Kemarau kali ini, air di Ranu Darungan kembali menyusut. Semesta sedang mengosongkan bejananya dan akan mengisinya kembali dengan kehidupan yang segar pada saatnya.
Oleh
DAHLIA IRAWATI
·3 menit baca
Kemarau kali ini, air di Ranu Darungan kembali menyusut. Semesta sedang mengosongkan bejananya dan akan mengisinya kembali dengan kehidupan yang segar pada saatnya.
KOMPAS/DAHLIA IRAWATI
Warga melihat air Ranu Darungan di Pronojiwo, Lumajang, Jawa Timur, yang menyusut, Rabu (25/8/2021).
Rabu (25/8/2021) sore, hutan di kawasan lereng selatan Gunung Semeru di daerah Pronojiwo, Kabupaten Lumajang, Jawa Timur, terlihat lengang. Suara gemerisik ranting dan dedaunan tertiup angin seolah bersahutan dengan lengking satwa di kejauhan.
Sore di Ranu Darungan kala itu berbeda dengan suasana Oktober 2020. Waktu itu, air ranu (sejenis danau) melimpah. Bahkan, ada orang menikmatinya dengan berperahu meski sekadar untuk kebutuhan foto. Namun, kali ini air di telaga yang tercipta dari proses vulkanik tersebut susut. Hanya di bagian tengah saja air masih menggenang.
Dari penuturan warga setempat, begitulah rutinitas tahunan di Ranu Darungan. Bukan hal aneh. Air sumber menyusut setiap kemarau, menyebabkan air hanya cukup untuk dialirkan ke perumahan warga. Tidak mampu dialirkan lagi untuk menggenangi danau.
Air Ranu Darungan menyusut, tersisa sedikit dan nyaris kering total, Rabu (25/8/2021).
Ada lebih kurang 2.800 keluarga di Desa Pronojiwo dan 1.000-an keluarga di Desa Sidomulyo (kedua desa itu berada di Kecamatan Pronojiwo) yang memanfaatkan air dari sumber mata air di atas Ranu Darungan. Saat kemarau seperti ini, air hanya cukup untuk kebutuhan warga, tetapi tidak cukup untuk memenuhi ranu.
”Dari mata air, ada kolam penampungan yang kemudian disalurkan ke ranu dan perumahan warga. Sekarang ada lima pipa yang mengalir ke rumah-rumah warga. Jika debit air sumber turun, air hanya cukup untuk warga,” kata Kepala Resor Ranu Darungan Toni Artaka.
Ranu Darungan berada di dalam kawasan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS). Lokasinya berada di ketinggian 900 meter di atas permukaan laut (mdpl). Di kawasan TNBTS ada enam ranu, yaitu Ranu Kumbolo, Ranu Regulo, Ranu Pani, Ranu Darungan, Ranu Tompe, dan Ranu Kuning.
”Arti Ranu Darungan bagi ekosistem hutan adalah sebagai penyedia air untuk satwa. Dan, ranu ini juga satu-satunya ranu yang airnya dimanfaatkan untuk kebutuhan air bersih warga,” kata Artaka. Aneka jenis burung, seperti burung meninting, cekakak jawa, dan elang jawa, hidup di hutan sekitar Ranu Darungan.
Suasana Ranu Darungan di Pronojiwo, Lumajang, Jawa Timur, saat sumber air melimpah, Kamis (22/10/2020).
Samian (48), warga Desa Pronojiwo, mengaku, sumber air di Ranu Darungan mulai dimanfaatkan untuk air minum pada 2000-an. Sebab, saat ia masih kecil, warga sekitar rata-rata menggunakan air dari sumber atau belik di sekitarnya secara langsung. Namun, lambat laun—puncaknya seusai perambahan hutan tahun 1998—mata air itu mulai menyusut dan mati.
”Dahulu setelah ada penebangan hutan, sumber-sumber air yang saat saya kecil menjadi gantungan hidup warga mulai kering dan mati. Kini, warga hanya bergantung dari sumber di kawasan Ranu Darungan,” katanya.
Pentingnya arti Ranu Darungan membuat warga memperlakukan danau alami seluas 9 hektar (ha) dan kawasan hutan di sekitarnya dengan baik. ”Warga sini ada yang pekerjaannya membuat sangkar burung dari bambu dan menjualnya. Ada cerita bahwa pengepul sangkar burung di sini menolak sangkar burung dari warga yang bambunya berasal dari hutan di sini,” kata Samian menambahkan.
Anggrek ”Dendrobium spathilingue” di Taman Anggrek Ranu Darungan TNBTS, Pronojiwo, Lumajang.
”Kini, menurut Samian, masyarakat pun membeli ruas-ruas bambu untuk sangkar burung dari desa lain. Bahkan, warga bersemangat turut menanami kembali hutan setiap akhir tahun.
”Setiap bulan Desember, saat mulai ada hujan, warga dan TNBTS bersama-sama menanam aneka tanaman di kawasan hutan. Tujuannya adalah mencegah kerusakan hutan yang akan bisa mengganggu kehidupan masyarakat juga,” kata pria yang dulu jadi pemburu anggrek hutan tersebut.
Samian kini justru menjadi salah satu pelestari hutan di kawasan TNBTS. Ia juga mengajak anaknya turut serta menjaga hutan di sana.
Menurut dia, rata-rata tanaman yang dipilih untuk ditanam di kawasan hutan adalah yang bisa berpotensi menghasilkan madu. Madu akan menjadi penghasilan warga sehingga warga tidak perlu menebang pohon atau berburu satwa. Intinya, warga tidak merusak ekosistem hutan.
Di tengah hawa dingin musim kemarau sore itu, cerita Samian sungguh menghangatkan. Kehangatan yang akan kembali mengisi telaga alam itu pada saatnya nanti.