Kolaborasi Jadi Jalan Keluar Paradoks Pengelolaan Hutan Papua
Pengelolaan hutan Papua yang berorientasi kayu hanya melahirkan paradoks bagi masyarakat. Perlu kolaborasi hingga komitmen kuat pemerintah mengubah paradigma pengelolaan hutan selain kayu untuk kesejahteraan bersama.
Oleh
SAIFUL RIJAL YUNUS
·4 menit baca
KENDARI, KOMPAS — Paradigma pengelolaan hasil hutan selain kayu di Papua harus diutamakan untuk kesejahteraan masyarakat. Sebab, selama puluhan tahun, hasil hutan berupa kayu hanya melahirkan paradoks terhadap taraf hidup masyarakat akibat tingginya korupsi dan lemahnya penegakan hukum. Kolaborasi, pendampingan, hingga komitmen pemerintah menjadi tumpuan untuk kesejahteraan bersama.
Hal ini menjadi benang merah dalam diskusi virtual bertajuk ”Keragaman Hayati, Tata Kelola Hutan, dan Korupsi Lahan di Papua Barat” pada Selasa (31/8/2021). Hadir dalam diskusi ini Dekan Fakultas Kehutanan Universitas Papua Jonni Marwa, Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah (Balitbangda) Provinsi Papua Barat Prof Charlie Danny Heatubun, Kepala Satgas Korsup Wilayah V Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Dian Patria, serta Direktur Bentara Papua Yanuarius Anouw.
Jonni Marwa menjabarkan, selama puluhan tahun, pengelolaan hasil hutan Papua hanya menciptakan paradoks di tengah masyarakat. Dengan potensi kayu komersial mencapai 540 juta meter kubik, jika diolah sedikitnya memiliki nilai 500 miliar dollar AS atau sekitar Rp 7.000 triliun. Tanaman sagu yang dalam setiap hektarnya bisa mencapai 200 pohon, jika diolah memiliki potensi ekspor hingga 13 miliar dollar AS atau sekitar Rp 182 triliun.
”Akan tetapi, kondisi Provinsi Papua dan Papua Barat selalu berada di urutan pertama dan kedua paling bawah dalam indeks kesejahteraan Indonesia. Ini merupakan hal yang sangat paradoks di tengah kekayaan alam yang begitu melimpah,” kata Jonni.
Selama 1990-2018, ia melanjutkan, di wilayah Papua terjadi deforestasi sebanyak 2 juta hektar lahan. Sementara itu, sebanyak 4,3 juta hektar lahan mengalami degradasi akibat pembukaan lahan secara masif.
Kemudahan izin pengelolaan hutan di masa lalu membuat perusahaan skala besar mengakali banyak hal untuk mengeruk keuntungan. Praktik korupsi juga terjadi di sejumlah level sehingga membuat degradasi hutan semakin masif.
Oleh karena itu, ujar Jonni, salah satu langkah sederhana yang harus dilakukan adalah mengubah paradigma pengelolaan hutan yang selama ini berfokus pada hasil kayu serta industri skala besar. Pengelolaan hasil bumi, buah-buahan, dan hasil hutan lainnya yang dilakukan masyarakat menjadi jalan keluar untuk menciptakan kesejahteraan secara luas.
”Kayu itu masa lalu, hasil hutan lainnya yang menjadi masa depan. Tata kelola pengelolaan hutan harus diperbaiki dengan menggandeng semua unsur agar dampaknya dirasakan masyarakat hingga level paling bawah,” tutur Jonni.
Dian Patria menjelaskan, tingkat korupsi pengelolaan hasil hutan terjadi hampir di semua lini. Hal ini tidak hanya melahirkan kerugian negara, tetapi juga kerugian masyarakat secara umum. Praktik korupsi diwarnai dengan pengambilan kayu secara ilegal, dibeli dengan harga murah di masyarakat, lalu dijual ke luar negeri dengan harga berlipat.
Meski belum ada hitungan potensi kerugian negara dari pengelolaan hasil hutan di Papua, menurut Dian, secara kasar penerimaan negara hilang sebanyak 80 persen akibat praktik korupsi. Tidak hanya itu, dampak lingkungan semakin nyata dengan banjir yang rutin melanda daerah di Papua akibat rusaknya kawasan hulu hingga hilir.
”Oleh karena itu, kami menyambut baik deklarasi Papua Barat sebagai provinsi konservasi. Di mana saat ini ditandai dengan pencabutan izin konsesi sejumlah perusahaan kelapa sawit yang melanggar izin. Kami berharap Papua tetap menjadi masa depan Indonesia dan tidak seperti daerah lain yang hutannya habis,” tambahnya.
Bersama mitra kami juga membuka peluang usaha masyarakat di kategori komoditas unggulan daerah yang mempunyai nilai tinggi dan nondeforestasi.
Kepala Balitbangda Papua Barat Prof Charlie Danny Heatubun mengungkapkan, paradigma pengelolaan hutan memang harus diubah, baik di tingkat masyarakat maupun di level pemerintah. Sebab, paradoks kesejahteraan yang terjadi selama ini selalu membuat Papua Barat dan Papua di urutan buncit tingkat kemiskinan nasional.
Selama beberapa waktu terakhir, kata Charlie, pemerintah daerah di Papua Barat telah melakukan evaluasi perizinan pengelolaan hutan yang diawali di perkebunan kelapa sawit. Ke depan, izin-izin lain akan dievaluasi untuk pengelolaan yang berkelanjutan.
”Tidak hanya itu, bersama mitra kami juga membuka peluang usaha masyarakat di kategori komoditas unggulan daerah yang mempunyai nilai tinggi dan nondeforestasi. Kami membentuk tim koordinasi dari hulu ke hilir, mengembangkan science technopark, melatih masyarakat, dan mengarahkan usaha masyarakat untuk produk turunan dan ekonomi kreatif,” tuturnya.
Charlie menambahkan, hal tersebut merupakan langkah-langkah yang terus diupayakan agar masyarakat mendapatkan nilai tambah dari sektor nonkayu sekaligus mengubah paradigma pengelolaan hasil hutan.
Sementara itu, Direktur Bentara Papua Yanuarius Anouw menyebutkan, hasil hutan selain kayu sangat berpeluang untuk dikembangkan di masyarakat. Bentara Papua selama ini fokus mendampingi warga. Sejumlah kelompok masyarakat yang didampingi pun telah memulai dengan mengembangkan sagu, keladi, nanas, wortel, dan tanaman lain.
Meski perlu waktu dalam pengorganisasian masyarakat, lanjutnya, hal tersebut sangat mungkin dilakukan dengan berbasis pada potensi kampung sebagai sumber penghidupan. Kolaborasi dengan pemerintah dan pemangku kepentingan lain menjadi kunci keberhasilan, mulai dari aspek kebijakan hingga implementasi.
”Kolaborasi menjadi kunci utama agar paradigma masyarakat berubah karena berdasarkan pengalaman saat masyarakat terdesak secara ekonomi, sasaran utama mereka adalah kayu di hutan. Jika ada penopang secara ekonomi, hal ini bisa diubah dan memberi nilai tambah bagi masyarakat secara berkelanjutan,” katanya.