Krisis air bersih di Pulau Timor, NTT, belum ada solusinya. Masyarakat tertekan dan harus membeli air dengan harga mahal.
Oleh
FRANSISKUS PATI HERIN/KORNELIS KEWA AMA
·5 menit baca
Di bawah terpaan suhu sekitar 38 derajat celsius, Lena (52) dan Rita (50) melangkah di atas jalanan berdebu tanpa sepotong aspal pun. Bahu mereka memikul masing-masing empat jeriken penuh air yang baru diambil dari mata air. Itulah tetes-tetes terakhir yang mereka tampung sebelum mata air benar-benar kering.
Keduanya dijumpai di jalan lintas Oekabiti-Enoraen, tepatnya Desa Oebesi, Kecamatan Amarasi Timur, Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur, sekitar 100 kilometer arah timur Kota Kupang. Minggu (23/8/2021) siang itu, mereka berjalan sekitar 3 kilometer dari mata air, menyisakan 2 kilometer lagi untuk tiba di rumah.
Sejak pagi, kedua perempuan itu sudah tiba di lokasi mata air, kemudian menunggu lebih kurang lima jam sampai semua jeriken terisi penuh. Masing-masing jeriken berisi 5 liter. Dengan begitu, setiap jeriken butuh waktu hingga 37,5 menit atau per liternya 7,5 menit!
”Air yang keluar semakin kecil sejak musim hujan berhenti. Mulai Mei sampai sekarang belum pernah hujan, jadi mungkin satu minggu ke depan air sudah benar-benar kering. Air baru keluar lagi nanti pas Desember saat mulai musim hujan,” tutur Lena.
Tak lama lagi air akan benar-benar kering sehingga konsumsi air di rumah pun harus dihemat. Air yang mereka pikul khusus untuk minum dan masak. ”Satu jeriken untuk satu hari. Kalau mandi, ambil di sumur, embung, atau cari genangan di kali,” ujar Reta.
Padahal, sumur dan embung juga mulai mengering, tak bisa bertahan hingga datangnya musim hujan Desember mendatang. Kondisi tanah di sana dan Pulau Timor pada umumnya adalah karang. Di bawah permukaan tanah banyak rongga, membuat air cepat meresap dan habis.
Krisis air selama kemarau membuat urusan mandi bisa dikesampingkan. Beberapa anak sekolah yang ditemui mengaku, untuk ke sekolah mereka hanya cukup membasuh wajah tanpa harus mandi. Ada juga yang bilang mereka jarang cuci tangan sebelum makan.
Di sejumlah sekolah yang didatangi, kondisi toiletnya kotor, aroma menguar tak sedap lantaran tak tersedia air. Lingkungan sekolah kering kerontang. Pada masa pandemi seperti saat ini, banyak sekolah tidak menyediakan air cuci tangan, melainkan cairan pembersih tangan.
Bagi warga yang tinggal di pesisir, seperti Desa Enoraen, sekitar 130 kilometer dari Kupang, warga bisa menggunakan air payau untuk mandi. Air payau diambil dari muara. ”Kalau ke muara harus ditemani orangtua karena di sana banyak buaya,” kata Bule (11).
Krisis air bersih menyebabkan anak dan anak balita di daerah itu rentan terserang berbagai penyakit, seperti diare. Pertumbuhan mereka pun terganggu. Tahun 2018, angka tengkes di NTT mencapai 42,6 persen atau setara 281.160 anak balita dari total 660.000 anak balita. Persoalan air bersih menjadi penyebab tingginya angka tengkes.
Air bersih masih menjadi barang mahal bagi mereka. Jika ada hajatan atau pembangunan rumah beton, mereka terpaksa harus membeli air bersih yang dijual mobil tangki. Thomas Alfa Edison (40), warga Rabeka, menuturkan, harga satu tangki berukuran 5.000 liter di atas Rp 700.000. Jika mendesak, bisa tembus Rp 1 juta.
Menyerah pada alam
Bupati Kupang Korinus Masneno, Selasa (24/8/2021), mengatakan, pihaknya sudah berupaya maksimal, tetapi terkendala kondisi alam dan iklim di daerah itu. Sulit menemukan sumber air dan kondisi bawah tanah berupa rongga karang mempercepat peresapan. Air tak bisa bertahan lama. ”Kondisi alamnya begitu, kita mau bikin bagaimana?” ujarnya.
Ia menyebut, sudah banyak sumur bor yang dibangun, tetapi mengering sejak Agustus atau 3-4 bulan dari pengujung musim hujan. Mereka juga sudah membangun embung, tetapi hasilnya sama. Tak bisa menahan air lebih lama.
Bagi Korinus, satu solusi mengatasi krisis air adalah pembangunan bendungan seperti Bendungan Raknamo. Bendungan yang diresmikan Presiden Joko Widodo pada Januari 2018 itu juga berada di Kabupaten Kupang. Kehadiran bendungan dapat menjawab kebutuhan air bersih dan mendukung pertanian serta peternakan yang menjadi sumber penghasilan masyarakat lokal.
Namun, membangun satu bendungan butuh anggaran besar. Bendungan Raknamo, misalnya, butuh anggaran hingga Rp 720 miliar. ”APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah) kami tidak bisa mencukupi,” ucapnya.
Lalu, bagaimana dengan kebutuhan jangka pendek? Marthen (35), warga Desa Enoraen, mengusulkan agar pemerintah membangun bak penampung air di permukiman penduduk dan secara rutin mendatangkan air ke sana. Air itu dibagikan kepada masyarakat secara merata per keluarga.
Menyiapkan ”tempayan”
Direktur Circle of Imagine Society (CIS) Timor Haris Oematan menyoroti pembangunan sumur bor yang dilakukan masif. Baginya, pembangunan sumur merupakan solusi yang eksploitatif untuk menyedot air di dalam tanah. Suatu ketika ketersediaan air di dalam tanah akan benar-benar habis.
Ia mendorong kebijakan mengatasi krisis air bersih itu dengan menyediakan tempat menampung air hujan, mulai dari sumur resapan, cekdam, embung, dan bedungan. CIS sudah memulainya dengan gerakan membuat lubang tanam air di beberapa tempat di NTT.
Penyediaan tempat untuk menampung air itu oleh Haris dinamakan solusi ”tempayan”. Wilayah NTT dengan hari hujan sangat sedikit tetapi intensitas tinggi, memerlukan ”tempayan” untuk menampungnya agar bisa digunakan dalam waktu lama hingga datangnya musim hujan berikutnya. Di NTT, musim hujan paling lama empat bulan.
Ia memahami, kondisi keuangan daerah terbatas sehingga pemerintah harus mengutamakan sektor yang prioritas, seperti air bersih. Di luar anggaran pemerintah, masyarakat bisa diarahkan melakukan gerakan tanam air di setiap halaman rumah. Cukup dengan menggali lumbung berukuran satu meter kubik.
Seiring bertambahnya jumlah penduduk, kebutuhan air akan meningkat. Air bersih semakin langka sehingga harganya bisa lebih mahal, bahkan tak kalah mahal dari harga emas. Saat ini, harga emas per gram sekitar Rp 900.000. Warga Amarasi Timur membeli air 5.000 liter dengan harga hingga Rp 1 juta.