itu langsung rusak diterjang gelombang tinggi yang menggerus pasir di sepanjang bibir pantai. Sebagian dari mangrove itu tercabut dan hilang dibawa arus laut.
Contohnya pada Desember 2020, 27 keluarga yang menjadi anggota kelompok pembudidaya mangrove ”Risopora” menanam di areal seluas 8 hektar. Program ini dari Kementerian Kelautan dan Perikanan. Tetapi, tidak satu pun dari 10.000 anakan mangrove yang ditanam itu berhasil tumbuh.
”Jumlah kepala keluarga yang berdiam di sepanjang pantai kelurahan Oesapa sejauh 3 km ini sekitar 540 orang. Tetapi, tidak satu pun kepala keluarga atau individu yang memiliki kepedulian khusus terhadap mangrove, kecuali membudidaya anakan mangrove untuk dijual kepada pemerintah,” kata Loloh.
Pihak RT dan RW setempat sering menggerakkan masyarakat untuk peduli mangrove. Akan tetapi, upaya itu belum memunculkan semangat berkorban dari warga. Loloh mengakui, tidak menutup kemungkinan warga juga kecewa karena setiap selesai penanaman, gelombang datang menghanyutkan anakan mangrove itu, sebelum tumbuh dan akar menguat.
Untuk itu, Loloh mengusulkan agar dana bantuan untuk budidaya dan penanaman mangrove direalisasikan pada Juli-Oktober sehingga kondisi cuaca laut masih relatif aman. Selama ini dana itu dicairkan pada Desember.
”Begitu mangrove ditanam bulan Desember, cuaca laut buruk datang dan langsung merusak tanaman itu sehingga gagal tumbuh,” kata Loloh.
Upaya pelestarian mangrove untuk melindungi kawasan pesisir memang tidak bisa lagi sebatas menggunakan pendekatan proyek. Dibutuhkan kesadaran seluruh pihak untuk merawat mangrove demi mitigasi bencana dan keselamatan warga.