Polemik Timpa-Tindih hingga Penghapusan Mural di Jalanan
Dari sebuah seni di tembok, mural semakin identik dengan ekspresi perlawanan. Dari sifat pesan yang sebenarnya sementara, akibat ketidakpahaman dan perkembangan teknologi, justru akan bergaung lama.
Mural mirip Presiden Joko Widodo dengan mata ditutup masker itu usianya tidak lama di dinding Jalan Layang Pasopati, Kota Bandung. Kehadirannya dianggap sebagai karya seni yang tidak layak dihapus begitu saja. Namun, pihak lain menilainya mengganggu sehingga harus segera dimusnahkan.
Kamis (26/8/2021), pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) masih diberlakukan di Kota Bandung. Namun, keramaian lalu lintas di bawah Jalan Layang Pasopati tetap terjadi. Hampir 1,5 tahun pandemi Covid-19, masih saja ada yang enggan bermasker, apalagi menjaga jarak.
Keberadaan 20 petugas Satuan Polisi Pamong Praja Kota Bandung di sana siang itu juga tidak membuat jeri mereka yang bebal melanggar protokol kesehatan. Tampaknya, para pelanggar prokes itu tahu bahwa aparat hadir bukan untuk mereka.
Baca juga : Ketika Tembok-tembok Kota Berbicara
Berseragam lengkap, tiada pentungan atau tameng yang dibawa petugas. Sebagai gantinya, mereka menenteng kuas, rol, hingga cat tembok. Tujuannya satu, menghapus mural mirip wajah presiden yang dibuat orang tidak dikenal di dinding jalan layang, diduga sehari sebelumnya.
Sekitar pukul 11.00, bersama mentari yang mulai meninggi, kerja petugas Satpol PP dimulai. Rol dan cat mulai melapisi dinding bekas mural yang dianggap mengganggu itu. Satu jam, bidang baru berukuran 3,5 meter x 3 meter tercipta. Bentuknya kotak kaku abu-abu, kontras dengan warna-warni mural dan grafiti lain yang lebih dulu ada dan tidak turut dihapus.
”Pimpinan meminta semua mural yang dianggap berbentuk seperti Bapak Presiden dihapus. Setelah ini, kami juga akan menelusuri beberapa jalur untuk melihat apakah ada coretan serupa atau tidak. Bila ada, (kami akan) hapus,” ujar Kepala Unit 3 Bidang Ketenteraman Masyarakat Satpol PP Kota Bandung Sumijo.
Akan tetapi, bagi pengajar Komunikasi Visual Universitas Padjadjaran, Teddy Kurnia, mural jauh dari sebentuk karya yang mengganggu. Mural adalah seni yang tidak dibuat sembarangan. Apalagi ada beragam banyak makna dan pesan di dalam mural.
Untuk kasus mural mirip presiden di Pasopati, misalnya, mungkin bukan ditujukan kepada seseorang, tetapi kekecewaan masyarakat terhadap para petinggi negeri. Oleh karena itu, upaya menghapusnya begitu saja dipandang Teddy sebagai langkah berlebihan.
Warisan dunia
Sebagai karya seni, sejarah mural terentang panjang sejalan dengan sejarah peradaban manusia. Diartikan sebagai karya seni di tembok, lukisan di dinding goa hingga lukisan dinding bangunan seperti istana, kastil, dan gereja, termasuk golongan di dalamnya. Pelukis ternama Leonardo da Vinci pun bisa disebut sebagai ahli mural paling ternama.
Mural juga sudah dikenal bangsa Romawi sejak abad I-III Masehi. Tim peneliti dari Museum Arkeologi London menemukan lagi artefak lukisan dinding dari masa Romawi yang terkubur di bawah sebuah gedung. Mural juga membuat Philadelphia di Amerika Serikat atau Paris di Perancis begitu masyhur. Tempat-tempat itu dianggap sebagai kota mural dunia.
Tengok juga kawasan Haji Lane di Kampung Arab yang berdekatan dengan kawasan Kampung Glam dan Bugis di Singapura. Tembok lorong dan warna-warni cerah cat melapisi bangunan lawas. Atau, ada juga mural pesepeda di kawasan George Town, Penang, Malaysia, yang tidak pernah alpa dikunjungi wisatawan dari berbagai dunia.
Indonesia punya sejarah panjang penting. Sejauh ini, lukisan goa tertua di dunia berada di dinding goa kapur Leang Tedongnge, Sulawesi Selatan. Gambar babi hutan endemik Sulawesi itu setidaknya berusia 45.500 tahun. Lukisan itu salah satu temuan penting era manusia purba modern Homo sapiens.
Kejayaan seni dinding berlanjut lewat relief Candi Borobudur, seruan ”Merdeka Ataoe Mati”, hingga lukisan di gapura-gapura setiap HUT Kemerdekaan RI.
Mural juga kerap dijadikan sebagai penjaga demokrasi, semangat antikorupsi, hingga garda toleransi di negeri ini. Bahkan, mural kerap menjadi semacam syarat utama bagi kampung kumuh yang ingin berstatus kampung berdaya bertaraf dunia.
Tonton juga : Kampung Mural Asian Games di Solo
Akan tetapi, dari semua titel megah itu, pertarungan senimannya di jalanan kerap menjadi fenomena penuh petualangan seru. Dinding kota yang kosong masih menjadi kanvas utama. Ada yang bertarung dengan baliho raksasa yang bertebaran di jalanan padat. Namun, tidak sedikit memilih kawasan sepi asalkan pesannya tersampaikan.
Kisah-kisah mural selalu punya bumbu yang menggoda, di antaranya rivalitas antara aparat dan seniman jalanan. Cerita saling timpa cat kedua pihak pun kerap terdengar.
Ada intimidasi
Dalam diskusi publik daring bertema ”Mural dan Intimidasi” yang digelar LBH Jakarta pada Selasa (24/8/2021), Budiman Setiawan, pengelola graffiti.id, media perkembangan komunitas grafiti di Indonesia, mengatakan, bukan hal aneh karya di jalan dihapus petugas. Hanya saja, kali ini semuanya terasa berbeda.
Ia menyebutkan, ada seniman jalanan yang diburu pihak berwajib. Lalu, muncul komentar dari staf khusus yang secara psikis menyerang mereka yang berkarya di jalan. Padahal, seperti sebelumnya, karya-karya itu dibuat sebagai respons jujur penciptanya atas keadaan kota.
Andang Kelana, pengelola Visual Jalanan, media yang membahas geliat visual jalanan, juga tidak mempermasalahkan penghapusan karya di jalanan. Bahkan, saat ada pihak yang berseberangan, justru membuat seni di jalan menjadi lebih dinamis. ”Yang menjadi masalah sekarang adalah muncul intimidasi terhadap seniman pembuatnya,” katanya.
Kurator Agung Hujatnika mengatakan, secara harfiah, mural jauh dari kata kritis, tetapi belakangan dianggap sebagai seni subversif, resisten, politis, atau alternatif pada kemapanan.
Signifikasi ini terlihat mencolok sebagai bagian dari gerakan sosial global, seperti ”Arab Spring”. Sejak itu, mural banyak dikaji sebagai penelitian seni dan politik sekaligus. Mural menjadi bagian aksi kolektif dan protes, selain meneruskan tradisi aktivisme.
Setidaknya ada dua hal mural jalanan dianggap bermuatan politis. Pertama, mural punya sifat sosial lewat pesan dan lokasinya. Kehadirannya menjadi semacam pengambilan kembali ruang publik dari pasar.
Kedua, karena sifat efemeralitas (kesementaraan) mural. Hal itu membuat mural lantas menjadi semacam perlawanan terhadap sifat abadi yang didengungkan kesenian yang biasa dipamerkan di galeri. Itu membuat terhubung dengan kehidupan sehari-hari banyak orang di sekitarnya. Namun, beragam hal kini bisa mendorong sifat efemeral mural bertahan lebih lama dari sebelumnya.
Baca juga : Suara dari Dinding-dinding Kota
Dalam kasus mural ”404: Not Found” (diduga mirip Presiden Joko Widodo), misalnya, diduga ada ketidakpahaman terhadap pesan numerik yang membuat karya itu dihapus, tetapi ujungnya justru dibicarakan lebih lama. Peran media sosial juga berperan saat karya yang dibuat pada Januari 2021 itu lantas viral, justru tujuh bulan setelahnya.
Irwan Ahmett, seniman visual, mengatakan, ruang publik dianggap sebagai media strategis saat banyak orang ingin menyampaikan gagasan. ”Bisa jadi ada jutaan orang yang berhenti di salah satu perempatan jalan di Jakarta. Jumlahnya bisa jadi lebih besar dari viewer pesohor di media sosial,” katanya.
Hal itu membuat ruang publik aktif digunakan kapital, ormas, hingga populis untuk menjadi yang tertinggi dalam persepsi masyarakat. Tidak heran apabila kemudian muncul marketing komunikasi guna menimbulkan pesan itu meski dengan ongkos yang tidak kecil. ”Kawan-kawan seniman street art mencoba mengganggu impian utopis populis itu,” ujarnya.
Akan tetapi, dinamika itu mengalami perubahan. Akhir-akhir ini, suasananya seperti dibuat tidak aman. Seperti ada pemunculan rasa takut bagi seniman jalanan untuk berkreasi berekspresi. ”Meski begitu, saya yakin seniman tidak akan menyerah begitu saja. Terbukti, bermunculan karya lain dengan begitu kreatif,” ucap Irwan.
Pengacara publik dari LBH Jakarta, Oky Wiratama, mengatakan, mural adalah bagian dari karya seni dan hak berekspresi. Oleh karena itu, apabila merujuk UNESCO, kebebasan berseni seharusnya bebas dari sensor pemerintah hingga kepentingan politik atau tekanan dari aktor non-negara.
Hanya saja, Oky tidak memungkiri, tetap ada batasan konten agar tidak ada diskriminasi SARA, melindungi nama baik orang lain (individu), dan tidak memuat unsur kesusilaan atau nilai moral.
Meski ada definisi itu, Oky mengatakan, pelontar kritik lewat seni masih saja rentan kerap dikenai pasal pidana, seperti lewat Pasal 207 KUHP. Pasal ini berbunyi, barang siapa dengan sengaja di muka umum dengan lisan atau tulisan menghina suatu penguasa atau badan umum yang ada di Indonesia, ancaman hukumannya paling lama satu tahun enam bulan atau denda paling banyak Rp 4.500.
Menurut Oky, penggunaan pasal ini tidak tepat setelah ada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 013-022/PUU-IV/2006. Pertimbangan hakim MK menyebutkan, dalam masyarakat demokratik yang modern, delik penghinaan tidak boleh digunakan pemerintah atau pejabat pemerintah. Pasal lain yang kerap dijeratkan adalah Pasal 134, 136, dan 137 KUHP. Namun, ketiganya juga sudah tidak memiliki kekuatan mengikat hukum berdasarkan putusan MK tahun 2006.
Meski ragam fakta sudah dimunculkan, perdebatan tentang mural ini diperkirakan bakal tetap panjang. Tanpa diskusi yang tepat, hapus-tindih mural akan terus berlarut-larut. Intimidasi masih bisa terus berlangsung jika tidak ada itikad baik pihak tertentu menjamin kebebasan berekspresi. Gaungnya bisa lebih panas apabila ada seniman jalanan yang dijerat hukum.
Kepala Satpol PP Kota Bandung Rasdian Setiadi menyatakan, pihaknya akan membersihkan semua gambar yang dianggap merusak fasilitas umum. Karena itu, petugas akan menyisir daerah-daerah dengan gambar yang dianggap mengotori ruang publik.
”Ke depan, semua gambar yang dianggap mengganggu ketertiban juga akan kami bersihkan,” ujarnya.
Baca juga : Mural, Demokrasi, dan Penghinaan Presiden