Penurunan Tengkes Butuh Peran Multipihak
Kepala daerah memiliki peran sangat penting untuk memastikan program percepatan penurunan ”stunting” atau tengkes tetap berjalan. Dibutuhkan kolaborasi antarpihak untuk intervensi pada kelompok sasaran program.
JAKARTA, KOMPAS — Kepala daerah memiliki peran yang sangat penting untuk memastikan program percepatan penurunan stunting atau tengkes tetap berjalan. Organisasi perangkat daerah dan para pendukung program yang terdiri dari kelompok masyarakat, mitra pembangunan, organisasi masyarakat sipil, akademisi, media, dan masyarakat pun berperan dalam program penurunan tengkes ini.
Wakil Presiden Ma’ruf Amin memberikan pengarahan bahwa pelaksanaan program percepatan penurunan tengkes tetap harus menjadi prioritas pembangunan. Hal ini dikuatkan dengan penerbitan Peraturan Presiden Nomor 72 Tahun 2021 tentang Percepatan Penurunan Stunting pada 5 Agustus 2021.
Deputi Bidang Dukungan Kebijakan Pembangunan Manusia dan Pemerataan Pembangunan, Sekretariat Wakil Presiden (Setwapres) Republik Indonesia, Suprayoga Hadi menuturkan Peraturan Presiden 72/2021 tersebut memberikan dasar hukum perlunya percepatan program yang selama ini sudah dilakukan secara bersama-sama.
”Dan, (memberikan dasar hukum terkait) bagaimana peran kita, terutama pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam mengupayakan percepatan penurunan stunting sampai dengan 2024 mendatang,” kata Suprayoga pada Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) Percepatan Penurunan Stunting hari kedua, Selasa (24/8/2021).
Suprayoga menuturkan semua pihak mesti bekerja sama dan berkolaborasi dalam mengelola program-program intervensi sensitif maupun intervensi spesifik dalam kaitannya dengan konvergensi yang menyasar kepada kelompok sasaran program di lokasi yang telah ditentukan.
Baca Juga: Dapur Sehat Atasi Tengkes dan Penuhi Gizi Ibu Hamil
”Pelaksanaan program sejak tahun 2018 telah menunjukkan hasil cukup baik. Prevalensi sudah turun dari 30 menjadi 27. Ini saya rasa menjadi satu prestasi dan tahun 2020 juga ada sedikit penurunan tipis dalam hal ini,” katanya.
Kejadian bencana pandemi, menurut Suprayoga, menjadi salah satu disrupsi yang harus diperhatikan dalam satu setengah tahun terakhir. Pada dasarnya tengkes terjadi karena kekurangan gizi dalam jangka waktu lama sehingga kemungkinan besar dampak pandemi bagi prevalensi tengkes akan mulai terlihat pada tahun 2021.
”Meski demikian, Presiden dan Wakil Presiden tetap meminta agar kita semua tetap berupaya menurunkan prevalensi stunting ini dalam masa pandemi. Jadi, tidak ada disrupsi dalam hal ini,” kata Suprayoga.
Dia menuturkan tren perbaikan terkait penurunan tengkes sudah ditunjukkan dengan kenaikan indeks khusus pencegahan stunting (IKPS) yang dihitung oleh Badan Pusat Statistik (BPS). Pada tahun 2018 ke 2019 IKPS naik 2,18 poin. Hal ini berlanjut dari 2019 ke 2020 yang naik 1,2 poin.
Baca Juga: DPR Usul BKKBN Jadi Komando Percepatan Pencegahan Tengkes
Hasil diskusi pada Rakornas hari pertama, yang melibatkan para pembicara di sesi strategi nasional percepatan pencegahan stunting 2018-2024, mengidentifikasi berbagai tantangan dalam menurunkan prevalensi tengkes. Tantangan dimaksud mulai alokasi anggaran, pengelolaan program di daerah dan pusat, integrasi data, serta kepastian intervensi gizi baik yang spesifik maupun sensitif.
Selain itu termasuk pula upaya perubahan perilaku masyarakat agar pencegahan tengkes sejak dini terus diperkuat. ”Sejalan dengan itu arahan kepala BKKBN kemarin juga sangat jelas menegaskan bahwa peran BKKBN sebagai koordinator pelaksanaan program di lapangan akan menguatkan pelaksanaan berbagai program dari kegiatan pengurangan stunting hingga tingkat desa dan kelurahan agar menjadi lebih baik,” ujar Suprayoga.
Baca Juga: Program Penanganan Tengkes agar Lebih Terfokus
Pada Rakornas hari pertama ada tiga bupati dan dua walikota yang mewakili 154 kepala daerah lokasi prioritas program tahun 2022 telah menyatakan komitmennya secara lisan dan tertulis untuk mempercepat penurunan tengkes. ”(Hal) ini menandai bahwa pemerintah daerah telah menyanggupi untuk melaksanakan program ini dengan merujuk pada Peraturan Presiden 72/2021,” kata Suprayoga.
Sejalan hal itu, Suprayoga menuturkan, kementerian dan lembaga juga diharapkan tetap berkomitmen terus mendukung dalam kaitannya dengan pemberian regulasi yang sifatnya mendukung, panduan teknis pelaksanaan program, dan pendampingan pelaksanaan konvergensi.
Selain itu juga termasuk menganalisis situasi sebagai tahap awal memahami program-program di daerah terkait tengkes agar benar-benar dapat dipetakan, dianalisis, dan dirumuskan dalam upaya meningkatkan kapasitas sesuai kebutuhan program.
”Sebagaimana arahan Bapak Wapres kemarin, kita harus lebih inovatif. Lebih berusaha mencari terobosan dalam menjalankan berbagai upaya penurunan stunting di daerah masing-masing. Apalagi dengan situasi pandemi saat ini. Kita harus lebih baik lagi dalam mengelola program dan kegiatan yang sudah ada agar lebih berdampak pada peningkatan kualitas gizi anak-anak,” kata Suprayoga.
Baca Juga: Komitmen dan Kolaborasi, Kunci Atasi Tengkes
Pada kesempatan tersebut Suprayoga menuturkan semua pihak juga mesti optimistis bahwa dengan bergerak bersama, Indonesia akan mampu menurunkan prevalensi hingga 14 persen pada tahun 2024 mendatang.
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) I Gusti Ayu Bintang Darmawati menuturkan sumber daya yang paling berharga bagi suatu negara bukanlah hasil tambang, minyak, atau gas bumi. Sumber daya yang paling berharga bagi suatu negara adalah sumber daya manusianya.
”Tidak ada negara maju tanpa sumber daya manusia yang berkualitas. Maka investasi terbesar bagi kita berada di tangan 31,6 persen atau 84,4 juta anak-anak Indonesia. Dengan begitu, dapat kita bayangkan pentingnya pemenuhan hak anak-anak kita saat ini demi kualitas sumber daya di masa depan,” kata Bintang.
Hak dasar anak
Sesuai dengan Konvensi Hak Anak dan Undang-undang tentang Perlindungan Anak, Bintang melanjutkan, terdapat empat hak dasar anak. Hak dasar anak dimaksud yaitu hak untuk hidup, hak untuk tumbuh dan berkembang, hak perlindungan, serta hak partisipasi.
Lebih lanjut, sesuai mandat Konvensi Hak Anak dan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan, setiap anak berhak untuk mendapatkan standar kesehatan dan perawatan medis terbaik, air bersih, makanan bergizi, dan lingkungan tinggal yang bersih dan aman. ”Dengan begitu, kesehatan fisik anak dan jaminan tumbuh kembang anak yang berkualitas serta terbebas dari stunting adalah hak dasar anak yang juga merupakan hak asasi manusia,” ujar Bintang.
Tengkes masih menjadi isu nasional yang mengancam pemenuhan hak dasar bagi anak-anak. Apalagi dalam situasi sekarang ini di mana kita menghadapi era disrupsi dan sedang mengalami pandemi Covid-19.
”Maka, upaya pemenuhan hak anak, sekaligus bagian utama dari percepatan penurunan stunting merupakan tantangan yang tidak mudah. Namun, jika kita bergerak bersama dan memperkuat sinergi dari tingkat pusat, daerah, hingga tingkat akar rumput, saya yakin penyelesaian masalah stunting ini bukanlah hal yang mustahil,” tutur Bintang.
Jika kita bergerak bersama dan memperkuat sinergi dari tingkat pusat, daerah, hingga tingkat akar rumput, saya yakin penyelesaian masalah stunting ini bukanlah hal yang mustahil.
Berbicara mengenai tengkes tidak lepas dari isu pengasuhan. ”Sesuai arahan Presiden Joko Widodo kepada jajaran Kementerian PPPA, salah satu isu prioritas kami pada masa kerja Kabinet Indonesia Maju adalah peningkatan peran ibu dan keluarga dalam pendidikan ataupun pengasuhan anak,” katanya.
Meskipun demikian, Bintang menuturkan, arahan ini tidak dapat diartikan sebagai peran pengasuhan hanya ada pada perempuan atau ibu saja. Hal ini karena melindungi anak adalah tugas yang setara dan sejajar antara ayah dan ibu. Dengan demikian, pengasuhan juga merupakan tugas ayah.
”Cara pandang yang setara dan saling dukung antara ayah dan ibu dalam pengasuhan merupakan kunci dari pemenuhan gizi bagi anak pada 1.000 hari pertama kehidupannya untuk mencegah stunting. Bagi para ibu dan calon ibu, pemerintah harus mendorong aksesibilitas dan sarana yang terjangkau baik secara jarak maupun finansial,” kata Bintang.
ASI eksklusif
Para ibu dan calon ibu harus memiliki akses terhadap pengetahuan dan informasi mengenai pemenuhan gizi anak yang seimbang serta berkomitmen untuk memberikan ASI (air susu ibu) ekslusif pada anak. Intervensi yang tepat juga harus dijalankan agar proses ini tidak terhambat bagi para ibu yang juga merupakan perempuan pekerja.
”Bagi para ayah, kita harus dapat bersama-sama menyuarakan pentingnya kesetaraan gender dalam pengasuhan. Ayah sebagai kepala keluarga harus dapat membangun empati, berpartisipasi aktif dalam mengambil keputusan, mempunyai sikap positif, dan juga mempunyai pengetahuan luas tentang pengasuhan anak termasuk menyusui,” ujar Bintang.
Baca Juga: Mengoptimalkan ASI Eksklusif dan Posyandu di Masa Pandemi
Menurut Bintang merupakan tugas utama bagi ayah untuk menjamin pemenuhan kebutuhan-kebutuhan ibu khususnya selama menyusui. Hal ini semisal memastikan ibu mengonsumsi makanan sehat, tidak dehidrasi, serta istirahat yang cukup.
”Dengan adanya dukungan sosial yang berada di sekitar ibu, akan sangat berpengaruh besar terhadap keberhasilan kehamilan dan proses menyusui yang akan berdampak langsung pada kondisi kesehatan dan pemenuhan gizi bayi,” kata Bintang.
Sementara itu melalui siaran pers Tim Percepatan Pencegahan Anak Kerdil (Stunting)/TP2AK, Guru Besar Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin yang juga Ketua Indonesian Center for Nutrition Studies (ICoNS) Abdul Razak Thaha menyampaikan bahwa pemberian ASI eksklusif diindikasikan sebagai pendorong kuat penurunan prevalensi stunting di antara faktor pendorong lainnya.
”Pendorong kuat lainnya antara lain usia dan jenis kelamin, keberadaan ART (asisten rumah tangga) merokok, fasilitas cuci tangan dengan air dan sabun, serta status sakit,” kata Abdul Razak dalam sesi bertajuk ”Mengupas Efektivitas Intervensi Stunting: Studi Analisis Dekomposisi Program Penurunan Stunting 2018-2019” yang diselenggarakan dalam rangkaian Rakornas bertema ”Bergerak Bersama untuk Penurunan Stunting” secara daring, Selasa, oleh Setwapres.