Penganiayaan Dosen UGJ Cirebon, Korban Berharap Keadilan
Kasus penganiayaan yang melibatkan dua dosen Universitas Swadaya Gunung Jati Cirebon, Jawa Barat, terus bergulir. Majelis hakim akan memutuskan perkara tersebut pekan depan.
Oleh
ABDULLAH FIKRI ASHRI
·2 menit baca
CIREBON, KOMPAS — Kasus penganiayaan yang melibatkan dua dosen Universitas Swadaya Gunung Jati Cirebon, Jawa Barat, diputuskan pekan depan. Korban berharap majelis hakim adil dalam memutuskan perkara tersebut.
”Kami berharap keputusan hakim bisa memberikan rasa keadilan bagi korban,” kata Djarkasih, penasihat hukum Herry Nur Hendriyana, korban penganiayaan, Senin (30/8/2021), di Cirebon. Majelis hakim akan memutuskan perkara tersebut pada Senin (6/9/2021).
Perkara pemukulan ini dilakukan terdakwa Donny Nauphar, Kepala Laboratorium Fakultas Kedokteran UGJ, terhadap Herry yang merupakan dokter Klinik Cakrabuana Cirebon pada Februari 2021. Keduanya adalah dosen UGJ Cirebon.
Dalam persidangan, kasus tersebut bermula dari unggahan foto di media sosial oleh terdakwa yang berujung ketersinggungan korban. Kemudian, keduanya bertemu dan terjadi pemukulan.
Akibat kejadian itu, korban terluka di dahi dan dada. Jaksa penuntut umum lalu meminta majelis hakim menjatuhkan hukuman 2 bulan penjara untuk terdakwa. Sebaliknya, dalam pledoinya, terdakwa berharap divonis bebas.
Pada sidang lanjutan, Senin siang, jaksa tidak sependapat dengan pembelaan terdakwa yang ingin dibebaskan. Jaksa tetap menuntut terdakwa dengan 2 bulan penjara karena dinilai melanggar Pasal 351 KUHP terkait Penganiayaan.
Selama sidang berlangsung, sekelompok organisasi masyarakat berunjuk rasa di depan Kantor Pengadilan Negeri Kota Cirebon. Mereka mendesak majelis hakim memutuskan perkara secara adil.
Hakim ketua Hapsari Retno Widowulan dan dua anggota, Aryo Widiatmoko dan Erita Harefa, menunda sidang hingga Kamis (2/9/2021) untuk mendengarkan tanggapan penasihat hukum terdakwa. Menurut rencana, majelis hakim menjatuhkan vonis pada Senin depan.
”Semoga keadilan terhadap korban bisa dipenuhi. Silakan yang menilai jaksa, yakni KUHP dengan maksimal 2 tahun 8 bulan penjara. Apalagi, terdakwa mengakui perbuatannya,” lanjut Djarkasih. Menurut dia, visum dan keterangan saksi menjadi bukti terdakwa memukul korban.
Kami harapkan juga perkara ini bisa dijadikan pembelajaran bagi semua pihak. (Djarkasih)
Masyarakat juga diminta ikut mengawasi kasus tersebut. ”Kami harapkan juga perkara ini bisa dijadikan pembelajaran bagi semua pihak. Apalagi, ini (terjadi) di lingkungan akademisi. Pelaku dan korban punya intelektual tinggi,” katanya.
Penasihat terdakwa, Qorib Magelung Sakti, mengatakan, fakta persidangan menunjukkan Pasal 351 KUHP tidak terbukti. Sebab, tidak ada saksi yang melihat penganiayaan itu.
”Artinya, ketika jaksa salah menerapkan pasal, majelis hakim harus membebaskan terdakwa,” katanya.
Juru bicara Pengadilan Negeri Kota Cirebon Aryo Widiatmoko mengatakan, tuntutan JPU atau pledoi terdakwa hanya rekomendasi bagi majelis hakim. ”Sifatnya rekomendasi bisa dipakai bisa tidak. Kalau enggak cocok, ya, enggak usah,” ujarnya.
Aryo menegaskan, keputusan majelis hakim berdasarkan fakta persidangan dan tidak dipengaruhi apa yang terjadi di luar persidangan. ”Majelis bersifat profesional sesuai kode etik hakim. Tidak ada (pemihakan),” katanya.