Menabung, Menjaga Budaya Adiluhung sejak Zaman Majapahit
Selain untuk menyiapkan generasi masa kini menghadapi kemajuan ekosistem keuangan, menabung merupakan budaya adiluhung bangsa Indonesia yang mengakar sejak zaman Majapahit.
Menanamkan budaya menabung pada generasi masa kini semakin penting di masa pandemi Covid-19. Selain untuk menghadapi kemajuan ekosistem keuangan di masa normal baru, menabung merupakan salah satu budaya adiluhung bangsa Indonesia yang mengakar sejak zaman Majapahit.
Lidia (14) mengantre di loket setoran uang tunai di sebuah bank di bawah pengelolaan badan usaha milik negara (BUMN) di Sidoarjo, Jawa Timur, Jumat (27/8/2021). Pelajar sebuah SMP negeri di ”Kota Delta” itu bermaksud menyimpan sisa uang jajannya dalam rekening tabungan.
”Setiap akhir pekan, Mama menyuruhku menghitung sisa uang saku untuk dimasukkan tabungan. Namun, karena pembelajaran dilakukan jarak jauh selama pandemi, uang jajanku utuh sehingga tabunganku lumayan besar,” ujarnya.
Maya (42), ibu Lidia, mengatakan telah menanamkan budaya menabung sejak anaknya duduk di bangku sekolah dasar dan membukakan rekening tabungan pelajar di bank saat SMP. Maya ingin anaknya belajar mengelola keuangan agar kelak siap menghadapi perubahan zaman yang penuh tantangan, seperti pada masa pandemi Covid-19 ini.
Baca juga : Usia Muda Lebih Gemar Menabung
Berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Regional 4 Jatim, mayoritas pelajar di Jatim, yakni 66,4 persen, telah memiliki rekening tabungan yang tersimpan di 50 bank penyelenggara program Simpanan Pelajar (Simpel).
Kepala OJK Regional 4 Jatim Bambang Mukti Riyadi pada acara Puncak Kejar Prestasi Anak Indonesia dengan tema ”Satu Rekening Satu Pelajar Wujudkan Impian Anak Indonesia”, Selasa (24/8/2021), mengatakan, program Simpanan Pelajar bertujuan memotivasi pelajar dalam membangun budaya menabung di lembaga jasa keuangan.
”Selain itu, program ini diharapkan membuka akses bagi pelajar untuk memanfaatkan produk keuangan formal lainnya sesuai kebutuhan,” ujar Bambang Mukti.
Bambang menambahkan, budaya menabung merupakan bekal penting bagi generasi muda dalam menapaki masa depan. Banyak manfaat yang bisa dipetik, misalnya mengenal tata kelola keuangan. Dengan menabung, pelajar belajar menyisihkan sebagian pendapatan dan mengendalikan pengeluaran.
Budaya nenek moyang
Berdasarkan penelusuran Kompas, menabung merupakan budaya yang mengakar kuat pada bangsa Indonesia. Pernyataan itu setidaknya disampaikan arkeolog Universitas Indonesia, Agus Aris Munandar. Menurut dia, budaya menabung telah berkembang pesat sejak zaman Kerajaan Majapahit atau abad ke-14 Masehi.
Baca juga : Sejak Muda Menabung, Tua Sejahtera
”Jejaknya terekam dari bukti arkeologi berupa terakota yang difungsikan sebagai celengan atau tempat uang koin China. Celengan-celengan ini banyak ditemukan di Desa Trowulan yang menjadi pusat pemerintahan Majapahit,” ujar Aris Munandar dalam webinar bertema ”Meneladani Kejayaan Majapahit dalam Memajukan Ekonomi Jatim” pada Festival Majapahit 2021, Rabu (25/8/2021).
Koleksi beragam celengan zaman Majapahit salah satunya bisa dijumpai di Museum Gubug Wayang. Ada celengan bentuk babi hutan atau dalam bahasa Jawa disebut celeng, bentuk bulat, sudemele atau berbentuk wadah perhiasan, gajah, kuda, labu, dan kendi. Bentuk celengan yang paling banyak dijumpai di masyarakat adalah celeng.
Binatang celeng bahkan menjadi filosofi dari penyebutan kata ”celengan” yang dimaknai sebagai tempat penyimpanan barang berharga. Celeng juga representasi harapan bagi orang yang menyimpan barang berharga tersebut agar bisa berkembang pesat atau beranak pinak seperti babi hutan.
Tentunya hal itu merupakan makna kiasan karena uang koin China atau perhiasan emas yang disimpan tidak beranak. Namun, nilai emas berpeluang meningkat dari tahun ke tahun sehingga bisa dimaknai beranak atau bernilai lebih tinggi.
Selain bentuknya yang unik, terakota celengan celeng ini dilengkapi dengan lubang untuk memasukkan barang yang disimpan. Berdasarkan ukuran lubangnya, kira-kira hanya cukup untuk uang logam Cina. Hal itu menunjukkan, pada zaman Majapahit, transaksi tidak hanya dilakukan dengan sistem pertukaran barang (barter). Uang koin China juga telah dikenal sebagai alat pembayaran.
Masih berdasarkan koleksi Museum Gubuk Wayang, beragam bentuk celengan memiliki satu kesamaan, yakni berbahan dasar tanah liat yang diproses melalui pembakaran seperti proses pembuatan tembikar. Selain itu, didapati hiasan untuk mempercantik penampilan celengan.
Pada celengan bulat, misalnya, ditemukan motif goresan bergelombang lurus serta garis merah. Sementara itu, pada sudemele terdapat hiasan bermotif bunga dengan letak di tengah dan berdekatan dengan lubang celengan. Celengan sudemele termasuk bukti arkeologi yang jarang ditemukan karena bentuknya yang menyerupai wadah perhiasan.
Bukti arkeologi berupa celengan juga bisa dimaknai bahwa proses menabung sangat sederhana. Tinggal memasukkan uang atau barang berharga ke dalam celengan, kemudian menunggunya sampai penuh, baru dibuka atau menambah celengan baru.
Sistem celengan sebenarnya masih dipraktikkan oleh sebagian masyarakat masa kini. Salah satunya warga yang tinggal di pelosok desa sehingga jauh dari layanan perbankan. Celengan juga kerap dijadikan sarana literasi keuangan pada anak-anak karena bentuknya yang unik sehingga banyak disukai.
Berdasarkan bahan pembuatannya, celengan pada zaman dulu terbuat dari tembikar dan keramik. Budaya menabung di celengan turut berkontribusi membesarkan usaha kerajinan tembikar yang menghidupi para perajin dan keluarganya. Memasuki zaman revolusi industri, masyarakat beralih pada celengan yang berbahan plastik dan kayu karena dianggap tidak mudah pecah dan lebih praktis.
Seiring waktu, budaya menabung di celengan semakin berkembang. Celengan dalam arti wadah penyimpanan memiliki makna yang lebih luas di zaman modern. Celengan bisa berbentuk lembaga keuangan bank, koperasi, bahkan lembaga lain yang memberikan layanan penyimpanan uang, seperti pegadaian.
Barang yang ditabung juga tidak lagi didominasi uang koin. Perbankan, misalnya, menerima tabungan dalam bentuk uang kertas, bahkan uang asing seperti dollar Amerika Serikat. Adapun pegadaian melayani tabungan emas. Sementara itu, di pasar modal mulai berkembang tabungan dalam bentuk saham.
Di tengah kehidupan masyarakat dengan dinamika luar biasa, barang yang ditabung tak hanya berupa barang berharga. Beberapa kelompok masyarakat juga telah menggalakkan tabungan berupa sampah rumah tangga yang masih bisa didaur ulang, seperti botol plastik sekali pakai.
Terlepas dari platform tabungannya, menabung merupakan budaya adiluhung yang harus terus dilestarikan oleh bangsa Indonesia. Sejarah mencatat, selama 200 tahun berdiri, Majapahit telah menancapkan tonggak-tonggak budaya adiluhung yang masih bisa dinikmati, dipegang, bahkan dijadikan acuan dalam membangun peradaban masa kini serta perencanaan untuk masa nanti.
Baca juga : Menabung sebagai Kebiasaan Baru di Kenormalan Baru