Tidak Ada Vaksin di Garis Depan Layanan Warga Lansia
Puskesmas yang diharapkan menjadi garis depan layanan untuk warga lansia justru kehabisan stok vaksin. Situasi ini menambah beban pekerjaan mereka yang sudah berlipat-lipat selama pandemi.
Oleh
Insan Alfajri / Dhanang David Aritonang / Irene Sarwindaningrum / Andy Riza Hidayat
·4 menit baca
BANDUNG, KOMPAS — Ujung tombak layanan warga lansia ada di fasilitas kesehatan tingkat pertama. Namun, fasilitas kesehatan yang seharusnya diperkuat sumber daya manusia dan kebutuhan pendukung lainnya justru sedang terpukul. Selain nakesnya banyak terpapar Covid-19, mereka juga tidak punya stok vaksin cukup untuk melayani warga.
Karena persoalan ini, beban mereka makin berlipat. Tidak hanya melakukan pelacakan, perawatan, dan vaksinasi jika ada stok, mereka juga menjadi sasaran amarah warga. Di wilayah dengan antusiasme vaksinasi yang tinggi, mereka bertubi-tubi menerima pertanyaan, ”Vaksinnya ada tidak?”.
Persoalan ini sulit dihadapi saat di tempat penyimpanan vaksin tidak ada stok. Di Puskesmas Rancaekek, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, misalnya, sudah sepekan tidak menyimpan stok vaksin saat Kompas mendatangi lokasi itu, Jumat (6/8/2021). Padahal, puskesmas ini mengemban target vaksinasi ke 80.000 sasaran.
Lantaran vaksin yang terbatas, nakes di puskesmas ini baru dapat menyasar 4.000 warga, setara dengan 5 persen dari target. ”Baru siang ini kami jemput vaksinnya ke dinkes,” kata Plt Kepala Puskesmas Rancaekek dr Lidya Tampubolon.
Lantaran bekerja dengan beban ganda, para nakes harus mencari cara agar layanan di luar vaksinasi tak terabaikan. Karena itulah Puskesmas Rancaekek, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, membagi hari kerja. Setiap Selasa dan Rabu, puskesmas menggelar vaksinasi jemput bola dengan berkunjung ke desa-desa.
Vaksinasi di puskesmas digelar setiap Jumat. Sementara Senin dan Kamis merupakan jadwal pelacakan kontak dan tes usap. Di tengah jadwal itu, para nakes juga harus tetap membuka layanan imunisasi rutin sekaligus layanan berobat kepada warga.
”Jelas kami kewalahan. Makanya kami tidak bisa membantu vaksinasi yang diadakan di luar puskesmas saat stok vaksin kami tersedia,” ujar Lidya, ketika ditemui Jumat (6/8/2021).
Tak jauh berbeda dengan cerita di puskesmas pada umumnya, Lidya menyebut warga juga mengeluhkan lamanya antrean untuk mendapat vaksin. Ini bisa dipahami karena antusiasme warga harus berhadapan dengan terbatasnya stok vaksin. Selain itu, keluhan sertifikat vaksin juga muncul di tempat ini.
”Harusnya warga sendiri yg mendaftar di situs pedulilindungi.id. Kalau kami juga yang harus mendaftarkan, enggak akan sanggup tenaganya. Yang bikin sertifikat bukan kami, tetapi warga enggak mau tahu dan enggak ngerti,” katanya lagi.
Kisah serupa terjadi di Puskesmas Sekeloa. Kamis (5/8/2021), stok vaksin di tempat ini tinggal dua boks saja. Sementara antusiasme warga untuk mendapatkan vaksin cukup tinggi. Pesan lewat telepon seluler mereka tidak henti-hentinya menanyakan jadwal vaksinasi.
Meski vaksin tidak selalu lancar, nakes di sana bukannya longgar pekerjaannya. Mereka juga harus melayani warga yang bergejala, melayani keluhan warga setelah divaksin, dan melakukan pelacakan kasus. Pada saat bersamaan, sebagian nakes pun jatuh sakit dan terpapar virus. ”Saya positif 14 Juli lalu. Setelah vaksinasi massal, sorenya ngedrop dan mulai bergejala,” kata Siti Diniyati (32), bidan Puskesmas Sekeloa.
Di Puskesmas Lerep, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah, observator vaksinasi puskesmas, Desi, Senin (2/8/2021), menjelaskan, puskesmas fokus menyasar warga lansia, nakes, dan pendidik sesuai arahan dari dinas kesehatan. Dengan kata lain, puskesmas belum menyediakan layanan vaksinasi untuk populasi umum.
Sementara itu, vaksinasi yang digelar lembaga lain di kawasan itu sudah menyediakan vaksin untuk populasi umum. Perbedaan ini membingungkan warga dan mereka pun protes ke puskesmas. ”Pernah mereka (warga) merekam kami. Kami sampaikan apa adanya. Silakan direkam. Mereka protes, mengapa tidak diumumkan stok dan alokasinya. Saya tidak tahu, mengapa yang lain boleh masyarakat umum sementara kami belum. Kami dikejar target karena sasaran utamanya belum tercapai,” ujar Desi.
Kerja di luar puskesmas
Di tengah komplain warga yang terus bergulir, Desi dan teman-teman juga sibuk mengurus pasien isolasi mandiri. Apabila karyawan biasa sudah bisa santai saat pulang ke rumah, tidak demikian dengan Desi. Dia harus memantau situasi pasien isoman yang berada di wilayah kerjanya.
”Malah ada pasien isoman di luar tugas wilayah kami, laporan ke kami di luar jam kerja. Kami hubungi driver, bidan, untuk menangani pasien itu. Kami carikan rumah sakit,” jelasnya.
Kesibukan nakes puskesmas memang tidak sebatas di tempat itu. Bidan Siti, vaksinator Puskesmas Sekeloa, tak cuma menyuntik di puskesmas tempatnya bekerja. Dia juga sering menyuntik di puskesmas lain atau membantu penyuntikan di sentra vaksinasi yang digelar oleh beberapa lembaga. Membantu vaksinasi di luar faskes ini sebenarnya tidak wajib. ”Sebetulnya sunah saja. Namun, kalau tak ada nakes lain, ya, sifatnya jadi wajib, ha-ha-ha,” ujarnya.
Selama masa isolasi, pekerjaan bidan Siti tak serta-merta berhenti. Dia masih tetap melayani keluhan warga melalui layanan hotline vaksinasi. ”Selama isolasi tetap megang hotline vaksin setiap hari, tetap kerja. Ha-ha-ha,” tambah ibu satu anak ini.
Memang belum semua warga mengerti aturan main vaksinasi. Ini tak sepenuhnya salah warga. Sebab, stok vaksin memang belum cukup.