Hanya karena Lauknya Dimakan, Ayah Hajar Anak Kandung
Seorang ayah di Pangkalan Banteng, Kabupaten Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah, menganiaya anak kandungnya yang berumur delapan tahun hingga patah lengan dan lebam di sekujur tubuhnya. Hal itu dipicu persoalan lauk.
Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
·5 menit baca
Hubungan bapak dan anak seharusnya menjadi hubungan yang spesial. Namun, itu tidak terjadi pada B. Bocah berusia 8 tahun itu babak belur dipukuli ayahnya hanya karena ia memakan ikan lauk PB, ayah kandungnya. Beruntung ia mendapat pertolongan gurunya.
Sebut saja bocah itu B. Ia ditemukan babak belur oleh gurunya, Devi Anggraenie, Rabu (25/8/2021) pagi, saat berjalan menuju sekolah mengambil tugas-tugas. Kecurigaan Devi, guru SD di Pangkalan Banteng, Kabupaten Kota Waringin Barat, tempat B belajar, berawal dari B yang terlihat berjalan pincang saat melalui jalan berbatu.
Ketika dihampiri dan ditanya, B awalnya tak mengaku, ia hanya bilang jatuh saat bermain. Lalu ia pergi meninggalkan gurunya. Devi tak begitu saja percaya, ia kemudian menghentikan laju si anak dan menyingkap celana si anak agak sedikit ke atas. Setelah itu, Devi melihat terdapat lebam pada betis B seperti bekas benturan. Anak itu mengernyitkan dahi ketika lebamnya disentuh.
Si anak kemudian berusaha memberikan alasan lain, tetapi cara bicaranya tidak keruan seperti tidak normal. Saat itu B memakai masker. Devi lalu membuka masker si anak dan menemukan sekitar mulutnya penuh lebam biru. Tak hanya itu, dua gigi bagian atas sebelah kanan juga terlepas.
Perlahan, Devi mencoba memahami penjelasan si anak atas luka-luka yang ada di tubuhnya. Devi pun mulai menangkap beberapa hal seperti lebam di kaki karena diinjak oleh ayahnya. Juga lebam di mulut dan hilangnya dua gigi akibat pukulan sang ayah.
Si anak kemudian memilih pergi. Devi ingin mengejar, tetapi tertahan, ia kemudian berbalik arah kembali ke rumahnya. Ia kemudian menceritakan hal itu ke suaminya. Mereka berdua pun mendatangi rumah si anak. ”Saat kami datang tak ada orang di rumah itu, lalu kami mencari dan mendapat kabar jika B sedang kerja kelompok di rumah temannya,” cerita Devi.
Devi menjemput anak itu, membawanya pulang ke rumahnya. Sampai di rumah PB (38), ayah si anak belum pulang. Di rumah itu, Devi kembali menemukan luka lainnya, yakni lengan kiri yang bengkok dan tidak bergerak normal. Saat itulah Devi dan suami menyadari hal itu dan akhirnya lapor ke polisi.
Aparat Polres Kotawaringin Barat pun bergerak cepat. Mereka kemudian menangkap PB, ayah korban, dan langsung menetapkannya sebagai tersangka. PB pun ditahan.
Kepala Kepolisian Resor Kotawaringin Barat Ajun Komisaris Besar (AKBP) Devy Firmansyah pada Sabtu (28/8/2021) mengatakan, mereka memiliki cukup bukti. PB ditahan sementara hingga persyaratan untuk dilimpahkan ke proses hukum selanjutnya dilaksanakan.
”Saat diperiksa pelaku mengakui perbuatannya menganiaya anak kandungnya sendiri, persoalannya itu karena jatah lauk yang dimakan anaknya,” kata Devy.
Devy menjelaskan, peristiwa penganiayaan itu terjadi pada Selasa (24/8/2021) malam saat PB pulang kerja. Lelaki yang kerja serabutan itu pulang dalam kondisi lapar. Ia kemudian melihat meja makan terdapat ikan yang sudah ia simpan sejak sore hari untuk makan malamnya tersisa setengah bagian.
PB menuduh anaknya yang memakan lauk ikan itu karena memang mereka tinggal berdua saja. Istrinya yang sakit harus dirawat di rumah keluarganya di desa yang cukup jauh.
Saat diperiksa pelaku mengakui perbuatannya menganiaya anak kandungnya sendiri, persoalannya itu karena jatah lauk yang dimakan anaknya.
PB, lanjut Devy, kemudian menendang perut korban dengan lututnya hingga korban tersungkur lalu muntah. Tak selesai sampai di situ, pelaku kemudian menginjak kaki korban dan dilanjutkan dengan memukul rahang korban. ”Leher anak kandungnya pun sempat dicakar dan dicekik,” ungkapnya.
Pelaku merasa belum puas, dijewernya telinga kiri korban dengan keras lalu memukul sekali lagi wajah korban yang tak lain adalah anak kandungnya sendiri.
”Sebelum kejadian itu, beberapa hari sebelumnya ia juga pernah memukul lengan anaknya hingga bengkok dan bentuknya kini tidak normal lagi,” kata Devy.
Devy mengungkapkan, pihaknya kemudian membawa korban ke rumah sakit mencoba menghubungi keluarganya yang lain untuk menemani korban. Saat ini anak itu sedang dalam perawatan.
Pelaku disangka melanggar Pasal 44 Ayat (1) Undang Undang RI Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga. ”Pelaku diancam pidana lima tahun atau tiga tahun enam bulan penjara,” kata Devy.
Lalu bagaimana nasib B selanjutnya? Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, dan Keluarga Berencana (DP3AKB) Kotawaringin Barat Agus Basrawiyanta mengatakan, pihaknya telah menemui nenek korban untuk meminta izin melakukan pendampingan lanjutan kepada korban. ”Kami dampingin hingga pulih fisik maupun kondisi psikis,” ujarnya.
Kesekian kali
Kisah B hanya salah satu kasus. Data dari Humas Polri, terjadi lonjakan kasus kekerasan terhadap anak di masa pandemi. Kepala bagian Penerangan Satuan Pensat Biro Penerangan Masyarakat Polri Komisaris Besar (Kombes) Hendra Rochmawan mengungkapkan, ada tren kenaikan kasus kekerasan pada anak di masa pandemi Covid-19.
Hendra mengambil beberapa sampel. Di Kalimantan Selatan misalnya, pada tahun 2019 jumlah kasus kekerasan anak totalnya 117 kasus dengan jumlah tersangka mencapai 114 orang. Tahun 2020 meningkat menjadi 132 kasus dengan total 134 tersangka. Jumlah tahun 2021 sampai Juni total kasus mencapai 13 kasus dengan jumlah tersangka empat orang.
Di Sumatera Barat pada tahun 2020 terdapat 362 kasus kekerasan anak, lalu pada tahun 2021 terdapat 221 kasus hingga Juni. Sementara di Kalimantan Tengah pada tahun 2020 terdapat 32 kasus dengan 32 tersangka dan meningkat tahun 2021 dengan jumlah 64 kasus hingga Juni. ”Tahun ini kan belum selesai jadi memang selalu ada kemungkinan meningkat,” ujar Hendra Rochmawan.
Kekerasan di masa pandemi Covid-19 meningkat kemungkinan karena banyaknya orang yang depresi karena kehilangan pekerjaan. Sebagian dari mereka akhirnya melampiaskan emosinya ke orang-orang terdekat mereka.
Dalam kasus ini, PB telah merenggut masa bermain dan merusak hubungan spesial anak lelaki dan ayah. Si anak yang identitasnya dirahasiakan tak hanya merana karena rasa sakit di tubuhnya, tetapi juga di hati.
Kini hal yang perlu diupayakan adalah nasib anak pascapenanganan hukum. Selayaknya anak, B harusnya mendapatkan tempat yang ”hangat” agar kejadian itu tak terulang dan traumanya terobati.